"Mereka harus membidik perbaikan pada ranah sirkulasi dana, transparansi terhadap pengelolaan dana operasional kompetisi, pemberian dana hak siar pertandingan kepada klub, peningkatan kinerja wasit, dan pendewasaan suporter."Â
Sebelum kompetisi sepak bola tertinggi di Indonesia kembali bergulir, kita sudah disuguhi banyak hal selama pramusim. Dari keberadaan jual-beli pemain, penekenan kontrak pemain dengan jangka waktu lebih dari setahun, hingga pengaturan jadwal pertandingan.
Pertama diawali dari adanya perpanjangan kontrak dan pembelian pemain yang dilakukan Persija terhadap Marko Simic dan Marc Klok. Khusus pada Simic, penyerang asal Kroasia tersebut diikat oleh Persija selama tiga musim ke depan. Artinya, si pemain akan berada di Jakarta hingga 2023 (Transfermarkt).
Melihat adanya pembelian pemain tersebut, membuat Liga 1 mulai mengikuti cara kompetisi lain saat berada di momen bursa transfer. Padahal biasanya klub-klub di Liga Indonesia hanya berani mengikat pemain dengan durasi 1-2 tahun saja.
Bahkan, jika ada pemain yang ingin pindah klub meski masih terikat kontrak. Antara pemain dan klub tersebut dapat melakukan kesepakatan pemutusan kontrak agar si pemain menjadi free agent. Pola ini lebih sering terjadi di Indonesia.
Alasannya, bisa saja karena dana yang dikeluarkan oleh klub akan menjadi lebih besar jika melakukan pembelian pemain, dibandingkan "hanya" menyiapkan gaji kepada si pemain. Uniknya, pola ini juga mulai sering dilakukan oleh kompetisi Eropa di Italia, Serie A.
Beberapa pemain yang didatangkan oleh klub-klub Serie A, khususnya Juventus adalah pemain-pemain yang sedang free agent, namun masih berada di performa yang bagus. Seperti Emre Can yang tidak diperpanjang kontraknya oleh Liverpool -kini pindah ke Dortmund, dan Aaron Ramsey yang memutuskan untuk tidak menerima perpanjangan kontrak dari Arsenal.
Baca juga: Borussia Dortmund Surganya Para Debutan
Namun, perubahan pola transfer yang dilakukan oleh klub-klub di Liga 1 masih tidak sepenuhnya seperti apa yang dilakukan Persija dan PSM. Mereka masih dapat menggunakan cara lama ketika mereka tidak ingin mengeluarkan banyak uang, khususnya untuk pemain domestik.
Berbeda ceritanya jika mereka ingin merekrut pemain asing yang belum pernah bermain di Liga 1, maka mereka harus melalui tiga cara; menebus harga pemain dari klub lamanya, melakukan peminjaman pemain, hingga mencari pemain yang sudah free agent. Biasanya cara ketigalah yang dilakukan oleh klub-klub Indonesia.
Harga ini jelas sangat mahal, mengingat dana operasional sebuah klub untuk mengarungi satu musim kompetisi tidak lebih dari 50 milyar rupiah (sekitar Rp 40 M) jika berpatokan pada apa yang disampaikan Yeyen Tumena pada 2019 lalu. (Bola.com) Artinya, sebuah klub di sini tidak mungkin menghabiskan dana operasionalnya hanya untuk seorang pemain.
Hal ini sangat mempengaruhi nilai kontrak si pemain yang pastinya tidak semahal pemain-pemain yang masih di Eropa. Itulah mengapa pemain yang didatangkan adalah pemain yang sudah berada di Asia ataupun masih di benua asalnya, Amerika Selatan atau Afrika.
Indonesia sangat gemar mendatangkan pemain asal dua benua tersebut. Hal ini dikarenakan nilai pasarnya tidak terlalu tinggi. Namun, jika si pemain mampu menunjukkan kualitas terbaiknya dan cepat padu dengan permainan tim, maka harga yang lebih mahal dari pemain domestik dapat ditebus secara sukarela.
Dari fakta bursa transfer di musim ini, dan eksplorasi data harga yang semakin transparan di situs seperti Transfermarkt, masyarakat Indonesia mulai tahu bahwa Liga 1 mulai berjalan ke arah yang seharusnya. Ini hanya faktor pertama dari tanda-tanda perbaikan kompetisi kebanggaan masyarakat penikmat bola nasional.
Selanjutnya kita melihat segi persiapan tim di pramusim. Kita tentu sudah tahu bahwa turnamen pramusim Piala Presiden absen di tahun ini. Namun, absennya turnamen yang biasanya diikuti sekitar 20 klub itu justru memberikan keuntungan bagi klub di Indonesia. Mengapa?
Baca juga: Tidak Ada Piala Presiden, Piala Gubernur Jatim Pun Jadi
Karena, semua klub akan lebih cepat mengarungi kompetisi liga dibandingkan sebelumnya. Pada 29 Februari nanti, Liga 1 2020 dijadwalkan kick-off. Ini membuat ritme kompetisi akan seirama dengan kompetisi lainnya di Asia. Termasuk menguntungkan mereka yang juga berlaga di Asia, seperti Bali United dan PSM.
Keduanya mewakili Indonesia di Piala AFC 2020. Melalui jadwal kompetisi liga yang tidak beda jauh dengan penyelenggaraan Piala AFC, membuat dua klub itu diyakini berada pada ritme persaingan yang sudah panas untuk bersaing dengan lawan-lawannya, baik di level domestik maupun Asia.
Artinya ketiadaan turnamen pramusim yang panjang dapat memberikan efek yang bagus untuk pembuatan jadwal kompetisi Liga Indonesia, dan itu adalah perubahan ketiga yang dapat kita rasakan. Ditambah dengan kabar bahwa jadwal yang dibuat seperti liga mancanegara, yaitu diselenggarakan di akhir pekan; Jumat, Sabtu, dan Minggu.
Selain tiga hal penting tersebut, Liga 1 2020 juga kembali diselenggarakan bersama sponsor utama Shopee yang sudah mendampingi Liga 1 2019. Jika Shopee kembali menyeponsori Liga 1 di musim 2021 dan selanjutnya, maka kompetisi Liga 1 akan seperti Premier League yang langgeng bersama Barclays.
Begitu pula dengan faktor lain yang sangat krusial bagi perkembangan sepak bola Indonesia, yaitu infrastruktur stadion. Melihat standar stadion yang ditetapkan PT. LIB dan PSSI sudah menggunakan versi AFC dan FIFA, membuat kompetisi Liga 1 tidak hanya menarik secara teknik permainan namun juga secara sajian venue dapat membuat para pemain nyaman dan terbiasa bermain di tempat yang sudah bertaraf internasional.
Begitu pula dampak dari peningkatan infrastruktur tersebut bagi penontonnya, baik di tribun dan di depan layar tv/monitor. Mereka diharapkan secara sadar diri kian menghargai peningkatan level stadion yang menaungi klub-klubnya, dan itu akan membuat Liga 1 semakin terlihat menuju kedewasaan.
Poin-poin tersebut sebenarnya sudah memberikan simbol bahwa Liga 1 sedang menuju perbaikan. Namun, langkah-langkah Liga 1 untuk semakin baik tidak berhenti di sana.
Mereka harus membidik perbaikan pada ranah sirkulasi dana, transparansi terhadap pengelolaan dana operasional kompetisi, pemberian dana hak siar pertandingan kepada klub, peningkatan kinerja wasit, dan pendewasaan suporter.
Baik PT. LIB dan PSSI perlu memperbaiki sirkulasi dana yang biasanya mencakup kerja sama dengan sponsor dan pemanfaatan uang denda dari klub. Sirkulasi dana itu kemudian perlu dikelola dengan transparansi. Termasuk adanya bentuk perjanjian subsidi dana operasional kepada klub.
Meski dewasa ini banyak klub yang semakin profesional dan memiliki banyak sokongan dana dari sponsor, mereka tetaplah memiliki hak untuk menerima subsidi dana operasional dari PT. LIB maupun PSSI -jika federasi memiliki tanggung jawab mengelola uang kompetisi. Ini juga berlaku pada hak siar pertandingan.
Di luar negeri, pendapatan semua klub juga bergantung pada subsidi hak siar pertandingan. Bahkan, klub-klub kaya seperti Barcelona dan Real Madrid sangat dimanjakan oleh pengelola La Liga melalui dana hak siar pertandingan.
Hal ini yang perlu juga diterapkan di Indonesia. Tapi, tidak dengan berat sebelah seperti La Liga, melainkan semua klub mendapatkan hak siar secara merata. Caranya tentu dengan membuat semua klub dapat merasakan siaran langsung di tv utama (bukan hanya di layanan streaming).
Jadi, harapannya Liga 1 semakin bagus atmosfer kompetisinya baik secara teknis maupun non-teknis. Jika kompetisi liganya semakin bagus, tentu kualitas timnasnya (diharapkan) akan semakin bagus. Semoga!
Malang, 12 Februari 2020
Deddy Husein S.
Berita terkait:
Indosport.com 1, Liputan6.com, Indosport.com 2, Bola.com, Sport.detik.com, Tirto.id 1, Indosport.com 3, Pikirantrader.com, Transfermarkt.com,  Tirto.id 2, Indosport.com 4, Indosport.com 5, CNNIndonesia.com.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H