Tulisan ini dibuat untuk menanggapi apa yang sedang menimpa SMPN 1 Turi di Sleman, DI Yogyakarta. Tentu kabar itu adalah kabar duka bagi semua orang di Indonesia. Mengingat mereka yang menjadi korban adalah calon generasi masa depan untuk negeri ini.
Mereka masih muda, namun harus berpulang terlebih dahulu. Sungguh disayangkan, namun hal semacam itu memang sulit terelakkan. Mengapa?
Karena, kita juga tak pernah dapat memprediksi apa yang akan terjadi di beberapa waktu ke depan. Kita hanya dapat melakukan apa yang bisa kita lakukan. Namun, jika ingin mencermati, apa yang kita lakukan juga belum tentu harus dilakukan.
Termasuk tentang kegiatan yang ada di SMPN 1 Turi tersebut. Menurut kabar yang beredar, mereka saat itu sedang mengadakan kegiatan Pramuka. Suatu kegiatan yang sangat menarik, apalagi bagi kaum remaja yang masih memiliki semangat dan keingintahuan untuk belajar hal-hal menarik.
Sebelum gadget melanda kehidupan generasi muda Indonesia masa kini, Pramuka bisa disebut sebagai media menarik bagi anak-anak dan remaja untuk menghabiskan beberapa waktu produktifnya.Â
Kita juga dapat belajar hal-hal yang mungkin sulit dipelajari di luar kesempatan itu. Seperti mempelajari sandi Morse, semaphore, simpul tali-temali, dan lainnya.
Bahkan, sebelum yel-yel atau jargon menjamur di setiap lingkup komunitas, Pramuka sudah memperkenalkan hal itu. Karena, bersama yel-yel tersebut segala kegiatan di Pramuka menjadi menyenangkan. Seperti saat malam api unggun.
Jika hanya diisi kegiatan membuat api unggun, jelas tak ada faedahnya selain untuk menghangatkan badan. Namun ketika ada yel-yel, maka akan ada semangat di sana, dan itulah yang membuat kita menjadi melupakan hawa dingin yang biasanya menjadi teman akrab para pengkemah di kegiatan Pramuka.
Sebenarnya kegiatan Pramuka sangat bagus. Bahkan, seharusnya anak-anak dan remaja masa kini disarankan untuk mengikuti kegiatan ekstrakurikuler tersebut di sekolahnya.Â
Karena, dengan mengikuti kegiatan itu, kita dapat sedikit melupakan kepenatan "serangan" mata pelajaran di sekolah.
Inilah yang menarik dari Pramuka. Membuat kita secara alamiah terpanggil untuk berangkat ke sekolah tanpa perlu disuruh atau diingatkan oleh ibu kita. Artinya, Pramuka itu menyenangkan.
Namun, semakin ke sini, Pramuka menjadi kegiatan yang tidak menarik. Karena, dalam beberapa waktu terakhir kita disuguhi berita-berita menyedihkan dari kegiatan Pramuka.Â
Dari adanya kabar bahwa mereka harus makan makanan yang tak layak dimakan (berita ada di akhir tulisan), hingga harus melakukan penjelajahan ke medan yang berat.
Salah satunya adalah menelusuri sungai, seperti yang terjadi pada kegiatan Pramuka di SMPN 1 Turi. Mereka yang melakukan kegiatan semacam itu biasanya untuk menjalankan beragam misi.Â
Seperti hal yang biasa terjadi di Pramuka, bahwa kegiatan mereka selalu ada misi dan biasanya nanti misi itu akan menggambarkan pesan dan kesan kepada mereka yang telah mengikutinya.
Namun, bagaimana jika misi itu justru tidak menarik bagi yang melakukannya?
Hal ini juga pernah penulis saksikan di kota asal, ketika masih tinggal di rumah lama yang berdekatan dengan sungai yang berukuran sedang. Pada suatu siang, penulis pernah melihat serombongan remaja seusia penulis melakukan penelusuran di sungai di belakang rumah penulis.
Beruntung, sungai saat itu sedang hanya seukuran betis karena musim kemarau. Bahkan di beberapa sisi hanya sedalam mata kaki. Jadi, masih aman. Hanya, ada yang tidak aman bagi mereka, yaitu ketika perjalanannya mencapai bidang bawah jalan raya atau terowongan sungai.
Meski penulis tak pernah berada di tempat itu, namun penulis yakin bahwa tempat itu adalah yang paling menakutkan.Â
Selain kita tidak tahu seberapa dalamnya sisi tersebut, kita juga harus sadar bahwa terowongan itu memiliki luas sekitar dua bus "Harapan Jaya" dan dua sepeda motor yang berada di titik yang sama.Â
Belum lagi dihitung dengan luas trotoar yang dapat memuat dua orang -segala ukuran- yang berjalan bergandengan tangan.
Artinya, perjalanan yang ditempuh di terowongan bawah jalan raya itu cukup jauh. Belum ditambah dengan bau lembap yang teramat sangat. Karena, penulis masih melihat banyak sampah dibuang oleh orang sekitar ke sungai itu, belum yang lainnya -tak perlu disebutkan lebih jelas.
Jika sebelum kegiatan itu petugas dinas PUPPW kabupaten belum membersihkannya, maka rintangan pada "teman-teman" penulis sangatlah besar.Â
Di usia segitu dan harus melakukan apa yang orang dewasa saja enggan melakukannya. Itu sangatlah buruk. Beruntung, secara pribadi, penulis saat itu sudah menyatakan "gantung hasduk".
Sejak lulus SD, penulis memang sudah tidak ingin mengikuti kegiatan semacam itu. Alasan pertama, faktor jarak sekolah dengan rumah yang sekitar 1 km lebih -dengan kondisi jalan raya selalu ramai- dan harus ditempuh dengan jalan kaki.Â
Jadi, akan sangat melelahkan jika penulis bolak-balik sekolah-rumah, walau itu dilakukan sekali seminggu.
Alasan kedua, kegiatan Pramuka selalu mengeluarkan biaya. Beli tali tambang, beli tongkat, hingga beli aksesoris Pramuka lainnya. Kecuali hasduk, penulis mengakui jika seragam Pramuka teramat ribet dibandingkan seragam lainnya.
Berpatokan pada apa yang terjadi di SD dan penulis mulai menyadari bahwa kegiatan itu cukup menyita keuangan orangtua, membuat penulis secara sukarela memilih untuk tak lagi melanjutkan kegiatan ekstra tersebut di SMP.Â
Daripada ongkos jajan semakin berat untuk dikeluarkan ibu, maka penulis lebih baik tak mengikuti Pramuka.
Alasan ketiga, Pramuka semakin identik dengan kegiatan mempermalukan diri sendiri. Memang, apa yang dilakukan di misi biasanya ada esensinya. Salah satunya adalah melatih mentalitas. Namun, melihat apa yang pernah penulis rasakan, hal itu justru memberikan trauma tersendiri.
Menurut penulis, tidak semua anak mudah move on ketika mengalami hal-hal yang cukup menyerang mental. Ada anak yang memang memiliki tingkat malu yang tinggi dan itu tidak bisa langsung diberikan treatment yang sama -untuk melatih mentalitas- seperti pada anak lain yang mungkin mudah move on ketika mendapatkan pengalaman buruk.
Inilah yang patut digarisbawahi. Terlebih ketika masa SD, biasanya kegiatan Pramuka masih diwajibkan kepada semua murid, maka seharusnya tugas guru dan kakak pembina Pramuka adalah mampu mengenali karakteristik anak-anak yang bertipikal tidak tangguh.
Berikan mereka tugas yang berbeda untuk mengasah mentalitas. Misalnya dengan menggambar sandi lalu diminta untuk menjelaskan apa arti dari sandi tersebut.Â
Biasanya anak-anak yang cenderung pendiam dan tertutup akan lebih cakap dengan tes semacam itu. Walau mereka biasanya juga cukup takut ketika harus berbicara di depan banyak orang.
Namun cara yang demikian masih lebih manusiawi dibandingkan harus berjalan dengan membawa wadah nasi selamatan lalu diisi beragam jajan yang kemudian dibawa keliling jalanan kota seperti pawai. Ada anak-anak yang tidak menyukai hal itu dan cenderung shock dengan pengalaman tersebut.
Begitu pula dalam hal menelusuri sungai. Meski ada misi membersihkan sungai dan penanaman visi bahwa membuang sampah akan berdampak negatif bagi kehidupan manusia dan ekologi perairan.Â
Namun hal itu tidak bisa dilakukan dengan sembarangan seperti petugas kebersihan kota yang sudah profesional dan berjam terbang tinggi dalam menghadapi kotornya sungai di negeri ini.
Para remaja itu pasti memiliki banyak kekurangan. Seperti penulis yang memiliki kekurangan di pernafasan, maka seandainya melalui terowongan sungai yang lembap itu belum tentu penulis dapat bernafas dengan selamat.
Begitu pula jika ada remaja-remaja yang memiliki ketakutan atau traumatis dengan kegelapan, maka bisa saja dia mengalami kepanikan yang berlebihan, dan itu sudah pasti tidak bisa diajak melalui rintangan itu seperti yang lainnya.
Buktinya, di kehidupan kita masih ada orang-orang yang takut tidur di ruang yang gelap, yang mana bagi orang lain itu adalah pemandangan biasa. Tapi bagi mereka yang memiliki ketakutan itu, itu adalah hal yang serius.
Artinya, inilah yang perlu dipahami oleh para pendidik dan pembina Pramuka di masa kini. Jangan lagi seperti orang di masa lalu yang semuanya ingin menanamkan sifat militan.
Indonesia masa kini bukanlah Indonesia di masa lalu yang masih harus berjuang mempertahankan negaranya dengan nyawa. Indonesia masa kini dapat dijaga dengan kehebatan intelektualitas tanpa harus menyetorkan ketakutan hingga nyawa melayang.
Termasuk dengan kejadian di Yogyakarta itu. Kita tentu harus tahu bahwa tidak semua anak mampu berenang, jika terjadi hal-hal yang tidak diinginkan.
Tidak semua anak juga familiar dengan kondisi sungai. Begitu pula dengan keadaan saat ini yang sedang dilanda musim penghujan, maka berada di zona perairan bukanlah hal yang bagus bagi kita.
Meskipun kita bisa berenang, belum tentu kita sudah terasah dengan medan seliar sungai. Sehebat-hebatnya perenang di kancah Olimpiade pun belum tentu mereka dapat berenang dan selamat di sungai yang dalam dan liar.
Hal semacam ini seharusnya sudah sampai di pemikiran orang dewasa zaman sekarang. Jangan sampai kita terlalu konservatif dan menganggap bahwa apa yang dapat diterapkan pada generasi pelajar 2000-an dapat diterapkan juga ke generasi pelajar 2010-an, apalagi generasi 2020-an.
Jika hal ini tidak dapat kita pahami dan lakukan, maka pasti akan ada korban di masa selanjutnya. Karena kita masih sering menggunakan konsep konservatif yang pada akhirnya tidak relevan dan membuat generasi muda kita semakin tidak nyaman dengan konsep didik semacam itu.
Kembali lagi pada pernyataan sebelumnya, bahwa semua anak didik kita pasti memiliki perbedaan karakter dan kemampuan, maka buatlah mereka berkembang seperti apa yang mereka mampu, bukan apa yang kita pernah alami.
Jangan sampai kita membuat ajang mendidik anak dan kepramukaan menjadi ajang balas dendam. Karena, apa yang kita alami di masa lalu sudah seharusnya dimodifikasi dan disesuaikan dengan generasi masa kini.Â
Adik dan anak kita tidak boleh senasib dengan kita, jika kita saja pernah menolak dalam batin tentang apa yang pernah kita alami di masa lalu.
Jadi, masihkah kita tetap berpegang pada konsep konservatif demi menghasilkan generasi hebat untuk negeri ini di masa depan?
Malang, 22-2-2020
Deddy Husein S.
Tambahan:
Penulis mengucapkan turut berduka kepada orangtua dan keluarga yang ditinggalkan. Semoga diberikan ketabahan.
Berita terkait:
Detik.com 1, Detik.com 2, Kompas.com 1, Kompas.com 2, Tagar.id.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H