Mohon tunggu...
Deddy Husein Suryanto
Deddy Husein Suryanto Mohon Tunggu... Penulis - Content Writer

Penyuka Sepak Bola. Segala tulisan selalu tak luput dari kesalahan. Jika mencari tempe, silakan kunjungi: https://deddyhuseins15.blogspot.com

Selanjutnya

Tutup

Bola Pilihan

Mourinho Gagal Buktikan Teorinya untuk Kalahkan Liverpool

12 Januari 2020   20:34 Diperbarui: 12 Januari 2020   20:37 211
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sebelum kembali ke London untuk melatih Tottenham Hotspur, Jose Mourinho pernah menjadi manajer Manchester United. Namun, karirnya harus tercoreng karena dianggap gagal di Old Trafford meski berhasil memberikan gelar Liga Eropa.

Pasca perannya digusur dan digantikan oleh Ole Gunnar Solskjaer, dirinya harus rela beralih profesi sejenak sebagai pundit bola, dan ketika Man. United harus bertemu dengan Liverpool di lanjutan pekan Liga Inggris (Premier League) Mou sempat memberikan argumentasinya terhadap keberhasilan eks klubnya menahan imbang skuad asuhan Jurgen Klopp.

Menurutnya, sebuah tim yang ingin mengalahkan Liverpool harus mampu menerapkan zona bertahan yang rapat dan di bawah (dekat dengan kotak penalti sendiri). Pola ini memang dilakukan oleh Man. United dan dianggap menjadi salah satu alasan terhadap keberhasilan The Red Devils merepotkan Liverpool. (Okezone.com)

Atas pendapatnya tersebut, publik pun menantikan keberhasilannya dalam penerapan taktik yang mana dia salah satu pelatih yang gemar bermain oportunis. Namun, ada satu hal yang dilupakan oleh Mourinho ketika melihat pertandingan derbi merah tersebut.

Yaitu, keberhasilan Man. United dalam menahan imbang Liverpool bukan pada kemampuan mereka bermain bertahan di bawah. Justru karena mereka bermain agresif di babak pertama dan membuat permainan Liverpool tidak berkembang di paruh pertama. (Tempo.co)

Melalui permainan itu pula, Man. United mampu unggul 1-0 dan membuat Liverpool berada dalam tekanan. Mereka harus segera mengejar ketertinggalan. Barulah di babak kedua mereka berhasil mewujudkannya dan itu karena pertahanan Man. United mulai turun, tidak seperti di babak pertama yang semua pemain garis pertama dan kedua menerapkan taktik high pressing.

Artinya, tim seperti Liverpool justru akan "keenakan" ketika melihat tim yang menunggu, bukan tim yang berani keluar menekan penguasaan bola Mohamed Salah dkk. Jika para pemain Man. United melakukan apa yang mereka lakukan di babak pertama, tentu Liverpool dapat dikalahkan.

Namun, celah ini justru terlewati oleh analisis seorang pelatih kawakan seperti Mourinho. Bahkan, seorang pundit bola Indonesia Justinus Lhaksana (dapat ditonton di channel Youtube-nya) mampu menemukan hal itu, dan terbukti tim yang mampu bermain agresif akan merepotkan permainan Liverpool. Seperti ketika mereka disulitkan oleh RB Salzburg di Liga Champions.

Termasuk ketika Arsenal berhasil menang dari Man. United (2-0) karena mereka menerapkan taktik high press, bukan menunggu di bawah. Terbukti dengan permainan yang sedemikian rupa, sebuah tim akan memiliki peluang untuk memukul lawannya dengan serangan kilat dan akurat.

Kembali lagi ke Mourinho dan Liverpool. Karena dirinya kini sudah menjadi manajer kembali di Premier League, maka dirinya juga dapat kesempatan untuk berduel dengan Liverpool. Bersama Spurs, Mou harus beradu taktik dengan Jurgen Klopp. Siapa yang menang?

Tentu saja Liverpool. Dengan segala keberuntungan ataupun sematan lainnya kepada The Reds, mereka tetaplah yang paling berhak menang. Mengapa?

Jika melihat secara statistik permainan (terlampir di bawah), Liverpool unggul segalanya. Kecuali soal jumlah tendangan yang mana Spurs dapat melesakkan 14 tendangan, sedangkan Liverpool "hanya" 13. Soal torehan ini, bisa dikatakan wajar Spurs dapat melakukannya.

Karena, dengan pola bermain oportunis, tujuan sebuah tim dalam menyerang adalah menendang bola ke gawang lawan, tidak peduli apakah itu harus on target atau tidak. Karena, dengan keberhasilan mereka meneror pertahanan lawan, itu sudah cukup. Agar lawan tetap menaruh waspada terhadap permainan.

Namun, yang menjadi permasalahan tentu efektivitas permainan. Apalagi, mereka bermain di kandang sendiri. tentu keinginan menang harus diutamakan meski lawannya adalah tim unggulan. Liverpool jelas diunggulkan, namun Spurs seharusnya dapat melakukan inisiatif yang banyak.

Karena, lagi-lagi keberadaan Mou dan pengalamannya mengamati permainan lawan melalui profesi sebagai pundit sebelumnya seharusnya dapat memberikan dia metode yang tepat untuk menjungkalkan Liverpool. Jika dirinya yang pragmatis gagal mengalahkan Liverpool, siapa lagi yang mampu melakukannya?

Pertanyaan ini jelas pantas dilayangkan ke Mourinho. Karena, dengan filosofinya yang kuat dan materi pemain Spurs yang setidaknya (dianggap) lebih baik dari Everton, harus dapat berbuat banyak.

Termasuk dengan status pertandingan itu yang menempatkan Spurs sebagai tuan rumah. Maka, inisiatif permainan seharusnya dapat diambil oleh Spurs setidaknya setidaknya di babak pertama.

Roberto Firmino jadi protagonis bagi Liverpool dengan gol tunggalnya yang sukses antarkan Liverpool meraih tiga poin di London Utara. | Reuters
Roberto Firmino jadi protagonis bagi Liverpool dengan gol tunggalnya yang sukses antarkan Liverpool meraih tiga poin di London Utara. | Reuters
Namun, sialnya tim tamu juga mengincar keunggulan cepat di babak pertama. Seolah mereka tidak ingin momen saat bertamu ke Old Trafford terulang. Sehingga, yang dilakukan Virgil van Dijk dkk adalah mencari keunggulan terlebih dahulu dan meladeni permainan Spurs.

Statistik pertandingan. | Tangkapan Layar/Google/Premier League 2019/20
Statistik pertandingan. | Tangkapan Layar/Google/Premier League 2019/20
Bahkan, agresivitas permainan Liverpool bisa dikatakan lebih tinggi dengan jumlah pelanggaran 8 kali dan diantara itu terdapat dua kartu kuning yang keluar dari kantong wasit untuk mereka. Itu artinya, Liverpool sudah memprediksi kesulitan yang akan dihadapi dan sudah siap untuk membuat permainan Spurs tak sesuai rencana.

Lalu, apakah itu artinya Mou gagal menerapkan taktik dan analisisnya?

Mou berikan jabatan tangan untuk Alli. | Reuters
Mou berikan jabatan tangan untuk Alli. | Reuters
Sebenarnya bisa dikatakan Mou tidak gagal. Karena ada dua faktor yang dapat menunjangnya. Satu, adalah permainan Spurs tidak "kotor". Mereka fokus untuk bermain lebih rapi, baik untuk bertahan maupun untuk menyerang. Terbukti mereka tidak mengantongi kartu kuning dan jumlah pelanggaran juga "hanya" separuh dari torehan Liverpool.

Namun, dengan permainan yang sedikit "cantik" ala Mou itu, justru membuat Liverpool lebih leluasa untuk mengolah alur bola dari segala penjuru, dan itu adalah faktor keduanya. Yaitu, Klopp sudah menyiapkan cara untuk membongkar permainan sebuah tim dengan pelatihnya (Mourinho) yang dikenal pragmatis.

Jika diingat-ingat, Klopp juga sebenarnya salah satu pelatih yang "pro" terhadap permainan pragmatis yang untuk filosofinya disebut "gegen pressing". Melalui latar belakang itu, tidak mengherankan jika Klopp tidak begitu kesulitan untuk mengajak timnya bermain sesuai skema yang dia siapkan. Skema itulah yang kemudian membuat Mourinho terlihat gagal membuktikan analisisnya, khususnya misi untuk memberikan kekalahan pertama kepada Liverpool.

Kini, dengan kalahnya Spurs dan juga kalahnya Leicester City dari Southampton di hari yang sama (1-2), Liverpool semakin sulit dikejar oleh rival-rivalnya. Harapannya kini adalah momentum kebangkitan Manchester City.

Klasemen sementara per 12/1 dini hari. | Tangkapan Layar/Google/Premier League 2019/20
Klasemen sementara per 12/1 dini hari. | Tangkapan Layar/Google/Premier League 2019/20
Meski secara matematis, keduanya terpisah 17 poin dengan Liverpool menyimpan satu pertandingan tunda. Manchester City dengan kualitas permainan dan pelatihnya masih diharapkan dapat memberikan perlawanan hingga akhir musim. Termasuk mencegah Liverpool untuk invicibles di Premier League musim 2019/20.

Mampukah Man. City menjawab tantangan itu?

Atau, Liverpool akan semakin melenggang ke podium juara untuk pertama kalinya dalam 30 tahun? Kita tunggu saja nanti.

Malang, 12 Januari 2020
Deddy Husein S.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bola Selengkapnya
Lihat Bola Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun