Hampir semua orang dewasa pasti pernah memiliki utang. Entah besar ataupun kecil. Entah untuk keperluan pribadi maupun untuk kelompok/keluarga. Bahkan, bisa saja ada yang sudah pernah berutang sejak kecil atau remaja.
Apakah hal itu memalukan?
Mungkin iya, jika utang-utang itu gagal dibayar atau dilunasi. Namun, ada juga yang menganggap utang adalah bagian dari proses untuk mencapai suatu target yang diinginkan. Artinya, berutang bisa dilakukan siapa saja dan kapan saja tanpa perlu malu jika ternyata ada maksud tertentu.
Namun, ada catatan yang perlu digarisbawahi, yaitu jika utang-utang itu digunakan untuk hal-hal yang sangat mendesak dan penting. Misalnya ketika sakit butuh obat dan sedang tidak punya uang, maka berutang bisa menjadi salah satu solusi. Begitu pula jika berutang untuk kebutuhan keluarga ataupun kelompok, dan itu untuk hal-hal yang sungguh diperlukan. Maka, berutang juga bisa menjadi "jalan ninja".
Jika hal itu yang dilakukan, maka tidak ada lagi pandangan bahwa berutang adalah tindakan memalukan. Karena, seperti yang sudah tertulis di atas, bahwa berutang juga dapat masuk ke dalam proses menuju suatu hal tertentu.
Misalnya, berutang untuk dapat masuk ke perguruan tinggi. Lalu, ketika sudah lulus dan bekerja, maka si orang tersebut dapat melunasi utangnya. Jadi, si orang yang berutang itu tidak mungkin merasa malu, karena dia juga sudah mampu melunasi tanggungjawabnya sebagai sang pengutang di masa lalu.
tanggung jawab itu sudah dilakukan, maka tidak ada salahnya untuk tidak merasa malu jika dia pernah berutang. Beda cerita jika orang itu tidak pernah melunasi utang-utangnya meski sudah berpendapatan lebih, bahkan sudah naik derajat.
SelamaBaru disitulah, si orang yang pernah berutang tersebut wajib malu jika rahasianya terbongkar. Apalagi jika nominal utangnya tidak akan mengurangi jumlah kekayaannya jika harus dilunasi. Jadi, kenapa tidak untuk segera ditebus?
Apalagi kita harus sadar bahwa di Indonesia, segala macam rahasia atau aib, seringkali menjadi perbincangan hangat di masyarakat. Mereka kebanyakan akan sibuk membicarakannya tanpa pernah mempertimbangkan plus-minus terhadap subjek dan objek yang melandasi rahasia/aib tersebut.
Karena, berasumsi berdasarkan ranah subjektif itu mudah. Kita tinggal menyatakan versi masing-masing hanya berdasarkan prinsip masing-masing. Sedangkan, berasumsi secara objektif itu sangat sulit.
Bagaimana mungkin kita dengan ikhlas menyetujui langkah seorang pejabat atau tokoh masyarakat yang berutang dengan nilai yang mungkin seharusnya dapat dilunasi namun tidak segera dilakukan?
Pasti kebanyakan dari kita akan mengatakan itu tindakan buruk, abai, dan lain sebagainya. Kita tidak bisa berpikir lain, misalnya, mungkin orang itu masih memiliki prioritas lain dalam kehidupannya dan disitulah dia masih fokus menyalurkan hasil pendapatannya.
Kita susah mencari itu, apalagi memaklumi kesalahan orang, dan kebiasaan itu kemudian juga membentuk sikap bagi orang-orang yang dianggap salah, termasuk orang-orang yang memiliki utang.
Padahal tidak semua orang yang berutang dapat abai terhadap utang-utangnya. Bisa saja, ada orang-orang yang sangat bertanggungjawab terhadap utangnya dan dirinya juga dengan berani mengakui utang-utangnya karena dia merasa mampu untuk melunasinya -entah kapan.
Jadi, jika ada orang yang masih malu karena dia pernah berutang, kita sekarang sudah tahu apa alasannya. Hehehe.
Selamat beraktivitas dan salam!
Malang, 15-16 Januari 2020
Deddy Husein S.
Kabar terkait:
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H