Sejak 5 Desember 2019, "Ketemu Buku" kembali hadir di Malang untuk kali keempat. Bertempat di Taman Krida Budaya Kota Malang, event literasi yang selalu menghadirkan bazar buku yang cukup besar ini kembali menuntaskan dahaga para penikmat literasi (pembaca dan penulis).
Event ini juga tak hanya menghadirkan bazar, namun juga menghadirkan pembicara-pembicara nasional yang tentunya sayang untuk diabaikan. Salah satunya adalah Susilo Toer yang merupakan adik sastrawan besar Indonesia, Pramoedya Ananta Toer (Pram). Kabarnya, beliau hadir di hari pertama (5/12). Namun karena di Malang sedang rutin hujan, membuat penulis tak berkesempatan hadir.
Penulis baru dapat hadir di hari Sabtu (7/12) -ketika hujan sudah reda- dan kurang memperhatikan acara talkshow literasi di depan gedung yang digunakan untuk bazar. Penulis lebih tertarik masuk ke tempat bazar dan melihat-lihat calon buku yang ingin dibawa pulang (baca: dibeli).
Awalnya, penulis tidak memikirkan apapun tentang bazar dari "Ketemu Buku" ini. Kalaupun ingin mengulas tentang "Ketemu Buku", maka lebih ke arah apresiasi terhadap penyelenggaraannya. Namun, pada saat penulis berkeliling di bazar tersebut, ada suatu ide yang menarik untuk diulas.
Danarto, NH Dini, Goenawan Mohamad, dkk) dengan penulis baru (tidak lebih tenar/di bawah generasi Agus Noor, Hasta Indriyana, Puthut EA, dkk). Kira-kira lebih banyak mana peminatnya?
Yaitu, perbandingan daya tarik antara buku-buku yang dihasilkan penulis lama (contoh: Chairil Anwar, Buya Hamka, WS Rendra, Sapardi Djoko Damono,Jika menilik pada proses pengamatan sekilas dari penulis, memang tidak sepenuhnya dapat menjawab pertanyaan tersebut. Selain karena penulis sibuk mencari buku-buku yang dapat diincar, juga karena penulis tidak berinteraksi langsung dengan pengunjung maupun volunteer kegiatannya.
Namun, dalam proses tersebut penulis memperoleh beberapa fenomena yang menarik untuk dijadikan bukti terhadap topik pembahasan di sini. Mari kita simak!
Pertama, buku Pram "Bumi Manusia" masih ada yang mencarinya. Terbukti di meja kasir, terdapat pengunjung bazar yang membeli buku tersebut. tentunya, ada faktor-faktor yang dapat diduga oleh penulis. Selain karena harga buku tersebut pasti lebih murah (ada diskon) daripada di toko buku, juga dikarenakan adanya pengangkatan kisah dari buku tersebut ke film (disutradarai oleh Hanung Bramantyo). Artinya, popularitas dari karya lama tersebut masih terjaga.
Kedua, buku-buku dari penulis lama masih mendominasi. Terlihat dari keberadaan karya Danarto, Buya Hamka, dan lainnya yang masih terpampang. Begitu pula dengan kisah-kisah dari tokoh nasional lama yang masih menjadi daya tarik tersendiri, seperti Tan Malaka, Soekarno, Soeharto, hingga tokoh-tokoh zaman kerajaan nusantara. Artinya, atmosfer sejarah (kisah/karya lama) masih diminati dan terwadahi.
Ketiga, karya baru dan dari penulis baru biasanya mendominasi "label" best seller. Seperti buku Risa Saraswati yang bergenre horor. Hingga muncul juga buku yang membahas sosok-sosok fenomenal seperti Gus Muwafiq yang dikenal sebagai ulama yang menyebarkan ajaran agama (Islam) dengan unsur-unsur sejarah.
Keempat, penerbit yang dikenal masyarakat literasi akan lebih banyak dihampiri. Salah satunya adalah Diva Press yang dikenal menghadirkan karya-karya cerpen dari Agus Noor, Danarto, Hasta Indriyana, hingga buku-buku kumpulan puisi yang salah satunya seperti "Tangan yang Lain" dari Tia Setiadi.