Mohon tunggu...
Deddy Husein Suryanto
Deddy Husein Suryanto Mohon Tunggu... Penulis - Content Writer

Penyuka Sepak Bola. Segala tulisan selalu tak luput dari kesalahan. Jika mencari tempe, silakan kunjungi: https://deddyhuseins15.blogspot.com

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Asesmen Kompetensi Minimum, Solusi Jitu untuk Pendidikan Indonesia di Masa Depan?

12 Desember 2019   07:15 Diperbarui: 12 Desember 2019   07:21 5997
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pihak MPR juga menanggapi keputusan Nadiem terhadap UN yang dihapuskan pada 2021. (Liputan6.com)

Kembali, mantan bos Gojek, Nadiem Makarim menjadi headline di beberapa media massa online. Hal ini tak lepas dari tergelarnya rakor antara dirinya sebagai Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia (Mendikbud RI) dengan Dinas Pendidikan Indonesia di Hotel Bidakara, Jakarta, hari ini (11/12). Di situlah kabar tentang masa depan pendidikan Indonesia terkuak.

Salah satu yang menjadi sorotan utama adalah terhapusnya Ujian Nasional (UN) pada 2021. Ini bukan lagi wacana, karena Nadiem sudah memastikan bahwa UN di 2020 adalah penyelenggaraan terakhir, dan itu berupa USBN. Lalu, bagaimana caranya agar para siswa dapat memperoleh pijakan ke jenjang selanjutnya?

"Penyelenggaraan UN tahun 2021, akan diubah menjadi Asesmen Kompetensi Minimum dan Survei Karakter, yang terdiri dari kemampuan bernalar menggunakan bahasa (literasi), kemampuan bernalar menggunakan matematika (numerasi), dan penguatan pendidikan karakter," jelas Nadiem seperti dikutip dari Liputan6.com.

Dari pernyataannya yang sedemikian rupa maka adik-adik/anak-anak/cucu-cucu kita akan menghadapi situasi baru untuk melalui perjalanannya di jenjang persekolahan. Praktis, tidak akan ada lagi yang harus ke dukun untuk mencari kunci jawaban. Karena dengan Asesmen Kompetensi Minimum (AKM), kita akan sangat mengandalkan kapasitas peserta didik secara akumulasi menuju kompetensi yang diharapkan. Apakah benar demikian?

Jika merujuk dari apa yang dinyatakan Nadiem, bahwa UN bukan metode untuk mengasah kompetensi melainkan kemampuan peserta didik dalam menghafal, maka kita dapat memperkirakan bahwa sistem AKM ini akan fokus pada bagaimana para siswa mampu mengingat apa yang selama ini dia pelajari melalui tes yang disebut AKM tersebut.

Walau masih belum detil tentang bagaimana mekanismenya, namun dengan pernyataan bahwa AKM ini tidak seperti UN - identik dengan hafalan, maka AKM akan menghindari pola yang sama dengan UN.

Memang, di sini penulis menyebutnya dengan istilah mengingat. Namun mengingat di sini fokusnya bukan tentang metode pembelajaran yang mengandalkan proses mengingat jangka pendek. Misalnya dengan masa belajar sepekan penuh untuk mempersiapkan diri dalam menghadapi tes (UN). Inilah yang biasanya terjadi saat para siswa akan UN.

Sedangkan ketika AKM ini berlaku, bisa saja model tesnya akan seperti tes IQ, EQ, dan SQ, yang mana peserta didik dapat melakukannya kapan saja (melakukan pendaftaran mandiri/tanpa jadwal kaku) sesuai dengan masa berlaku yang telah ditentukan. Misalnya dengan keputusan dari Nadiem yang menyatakan bahwa AKM akan dilakukan saat peserta didik memasuki jenjang pertengahan masa didik (kelas 4, 8, dan 11), maka selama masa didik tersebut, peserta didik dapat melakukan AKM.

Pihak MPR juga menanggapi keputusan Nadiem terhadap UN yang dihapuskan pada 2021. (Liputan6.com)
Pihak MPR juga menanggapi keputusan Nadiem terhadap UN yang dihapuskan pada 2021. (Liputan6.com)
Pola ini diprediksi (penulis) akan diterapkan dalam pelaksanaan AKM. Karena, dengan pola tersebut, peserta didik akan lebih siap dan tidak tertekan. Ambil contoh dengan pelaksanaan tes IQ yang pernah diikuti penulis saat SMP. Pada saat itu, penulis sebenarnya sedang menjalani KBM di kelas. Namun, tiba-tiba -sebenarnya sudah dengan sepengetahuan dan ijin dari kepala sekolah dan guru di kelas- datang pihak dari (sejenis) lembaga bimbingan belajar ekstra (bimbel/les) untuk melakukan tes IQ.

Ternyata hanya dalam waktu 45-60 menit, proses itu dapat berjalan lancar. Meski bagi beberapa siswa ada yang sangat lambat untuk menyelesaikannya, termasuk penulis yang memang cukup santuy dalam mengerjakannya. Sehingga, membuat pihak pemberi tes tersebut perlu sedikit melonggarkan waktu pengumpulan, meski penulis yakin bahwa mereka juga menandai individu-individu yang lambat dalam menyelesaikan tes tersebut.

Namun, perlu diketahui bahwa tes semacam itu tidak pernah menuntut kesempurnaan dalam menyelesaikan seluruh soal yang ada di tes tersebut. Mengapa?

Karena, kompetensi setiap individu pasti berbeda dalam menjawab setiap soal yang disediakan, dan inilah yang diyakini penulis akan terimplementasikan juga di AKM. Hal ini dapat diselaraskan oleh perhitungan Nadiem terhadap AKM yang dijalankan di tengah masa pendidikan siswa. Ketika pelaksanaannya berada di tengah, maka akan ada waktu bagi para guru untuk memperbaiki kompetensi peserta didiknya dengan mengacu hasil AKM.

Sehingga, AKM akan membuat para peserta didik memiliki evaluasi selama satu tahun ke depan dan itu akan memberikan pencerahan juga bagi mereka untuk menentukan masa depannya sendiri -dengan bimbingan guru dan sepengetahuan orangtuanya.

Hal ini akan seperti tes IQ tadi yang membuat guru maupun orangtua dari peserta tes tersebut mulai memahami kompetensi si anak. Mereka juga pasti akan mulai menerka-nerka masa depan anak-anak itu sesuai dengan hasil tersebut, termasuk dari laporan khusus pihak penyelenggara tes kepada guru dan orangtua/wali siswa.

Jadi, penulis memprediksi bahwa dengan AKM ini para siswa yang menjalaninya akan memiliki masa untuk introspeksi diri dibandingkan mengejar hasil seperti UN yang biasanya diembel-embeli istilah "yang penting lulus". Sedangkan dengan AKM ini para siswa akan berpikir bahwa mereka mengetahui di mana letak kemampuannya dan bagaimana caranya supaya mereka dapat mencapai standar minimum yang disepakati dan itulah yang akan menggiring mereka untuk lebih percaya diri dalam menyongsong masa depan -karena mendapatkan dukungan juga dari guru dan orangtuanya.

Inilah yang sebenarnya penulis dapatkan dari terobosan Nadiem Makarim tersebut. Penulis juga berpikir bahwa dengan keberadaan AKM ini, para pendidik dan peserta didik dapat terhindar dari pola kerja pragmatis seperti ketika UN masih berlaku. Apalagi, di tahun 2020 Ujian Sekolah Berstandar Nasional (USBN) yang berlaku akan diganti dengan pola yang lebih holistik alias membuat ujian yang berbasis kurikulum, namun ketentuan teknisnya dibebaskan ke setiap sekolah.

Ilustrasi UN. (Detik.com)
Ilustrasi UN. (Detik.com)
Artinya, setiap sekolah dapat menentukan bentuk ujiannya apakah berupa portofolio dan penugasan atau tes tertulis. Melalui cara ini, setidaknya guru mulai memiliki waktu untuk bertransisi dari pola yang masih ada UN dengan pola yang tidak lagi ada UN di tahun 2020 nanti.

Semoga para guru dapat cepat beradaptasi. Sehingga, memudahkan pula proses adaptasi para siswanya. Jika para guru berhasil beradaptasi dengan perubahan ini, maka para siswa yang akan menjadi generasi masa depan bangsa juga akan mampu beradaptasi dan keluar sebagai hasil dari perubahan sistem didik di Indonesia yang digagas oleh mendikbud baru, Nadiem Makarim.

Semoga sukses Mas Nadiem!
Selamat bekerja para guru yang terhormat!
Selamat belajar juga adik-adik calon pengisi meja tes USBN 2020 dan AKM 2021. Kalian pasti bisa!
#IndonesiaTanpaUN2021

Malang, 11 dan 12-12-2019
Deddy Husein S.

Kabar dan sumber terkait:

Kompas.com, Liputan6.com 1, Liputan6.com 2, Detik.com, Republika.co.id.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun