Sejak akhir bulan Januari, topik yang sedang hangat dibahas di Kompasiana adalah tentang kontrasepsi. Namun, kali ini subjeknya bukan perempuan, melainkan laki-laki. Sungguh menarik.
Pembahasannya juga sampai saat ini masih seputar hal-hal positif terhadap dampak kontrasepsi untuk laki-laki. Hal ini tentu terlihat melegakan bagi kaum perempuan, karena tugas "berdiet" kini tidak hanya dibebankan pada perempuan, melainkan juga pada laki-laki.
Namun, sadarkah kita -tidak hanya perempuan- jika keberadaan kontrasepsi untuk laki-laki juga memberikan peluang munculnya konsekuensi besar. Bahkan, ada dua konsekuensi yang dapat ditimbulkan oleh adanya kontrasepsi untuk laki-laki.
Pertama, ada peluang meningkatnya kriminalitas seksual, pergaulan bebas, dan perselingkuhan. Karena, laki-laki diduga masih akan memiliki gairah dan fantasi untuk (maaf) berhubungan badan secara bebas tanpa kawatir lagi tentang risiko kehamilan pada perempuan.
Bagi oknum-oknum yang sudah tidak lagi mampu membedakan fungsi otak untuk kecerdasan atau kelicikan dapat memanfaatkan keberadaan kontrasepsi untuk hal-hal demikian.Â
Mereka dapat menjadi pelaku pemerkosaan. Mereka dapat menjadi pemancing dan daya tarik pergaulan bebas. Mereka juga dapat melakukan perselingkuhan ketika sudah menikah.
Ini memang permasalahan yang cenderung predictable. Bisa terjadi, bisa tidak. Tergantung apa efek samping dari penggunaan kontrasepsi untuk laki-laki. Jika mereka tetap memiliki libido yang normal, maka, mereka memiliki peluang untuk melakukan kesalahan besar tersebut.
Namun, jika efek sampingnya adalah penurunan libido, maka muncullah permasalahan atau konsekuensi kedua. Yaitu, obesitas dan disharmonisasi rumah tangga.
Perlu diketahui bahwa salah satu sumber produksi sel sperma adalah protein. Ketika pengonsumsian protein tidak untuk menghasilkan sperma yang baik dan normal seperti pada umumnya, maka hasil pengolahan protein tersebut pasti bermuara ke zat gizi.
Bagi laki-laki yang sulit gemuk, pernyataan tersebut akan terasa mencerahkan pikiran mereka. Karena, tidak sedikit dari mereka sangat terobsesi untuk gemuk.
Menariknya, faktor banyaknya perempuan yang kita jumpai mengalami kegemukan adalah karena penggunaan kontrasepsi, yang biasanya menjadi efek sampingnya. Hal ini diperparah dengan kondisi biologis perempuan yang tidak mengeluarkan hasil olahan protein menjadi hormon reproduksi sesering laki-laki.
Sehingga, hasil makanan mereka yang mengandung protein akan membentuk struktur tubuh. Yaitu dimulai dari penguatan tulang hingga ke pengisian kantong-kantong lemak yang menjadi seperti yang kita lihat pada perempuan-perempuan yang semakin malas gerak.
Hal ini juga bisa terjadi pada laki-laki jika efek dari kontrasepsi yang dimasukkan ke tubuh mereka dapat mengacaukan sistem di dalam tubuh. Jika perempuan gemuk semakin tak menarik bagi laki-laki, karena cenderung lamban.Â
Bagaimana dengan laki-laki? Bukankah mereka perlu terlihat bertenaga dan gesit seperti yang seharusnya?
Inilah yang patut dipertanyakan ketika kontrasepsi mulai diprediksi hadir untuk laki-laki. Harapannya kehadiran kontrasepsi bagi laki-laki tidak menyugesti mereka untuk harus menggunakan atau mengonsumsinya. Melainkan hanya memberikan pilihan bagi mereka ketika mereka memang sangat membutuhkannya.
Apalagi jika keberadaan kontrasepsi memberikan efek samping pada tubuh mereka termasuk obesitas dan menurunnya libido, maka disharmonisasi juga dapat muncul. Karena, salah satu perekat harmonisasi antara suami dengan istrinya adalah melalui hubungan seksual.
Jika kemudian banyak laki-laki yang berusia produktif ataupun yang bakal menjalani pubertas kedua/paruh baya kehilangan libidonya, maka ada konsekuensi yang buruk bagi mereka. Seperti stress dan kehilangan daya tarik bagi lawan jenisnya.
Inilah yang patut dipertimbangkan dari keberadaan kontrasepsi bagi laki-laki. Di samping adanya dampak positif yang diharapkan, kehadiran setiap solusi selalu pada akhirnya menimbulkan konsekuensi-konsekuensi yang dapat menjadi permasalahan baru.
Salah satunya seperti penurunan angka kelahiran yang ekstrim. Jika seluruh laki-laki di Indonesia mulai menggunakan kontrasepsi dan menemukan dampak "positifnya", yaitu tidak menghamili dan tetap memiliki libido normal, maka ada kemungkinan bagi mereka untuk sengaja menggunakan kontrasepsi di usia produktif.
Artinya, akan ada banyak generasi muda yang memilih tak memiliki anak namun tetap dapat berhubungan badan. Jika hal ini terjadi secara masif, maka dapat menyebabkan Indonesia krisis regenerasi.
Contohnya seperti di negara Jepang. Mereka memang tidak diisukan dengan kontrasepsi, melainkan perubahan orientasi hidup. Hal inilah yang kemudian dapat pula mengincar pikiran masyarakat di Indonesia, khususnya laki-laki.
Bisa saja dengan adanya kontrasepsi untuk laki-laki, mereka dapat merubah orientasi hidupnya, yang awalnya harus memiliki anak sebagai simbol pertanggungjawaban saat berhubungan badan dengan istrinya. Kini, mereka dapat berprinsip untuk hidup berdua cukup atau hanya perlu memiliki anak satu.
Hal ini dapat diperparah jika mereka merasa hidup dapat lebih makmur ketika tanggung jawab di rumah tangganya tidak banyak -anaknya hanya satu.Â
Apalagi jika kehidupan masyarakat Indonesia di masa depan semakin individualis dan materialis -dibuktikan dengan banyaknya pemukiman dengan model perumahan atau apartemen.Â
Maka, akan banyak upaya bagi masyarakatnya untuk meminimalisir risiko dari hubungan badan khususnya dengan kepemilikan banyak anak.
Memang ini masih menjadi prediksi. Namun jika keberadaan kontrasepsi untuk laki-laki tidak diiringi dengan self-controlling, maka itu hanyalah akan memunculkan banyak petaka baru di masa depan.
Padahal yang seharusnya diperhatikan dalam kehidupan berumahtangga adalah kualitas kita dalam mengontrol diri dan memahami apa arti pernikahan dan berhubungan badan. Bukan soal pencegahan kehamilan saja.
Karena, jika kita mampu mengontrol diri dengan baik dan diiringi dengan pemahaman tentang sex education, maka hal-hal yang berkaitan dengan "tanggul jebol" dan sejenisnya akan dapat diminimalisir.
Sehingga yang perlu terjadi di Indonesia bukan hanya soal penyuluhan (dan pemaksaan) pemakaian kontrasepsi untuk laki-laki, melainkan penyuluhan tentang sex education.Â
Ajak masyarakat untuk banyak menggunakan akalnya dalam mengatasi masalah seputar hubungan suami-istri, bukan hanya bergantung pada obat-obatan dan media sejenisnya.
Karena yang perlu dihindari di kemudian hari adalah akan banyak masyarakat yang semakin bergantung pada obat-obatan, bukan pelaksanaan kehidupan berdasarkan wawasan yang kian terasah. Ini yang patut diwaspadai dan dicegah.
Jadi, masihkah perlu menggunakan kontrasepsi?
Malang, 1 Februari 2020
Deddy Husein S.
Tambahan:
Artikel ini juga terinspirasi oleh pendapat beberapa orang di grup WA yang terdapat penulis di dalamnya. Bagi penulis pandangan mereka cukup menarik untuk diolah menjadi pemikiran yang terbuka (melihat sisi positif dan negatif) guna menanggapi isu topik pilihan dari Kompasiana tentang kontrasepsi. Harapannya, tulisan ini dapat mewakili pendapat-pendapat yang terbuka dan bermanfaat.
Referensi:Â Arah.com, CNNIndonesia.com, Tirto.id, Rumahcemara.or.id.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H