Faktor keempat biasanya terjadi pada orang yang memiliki cita-cita terlampau tinggi atau "ngawang-ngawang ing langit"*. Sehingga, satu-satunya cara untuk mengingatkan bahwa hidup itu harus dengan memijak bumi adalah dengan menikah muda. Bayangan inilah yang paling mudah untuk mengingatkan individu untuk lebih realistis.
Apalagi diawali dengan faktor-faktor sebelumnya yang membuat seseorang akan merasa bahwa menikah adalah tujuan satu-satunya untuk hidup. Apakah memang demikian, ya?
Faktor terakhir atau yang kelima adalah adanya kepolosan dalam berpikir tentang pernikahan. Banyak remaja yang saat masih sekolah hanya menduga bahwa pernikahan hanya disebabkan oleh cinta. Padahal pernikahan bisa dikarenakan faktor ekonomi, keluarga, hingga kesiapan mental.
Faktor ini biasanya juga disebabkan oleh tontonan yang biasanya hanya berkutat pada "how to make relationship or marriage", bukan "apa saja yang ada di antara pernikahan".
Bagi remaja atau anak sekolah, memang berpikir sejauh itu cukup sulit. Ditambah dengan tontonan favorit yang biasanya mudah menggiring persepsi hingga khayalan sedemikian rupa.
Seolah-olah, menikah muda itu akan menyuguhkan banyak kebahagiaan. Seolah-olah, menikah muda juga dapat memudahkan jalan untuk ke masa depan. Karena, ada yang bilang bahwa orang yang sudah menikah biasanya jalan rezekinya akan lebih lapang dibandingkan orang yang masih lajang.
Entah benar atau tidak, yang pasti saat masih remaja, penulis juga pernah memikirkan untuk menikah muda. Namun seiring berjalannya waktu, penulis mengetahui fakta di balik kewajiban menikah. Tidak hanya harus siap secara ekonomi, namun juga harus siap secara mentalitas.
Apalagi bagi sosok laki-laki yang dituntut untuk mengayomi keluarga, maka kejernihan dan keluasan dalam berpikir sangat diperlukan. Tujuannya adalah untuk menghindarkan praktik-praktik kerumahtanggaan yang tidak baik.
Jika hal itu dipikirkan sedini mungkin, maka peristiwa meninggalnya Ayu Selisa yang harus terkubur bertahun-tahun di septic tank mertuanya tidak akan terjadi. Karena, bisa saja faktor ketidaksiapan mental -baik si perempuan ataupun si lelaki- dalam menghadapi rumitnya kehidupan berumah tangga menjadi penyebab terbesarnya.