Mohon tunggu...
Deddy Husein Suryanto
Deddy Husein Suryanto Mohon Tunggu... Penulis - Content Writer

Penyuka Sepak Bola. Segala tulisan selalu tak luput dari kesalahan. Jika mencari tempe, silakan kunjungi: https://deddyhuseins15.blogspot.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Kampanye "No Hijab Day", antara Simbol Kebebasan dan Kelemahan Perempuan?

2 Februari 2020   15:13 Diperbarui: 2 Februari 2020   15:23 637
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi #NoHijabDay yang diperingati pada 1 Februari. Sumber gambar: Exmuslims.org

Meski bukan perempuan, kaum pria pun (seharusnya) sudah cukup tahu bahwa fenomena kaum perempuan muslim berhijab tidak hanya dikarenakan kepentingan agama, sosial, namun juga individual. Ketika individu meyakini ajaran agamanya perlu diwujudkan hingga disimbolkan, maka dia tidak perlu adanya paksaan dari lingkungan sosial untuk mewujudkannya.

Itulah yang kemudian membuat kita patut bertanya-tanya tentang keberadaan kampanye "No Hijab Day", buat apa? Apakah menggunakan hijab adalah tuntutan sosial? Apakah simbolisasi keagamaan adalah kekangan?

Seharusnya tidak. Hal ini bisa dinyatakan demikian jika keberadaan perempuan berhijab bukan menjadi parameter mutlak bagi kita untuk menilai bahwa perempuan tersebut telah pantas disebut muslimah yang solehah.

Penilaian kita seharusnya tidak sesederhana itu. Sama seperti ketika melihat lelaki muslim yang rajin mengenakan peci ataupun bersarung. Keyakinan terhadap agama tidak bisa sepenuhnya hanya ditunjukkan secara simbolis dengan pakaian saja.

Agama seperti gambaran besar antara budaya dan hukum. Artinya, dalam kehidupan kita, saat beraktivitas sehari-hari yang dibutuhkan adalah ingatan kita terhadap apa yang diperbolehkan dan apa yang dilarang, serta apa yang dianjurkan. Itulah yang nantinya dapat menggambarkan bagaimana sikap kita saat terjun ke realitas sosial.

Perempuan yang berhijab melanggar aturan lalu-lintas pun tidak sedikit. Perempuan non berhijab yang gemar menolong kucing-kucing jalanan juga ada. Artinya, menjadi manusia yang baik tidak selesai hanya ditunjukkan dengan cara berpakaian. Karena itu adalah keputusan individu tersebut untuk memilih akan seperti apa berpakaiannya agar nyaman, bukan untuk terlihat baik.

Penggambaran ini bisa diarahkan ke selera berpakaian atau pola pikir tentang fashion. Terlihat remeh--jika dibandingkan dengan mindset agama, namun justru dengan persamaan pola pikir fashion tersebut yang dapat membuat kita berpikir bahwa berhijab bisa dipilih karena nyaman.

Ketika sudah nyaman, mengapa perlu ada #NoHijabDay? Bukankah itu artinya kaum perempuan selama ini merasa tidak nyaman, tidak bebas, dan terdoktrin oleh stereotip yang dibuat masyarakat sekitarnya tentang hijab?

Seharusnya kita tidak memerlukan kampanye itu. Karena dengan keputusan sendiri untuk berhijab, dengan kenyamanan yang sudah dirasakan, maka berhijab sudah bukan lagi kekangan dari agama ataupun tuntutan sosial.

Lalu, apakah kampanye ini mirip dengan "no bra day"?

Hari tanpa bra sedunia juga diperingati sebagai aksi peduli kanker payudara. Sumber gambar: Suara.com
Hari tanpa bra sedunia juga diperingati sebagai aksi peduli kanker payudara. Sumber gambar: Suara.com
Wajar, jika ada yang berpikir bahwa kampanye keduanya itu mirip. Namun, sebenarnya dua hal ini dapat digambarkan secara berbeda dengan kondisi sosial di Asia khususnya di Indonesia seperti yang kita ketahui.

Perbedaan yang dapat kita ketahui dengan mudah adalah berhijab itu dapat dilihat dengan mudah oleh mata siapapun. Sedangkan menggunakan bra ataupun tidak, tidak selamanya mudah dilihat. Apalagi, jika perempuan-perempuan yang melakukannya mampu menutupi dengan baik.

Dari perbedaan tersebut, muncul pertanyaan sederhana ketika ada perempuan yang tidak menggunakan bra dan itu tidak terdeteksi oleh mata siapapun, yaitu "siapa yang peduli?"

Tidak ada yang peduli. Karena, selama mata manusia tidak menemukan apa yang tidak biasa terjadi, mereka tidak akan punya kesempatan untuk menilai. Karena, sebagian besar hasil penilaian dimulai dari penglihatan.

Padahal penggunaan bra dalam aktivitas keseharian sangat dibutuhkan dan memberikan dampak keamanan. Keamanan ini dapat dirasakan oleh kaum perempuan ketika tanpa prediksi mereka, kejadian yang tidak disengaja bisa terjadi.

Seperti tersenggol saat melakukan wefie bareng teman-temannya apalagi lawan jenis. Begitu pula saat dirinya harus melakukan aktivitas yang mengerahkan tenaga dari bagian tubuh atas, maka sangat dianjurkan untuk menggunakan bra agar aman.

Namun terlepas dari itu, ketika aktivitasnya tidak ekstrim, tidak akan berinteraksi dengan banyak orang, dan memastikan jarak aman dari orang lain yang beda jenis, maka tidak menggunakan bra adalah BEBAS. Karena orang lain tidak akan terlalu peduli, selama mereka tidak mengetahuinya.

Lalu, untuk apa ada #NoBraDay?

Baik #NoBraDay maupun #NoHijabDay, kampanye tersebut justru tidak menggambarkan aksi kebebasan (sepenuhnya) maupun kepedulian terhadap kebutuhan dan kesehatan. Kedua aksi itu justru mengeksploitasi kenyataan bahwa kaum perempuan selama ini tidak bebas menentukan pilihannya dalam menggunakan bra maupun hijab.

Artinya, mereka selama ini juga hanya memahami bahwa menggunakan dua hal itu dikarenakan harus terlihat sama dengan perempuan-perempuan lain tanpa dapat mengetahui apa esensi dari penggunaan dua hal tersebut. Tentu, hal ini sangat ironis.

Padahal dengan kemajuan zaman dan mudahnya akses informasi penting tentang perempuan. Mereka seharusnya dapat mengetahui dan memahami apa esensi dari penggunaan keduanya. Begitu pula dengan kepentingan kampanye seperti pada aksi #NoBraDay yang sangat perlu diketahui secara gamblang.

Jika memang #NoBraDay ditujukan untuk aksi peduli kanker payudara, seharusnya dapat dilakukan dengan cara lain. Alias tidak harus dengan kampanye yang menunjukkan sehari tanpa bra. Terlalu konyol jika hal itu dilakukan, apalagi di negara Asia seperti Indonesia yang tidak semua orangnya (maaf) cerdas dalam mencerna segala fenomena yang terjadi.

Bagaimana jika aksi sehari tanpa bra dan tereksploitasi di media sosial, lalu menjadi bahan pelecehan seksual secara cyber? Siapa yang akan bertanggungjawab? Apakah penggagas kampanyenya?

Dari penggambaran sederhana inilah, diharapkan kita secara umum, maupun kaum perempuan secara khusus, dapat menjadikan keberadaan kampanye ini untuk berpikir kritis. Tidak hanya soal ingin menunjukkan eksistensi melawan superioritas--ketentuan agama, budaya, dan hukum-- namun juga harus jeli dalam melihat kerugian dari aksi tersebut.

Jangan-jangan, bukannya kita akan terlihat berani melawan kemapanan, justru akan menunjukkan betapa lemahnya kita dalam menjalani kehidupan sesuai dengan kualitas berpikir kita saat mengambil keputusan pribadi. Hm.., kira-kira dulu saat menggunakan hijab dan bra karena apa, ya?

Malang, 2-2-2020

Deddy Husein S.

Berita atau tulisan terkait:
Pasundanekspres.co dan Suara.com.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun