Mohon tunggu...
Deddy Husein Suryanto
Deddy Husein Suryanto Mohon Tunggu... Penulis - Content Writer

Penyuka Sepak Bola. Segala tulisan selalu tak luput dari kesalahan. Jika mencari tempe, silakan kunjungi: https://deddyhuseins15.blogspot.com

Selanjutnya

Tutup

Hobby Artikel Utama

Perlukah Penyantuman Sumber dalam Penulisan di Blog?

5 Desember 2019   13:42 Diperbarui: 10 Desember 2019   02:50 563
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi nge-blog. (Nmc-mic.ca)

Mari membuat kesepakatan bahwa ini tidak akan membahas tentang penulisan di buku dan jurnal. Karena, penulisan di dalam buku dan jurnal akan lebih kaku dan taat aturan dibandingkan menulis di blog. Apalagi jika blog itu adalah blog pribadi. Sehingga, siapa saja penulis atau pemilik blog tersebut akan memiliki hak untuk menyantumkan atau tidak sumber maupun referensinya.

Bagaimana dengan saya, apakah saya merasa perlu untuk menyantumkan sumber dalam penulisan di blog saya?

Sebagai seseorang yang masih terikat dengan bidang akademisi, saya tentu merasa penyantuman sumber adalah keniscayaan. Bukan lagi perlu, tapi harus. Pertimbangannya beragam. Selain karena kode etik dalam menulis yang sedemikian rupa, juga karena secara pengetahuan dan pengalaman biasanya masih belum sepenuhnya diyakini oleh pembaca bahwa tulisan itu "murni".

Di lingkup akademisi, setiap statement yang keluar dari tangan kita perlu dipertanggung jawabkan. Siapa yang menyatakan ini? Itulah yang sering dipertanyakan oleh orang akademisi (dosen dan mahasiswa). Jika tidak ada sumbernya, maka pernyataan itu diragukan keabsahannya meski benar.

Inilah yang menjadi polemik yang kemudian menjadi gaya tulis dari orang-orang yang salah satunya adalah saya. Namun, menurut saya penulisan apapun itu ketika memang sudah pernah ada yang menyatakannya maka tidak ada kurangnya bagi kita untuk menyantumkannya. Apakah karena ada sumber, berarti pernyataan murni dari kita akan tenggelam dan kalah kuat?

Justru seharusnya tidak. Mengapa?

Karena dengan adanya penyantuman sumber, berarti kita menunjukkan sisi yang dapat membuat pembaca semakin percaya pada kita. Yaitu, kapasitas literasi. 

Kapasitas literasi ini krusial bagi penulis. Karena sebagai penulis, pekerjaannya tidak hanya menghasilkan tulisan namun juga menunjukkan rekam jejak membacanya. Melalui penyantuman sumberlah para penulis dapat membuktikan kapasitas literasinya.

Maka dari itu, penulis juga tidak setuju jika penyantuman sumber hanya dilakukan secara pragmatis. Artinya, tidak digunakan sebagai bukti berliterasi, melainkan hanya tempelan. Hanya karena secara judul dan topik generalnya sesuai, maka sumber itu dicantumkan tanpa dibaca terlebih dahulu.

Hal inilah yang harus dihindari ketika melakukan penyantuman sumber. Pragmatisme dalam penyantuman sumber pada akhirnya akan membuat bumerang negatif bagi penulisnya. Karena, pasti akan ada masanya si penulis diuji pemahamannya ketika menyantumkan sumber tersebut dalam tulisannya.

Nah, pengujian ini yang biasanya akan dihindari oleh banyak penulis. Karena, mereka sudah merasa bahwa tulisan yang dihasilkan sudah melalui proses kontemplasi, dan itu sudah sangat cukup. Padahal tidak.

Proses kontemplasi sangat berguna untuk mengasah daya pikir, namun tidak untuk menghargai tulisan-tulisan lain yang satu topik dan pernah ada. Bayangkan saja jika Anda melihat sendiri topik yang sama dari penulis lain, namun beredar setelah punya Anda mengudara terlebih dahulu dan tulisan tersebut tidak sedikitpun menyentil tulisan Anda. Apa yang Anda pikirkan?

Inilah yang perlu dipertimbangkan. Karena, semua orang meski berbeda karakter dan lainnya, tetap saja terdapat pemikiran-pemikiran yang sama, baik yang positif maupun yang negatif. Untuk itulah, keberadaan sumber mulai dibutuhkan.

Apalagi jika berbicara soal sisi akademik, penghargaan para akademisi selain berhasil mewujudkan sesuatu di lapangan juga harus dibuktikan dengan wujud tulisan. Sehingga, penyantuman sumber untuk menghargai mereka sangat diperlukan.

Lalu, bagaimana dengan penulisan di blog yang terkadang tidak sesuai dengan permintaan pasar (semaunya penulis)?

Penyantuman sumber akan menyesuaikan seberapa besar pernyataan yang dihasilkan oleh penulisnya di blog tersebut. Selain itu, perlu dilihat juga tentang apa topik yang dihasilkan. Apakah menyangkut paut terhadap situasi eksternal dari penulis, atau internal.

Jika internal, maka tidak begitu diperlukan adanya sumber. Karena, hampir seluruhnya tulisan tersebut berasal dari kontemplasi pasca melihat peristiwa di luar (bukan sepenuhnya untuk curhat). Sedangkan untuk sisi eksternal, biasanya terjadi interaksi dengan pihak lain, baik secara langsung ataupun tidak.

Contohnya, ketika meliput suatu peristiwa, si penulis juga berinteraksi dengan orang lain dan biasanya bertukar informasi. Di situlah pemikiran dari penulis tidak akan lagi murni. Karena, besar kecil informasi yang diperoleh dari orang lain pasti mempengaruhi proses berpikir dari penulis. Dari situlah, penyantuman sumber dapat dipertimbangkan.

Contoh interaksi tidak langsung juga dapat terjadi ketika si penulis "meliput" peristiwa dari media massa online. Meski 99% tulisan yang dihasilkan adalah proses analisisnya, tidak akan terlihat buruk jika di akhir tulisannya terdapat penyematan sumber. Karena, di situ terdapat upaya secara tidak langsung bagi penulis untuk membuktikan bahwa dengan sumber yang sedemikian rupa dapat menghasilkan tulisan yang tidak sedemikian rupa.

Melihat penjabaran tersebut, seharusnya dapat dipahami bahwa penyantuman sumber bukan suatu hal yang kaku dan buruk. Karena, itu sangat menyesuaikan apa yang dihasilkan dan prinsip kerja si penulis. Jika terdapat banyak tulisan tanpa sumber, bisa saja si penulis malas mencari apa yang setopik dengan tulisannya.

Namun, tak menutup kemungkinan bahwa banyak tulisan yang tak bersumber adalah hasil jerih-payah si penulis yang sudah makan asam-manis kehidupan. Karena itulah, demi menghargai sendiri hasil tulisannya, maka tidak ada salahnya bagi si penulis untuk "memurnikan" tulisannya.

Satu hal penting yang perlu dipertimbangkan ketika membaca tulisan yang terdapat sumbernya adalah melayani pembaca. Tidak sedikit pembaca yang memiliki rasa ingin tahu tinggi. Sehingga, dengan adanya sumber di akhir penulisan, biasanya akan menggiring mereka untuk mencari informasi yang sama dengan si penulis.

Pembaca juga berhak setara dengan penulis. Karena, dengan demikian proses literasi tidak hanya memuncak pada para penulis namun juga ke para pembaca, dan ini sangat penting. Karena, dengan level literasi pembacalah, biasanya penulis akan berupaya untuk menyediakannya -sesuai dengan level tersebut.

Sehingga, apabila para penulis ingin membuat para pembaca naik kelas, maka langkah paling bijaksana adalah memberikan mereka asupan yang sama. Nantinya, kita akan melihat apakah para pembaca akan meningkatkan level literasinya atau tidak.

Jika naik, maka para penulis dapat mengangkat level tulisannya dan tidak akan pernah perlu takut kehilangan minat dari pembaca. Karena, mereka juga sudah pasti naik level. Bahkan, bisa saja para pembaca sudah menaikkan levelnya lebih tinggi dari penulisnya. Melalui cara inilah, kita akhirnya paham asal mula penurunan kualitas literasi kita dan bagaimana caranya untuk memperbaikinya.

Jadi, pilih menggunakan sumber atau tidak dalam penulisan blog Anda?

Malang, 4-5 Desember 2019
Deddy Husein S.
Bisa dibaca juga: Kompasiana.com/ahmadirfan

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hobby Selengkapnya
Lihat Hobby Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun