Bagi beberapa orang akan menganggap judul ini berlebihan, apalagi jika orang-orang tersebut tidak mengenali Bambang Pamungkas.Â
Benarkah? Jika berpatokan pada ibu saya yang mengenal dan juga mengagumi sosok Bambang Pamungkas, maka saya cukup sangsi bahwa masih ada orang-orang yang tidak mengenal Bambang Pamungkas.
Pertama, karena namanya sangat familiar di lidah dan telinga orang Jawa. Saya tidak ingin menyebut nama ini katrok atau ndeso. Tapi dengan nama yang familiar, dia akan mudah dikenal dan diingat, setidaknya di Jawa. Namun pada nyatanya, namanya juga dapat dikenal hingga ke Asia dan dunia.
Kedua, karena dia adalah pemain bola. Tidak berlebihan jika salah satu profesi yang dapat menghadirkan ketenaran adalah sepak bola.Â
Apalagi bagi laki-laki, sepak bola adalah surga. Dapat menghadirkan kesenangan, karena itu hobi, juga dapat menghadirkan relasi dan uang yang "cukup cepat". Melalui profesi ini, Bepe -sapaan akrabnya- mendapatkan peluang untuk dikenal masyarakat.
Ketiga, karena dia adalah pemain Persija. Meski Persija minim prestasi pasca juara Liga Indonesia tahun 2001, namun secara popularitas, Persija tetap patut dianggap luar biasa. Inilah yang membuat nama Bepe semakin besar dan bahkan diidentikkan dengan Persija. Alasan saya menyukai Persija juga karena Bepe.
Bepe bukanlah pemain asal Jakarta, tapi dia dapat membuktikan dirinya sebagai pemain yang dapat bertahan di sana, berprestasi di sana, dan menjalankan karirnya sesuai dengan profesionalisme yang dijunjung.Â
Itulah kenapa menjadi penggemar Persija juga tidak harus orang Jakarta ataupun merantau di Jakarta. Saya yang belum pernah ke Jakarta juga tetap merasa berhak untuk menyukai Persija.
Alasannya sederhana -selain karena Bepe, yaitu klub yang identik berwarna oranye itu adalah klub ibukota. Artinya, (bagi saya) simbol persatuan sepak bola di Indonesia selain tersemat di jersey merah berlambang Garuda, maka simbol itu adalah Persija.Â
Hal ini juga untuk menjawab kegelisahan saya ketika itu (SMP) melihat beberapa argumentasi dari teman-teman saya yang kebanyakan mendukung klub sepak bola sebagai representasi semangat kedaerahan. "Jika kamu orang Jatim ya harus mendukung Persebaya bukan yang lain," contoh sederhananya begitu.
Sebagai orang yang blasteran suku/ras seperti saya, saya merasa itu tidak perlu. Kita hanya perlu wadah persatuan yang menerima perbedaan dari segi apapun dan dalam lingkup yang lebih besar selain timnas Indonesia.Â
Terlepas dari realitas yang beredar bahwa pendukung Persija juga kebanyakan berlandaskan semangat kedaerahan ataupun militanisme yang berujung bentrok sana-sini.Â
Saya tetap berpikir bahwa Persija adalah klub Indonesia yang cocok untuk merepresentasikan karakter saya. Itulah mengapa saya pilih Persija dan beruntungnya di Persija saya menemukan sosok teladan pada pemain yang bernama Bambang Pamungkas.
Saya tidak ingin membandingkan sosok Bepe dengan legenda-legenda lainnya, namun saya lebih ingin (sedikit) memperlihatkan Bepe sebagai sosok yang patut diperhitungkan sebagai individu, alias tidak hanya melihatnya sebagai pesepakbola dan itu penting bagi kita yang mungkin kurang menyukai sepak bola.
Dia juga memperlihatkan kemampuannya dalam bidang lain yang pada saat itu cukup sulit dilakukan oleh pesepakbola profesional. Mengapa?
Menjadi pesepakbola profesional maka fokusnya harus tentang sepak bola, alias di pikirannya hanya tentang how to create and upgrading skill on the field. Itulah mengapa banyak orang yang bermain sepak bola malas berpikir tentang hal lain.Â
Mereka juga tak menutup kemungkinan untuk menjauhi urusan politik negara, perekonomian negara, hingga isu-isu terkini disekitarnya. Karena alasannya adalah agar fokus bermain sepak bola.
Sedangkan Bambang Pamungkas tidak demikian. Di saat dia masih aktif bermain, justru dia sudah mendaftarkan diri sebagai jurnalis, meski ranahnya tetap sepak bola.Â
Begitu pula di ranah media online, dia menjadi pesepakbola profesional Indonesia yang pertama kali memiliki blog sendiri. Kalaupun ada, mereka biasanya merupakan eks pesepakbola.
Langkah ini seperti yang dilakukan pesepakbola internasional, seperti Juan Mata yang dikenal juga memiliki kemampuan menulis selain menjadi playmaker Manchester United dan eks pemain Valencia. Artinya, apa yang dilakukan Bepe rata-rata selangkah di depan pesepakbola lainnya, khususnya di Indonesia.
Ketika dirinya menjadi jurnalis sepak bola pun sebenarnya dapat disebut prematur, karena seharusnya yang melakukannya adalah pesepakbola yang pensiun (sudah tidak terikat klub profesional) ataupun wartawan-wartawan yang memang ditempatkan di sepak bola ataupun memiliki ketertarikan lebih di sepak bola.Â
Namun, Bepe ingin menunjukkan bahwa pesepakbola juga boleh "mengeksploitasi" kehidupannya alias tidak hanya menjadi aktor di dalam lapangan tapi juga dapat menjadi pencerita di luar lapangan.
Apa yang dilakukan Bepe ini bisa saja didasari oleh kegemaran lain yang dimiliki suami Tribuana Tungga Dewi itu, yaitu membaca. Saya yakin bahwa seorang pembaca akan memiliki hasrat untuk menulis.Â
Jika tidak demikian, tidak mungkin seorang pesepakbola seperti Bepe dapat melahirkan tulisan ketika masih aktif bermain.
Yaitu membangun dirinya sendiri sebagai penulis, dan itu dilakukan step by step -dari jurnalisme, memiliki blog pribadi, hingga portal berita olahraga sendiri- hingga akhirnya dia dapat melahirkan buku.
Dia juga ingin membuktikan bahwa untuk menjadi pengamat sepak bola profesional, tidak harus hanya sebagai jurnalis -bagi orang umum, ataupun harus menunggu momen gantung sepatu -bagi pesepak bola, tapi dapat dilakukan oleh pesepak bola yang masih berstatus pesepak bola profesional.
Hal ini dikarenakan Bepe menunjukkan prosesnya untuk membangun diri agar tetap eksis dengan tidak takut untuk berkarya di bidang lain yang awalnya dianggap belum saatnya.
Di media itulah, kita semakin tahu kapasitasnya di luar lapangan. Seperti mampu menjadi chef dengan beragam feed yang terunggah di akun Instagram @thenekatchef yang ternyata adalah miliknya.Â
Lalu di Youtube, kita semakin dekat dengannya melalui unggahan video-videonya yang seringkali diisi dengan agenda kuliner, berinteraksi dengan pemain dan penggemar melalui sesi QnA, hingga kita juga tahu kemampuan bermusiknya.
Dari situ kita dapat melihat jika Bepe ingin menunjukkan ke masyarakat bahwa sebagai pesepak bola tidak harus melulu tentang sepak bola. Begitu pula jika kemudian disamakan pada kehidupan masyarakat, bahwa kita juga tidak harus melulu membicarakan apa yang kita sukai saja.Â
Misalnya, sebagai pujangga cinta, orang itu hanya menghadirkan pembicaraan tentang cinta, bukan tentang apa yang terjadi pada sekelilingnya di waktu yang sama ketika dia sedang patah hati ataupun sedang jatuh cinta.
Inilah yang sebenarnya secara tersirat perlu diteladani dari sosok Bepe, meski tidak sedikit orang mengaku tak menyukai sepak bola.Â
Namun untuk mengenal sosok Bepe, seharusnya perlu dilakukan, karena dia adalah individu yang dapat dikenal meski kita tidak perlu tahu-menahu tentang bagaimana kiprahnya sebagai pesepakbola.
Cukup dari orasinya kemarin (17/12) dan segudang bukti-bukti yang tersebar di mesin pencarian tentang Bambang Pamungkas, maka kita sudah tahu bahwa sosok ini spesial dan dapat dikenal oleh siapa saja.
Harapannya, kita juga dapat melakukan apa yang dilakukan Bepe, yaitu sebagai pribadi yang tidak takut untuk mengeksplorasi kemampuan diri masing-masing. Karena, jika Bepe saja bisa, mengapa tidak untuk kita?Â
Menjadi sosok yang mampu mengenali diri sendiri dan mengejar batas maksimal kapasitas diri sendiri adalah langkah hidup yang penting untuk dilakukan. Agar kita dapat menjadi individu-individu yang cerdas sebelum akhirnya menjadi masyarakat yang cerdas. Semoga!
Malang, 18 Desember 2019
Deddy Husein S.
Tulisan sebelumnya:Â Bambang Pamungkas Pensiun (Kompasiana)
Kabar terkait:Â Suara.com, Indosport.com, Okezone.com.
Blog Bepe:Bambang Pamungkas 20
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H