Bahkan, seindividualnya -stereotip- masyarakat Eropa, Amerika Serikat, Australia, dan lainnya, mereka masih berpikir tentang kebutuhan bersama. Itulah mengapa mereka juga cenderung tidak banyak mengundang orang untuk datang ke pesta pernikahan. Karena, bisa saja mereka tahu bahwa tidak semua orang dapat merayakan kebahagiaan bersama.
Pasti ada yang butuh bekerja meski weekend, pasti ada pula yang tidak bisa memberikan oleh-oleh meski tidak diwajibkan. Pertimbangan-pertimbangan itu pasti ada dan membuat pernikahan tidak selamanya harus dirayakan secara besar hingga mengorbankan kebutuhan bersama.
Apalagi jika itu adalah jalan raya. Ditambah jika jalan rayanya juga tidak begitu besar dan menjadi salah satu jalan yang strategis nan ramai untuk dilalui, maka sudah pasti menggelar pernikahan di situ akan mengorbankan kepentingan umum.
Namun, disitulah letak keunikannya, yaitu kita dapat menilai karakter dari si penyelenggaranya meski kita tidak perlu mengenalnya secara dekat seperti pemilihan gaya-gaya pernikahan sebelumnya.
Jadi, maukah bertandang ke pesta pernikahan yang seperti itu? Bagaimana jika ternyata orang terdekat kita juga merupakan orang-orang yang menyelenggarakan pernikahan di tempat semacam itu? Hm.., sepertinya sulit untuk menolak hadir, ya?
Nah, dari sekian gaya pernikahan diatas, manakah yang terlihat menarik untuk dikunjungi? Lalu, apakah benar dari pemilihan gaya pernikahan yang beragam itu dapat menggambarkan karakter dari orang-orang yang menyelenggarakannya? Patut dinilai sendiri-sendiri, ya!
Selamat berakhir pekan dan selamat mengunjungi pesta-pesta pernikahan! Juga, selamat menikah bagi yang sedang menikah di (setiap) akhir pekan!
Malang, 16-18 Januari 2020
Deddy Husein S.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H