Mohon tunggu...
Deddy Husein Suryanto
Deddy Husein Suryanto Mohon Tunggu... Penulis - Content Writer

Penyuka Sepak Bola. Segala tulisan selalu tak luput dari kesalahan. Jika mencari tempe, silakan kunjungi: https://deddyhuseins15.blogspot.com

Selanjutnya

Tutup

Bola Pilihan

Kongres PSSI 2019 dan Kebiasaan Kita

2 November 2019   07:30 Diperbarui: 3 November 2019   03:35 88
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kongres PSSI awal tahun 2019 di Bali. (Detik.com)

Sebagai penyuka sepakbola, saya tentu tidak dapat melewatkan kesempatan untuk menyinggung penggelaran kongres tahunan PSSI atau di tingkat organisasi kampus biasanya disebut Musyawarah Besar (Mubes). Namun, untuk ketiga kalinya saya tidak memiliki pandangan apapun terhadap siapa caketum yang lebih tepat untuk memimpin PSSI.

Selain nama-namanya asing di telinga (kecuali La Nyalla), saya juga berusaha positive thinking bahwa semua orang berhak menjadi pemimpin dan memegang amanat besar di federasi sepakbola Indonesia tersebut. 

Jujur saja, dua nama yang pernah saya suka ketika diwawancarai tentang sepakbola dan (bagi saya) tepat untuk menjadi ketum PSSI ketika itu (saya masih SMP/SMA) adalah La Nyalla Mattalitti dan Joko Driyono.

Saat itu, sepakbola masih berada di kungkungan Nurdin Halid dan sesekali melihat dua orang ini diwawancarai, khususnya oleh stasiun televisi yang waktu itu mendapat kepercayaan sebagai official broadcasting Liga Indonesia -saat itu bernama ISL. 

Melalui cara bicara keduanya yang simpel namun tidak terlihat tak tahu apa-apa tentang bola, membuat saya berpikir bahwa orang-orang seperti itulah yang tepat untuk menggantikan Nurdin Halid.

Namun, kita harus melihat fakta bahwa manusia tidak ada yang sempurna. Kedua sosok itu juga pada akhirnya ketahuan belangnya dan sama seperti Nurdin Halid yang turut bermain-main soal sepakbola Indonesia.

Hal ini yang membuat saya tidak tahu lagi tentang siapa yang dapat menjadi ketum PSSI, sejak pemilihan Djohar Arifin hingga saat ini.

Satu hal yang membuat saya berpikir bahwa setiap caketum berhak menjadi ketum PSSI adalah ketika mereka (pasti) memiliki sisi-sisi keunggulan.

Seperti Nurdin Halid yang setidaknya dapat membuat Indonesia menjadi tuan rumah Piala Asia 2007 semasa kepemimpinannya. 

Begitu pula dengan La Nyalla yang memiliki keinginan untuk menyelamatkan sepakbola Indonesia dari carut-marut, meski dirinya hanya memimpin satu tahun saja.

Dari situ, saya berpikir lagi bahwa siapa tahu tahun ini La Nyalla dapat mengemban tugas sebagai ketum PSSI dengan durasi yang lebih lama atau setidaknya sesuai dengan batas masa jabatan yang berlaku. 

Pernyataan ini mungkin menuai pro-kontra bagi pembaca. Namun, saya punya alasan untuk menyatakan bahwa La Nyalla bisa saja menjadi ketum PSSI lagi. Mengapa?

Karena, (menurut saya) manusia itu punya dua hal yang mendasar dalam kehidupannya. Pertama adalah peluang. Manusia hidup harus selalu memiliki peluang. Kedua adalah kebiasaan. Manusia selalu memiliki kebiasaan.

Dalam hal peluang, siapapun orangnya selalu berhak memilikinya. Kita tidak bisa melarang atau menutup peluang orang lain untuk hidup secara mutlak, dan ini berlaku juga dalam hal pemilihan ketum PSSI.

Siapa saja yang merasa dirinya pantas menjadi ketum PSSI tentu akan dipersilakan -dengan catatan lolos uji banding dengan caketum lainnya.

Alasan ini membuat saya tidak bisa menyatakan anti La Nyalla dan anti caketum lainnya. Hal ini juga tak lepas dari faktor kedua, yaitu kebiasaan. Menurut saya, manusia hidup dengan kebiasaan yang kemudian terbagi ke dua hal; perubahan dan pengulangan.

Perubahan, artinya setiap orang dapat berubah. Dari yang diidentikkan dengan tindakan kasar, bisa berubah menjadi orang yang dapat bertindak lembut.

Begitu pula jika seseorang pernah berbuat jahat atau melakukan kesalahan dalam setiap langkahnya. Maka, ada peluang besar bagi orang itu untuk berubah menjadi orang yang berbuat baik dan meminimalisir kesalahannya.

Situasi tersebut juga dapat berlaku ke situasi sebaliknya. Yaitu, perubahan dari orang baik menjadi orang jahat. Mungkin contoh paling populer saat ini adalah Joker.

Semua orang yang sudah menonton film dengan judul yang sama tentu akan menyatakan jika orang yang baik juga dapat berubah menjadi orang jahat.

Itulah yang membuat saya tidak terlalu fanatik dengan tokoh-tokoh publik yang selalu menebar kebaikan -walau saya cukup banyak menyimpan foto-foto figur publik.

Karena, bagi saya di balik tindakan mereka di ruang publik, saya hampir 90% tidak tahu-menahu kehidupan aslinya.

Atas dasar inilah, saya lebih memilih untuk membuka opsi yang cukup terbuka--setiap ada pemilihan pemimpin, walau selalu dengan perhitungan atau perbandingan demi meminimalisir adanya kerugian.

Misalnya, lebih memilih si Z menjadi ketua kelas daripada si Y. Karena, dengan kapasitas si Z sebagai ketua kelas, maka situasi ruang kelas akan lebih kondusif.

Berlanjut ke perihal kedua, yaitu pengulangan. Mungkin ada yang berpikir tentang adanya tindakan evaluasi terhadap masa lalu ke masa depan.

Hal ini kemudian merujuk pada perbaikan dan penambahan. Jika perbaikan artinya memperbaiki yang rusak dan ini akan mirip situasinya dengan perubahan.

Maka, saya tidak memilih istilah perbaikan sebagai salah satu kebiasaan manusia, melainkan menjadi bagian dari perubahan ke arah positif.

Begitu juga dengan penambahan. Menurut saya, penambahan bukanlah suatu hal yang dapat disebut sebagai kebiasaan dalam skala besar. Agar lebih mudah memahaminya adalah dengan contoh seperti ini:

Si A adalah murid yang selalu ranking 1 di kelas. Ketika lulus SMA, dia dapat melanjutkan kuliah di universitas ternama di Indonesia. Lalu, apakah itu artinya si A semakin bagus atau dapat disebut melakukan penambahan terhadap kebiasaannya (baca: kemampuannya)?

Jawabannya adalah tidak. Karena, yang si A lakukan sebenarnya bukan penambahan. Melainkan pengulangan. Dia terus melakukan rutinitas belajar dan berkegiatan penuh prestasi lainnya dan itulah membuatnya memiliki peluang besar untuk lulus dan diterima di kampus ternama. Seandainya dia tidak melakukan pengulangan, maka akan kecil peluang baginya untuk berkuliah di kampus tersebut.

Apakah itu artinya tidak ada keberuntungan?

Menurut saya, keberuntungan memang ada. Namun, selama perjalanan hidup saya, kebanyakan apa yang terjadi dalam kehidupan saya adalah didasari dari pilihan.

Misalnya, saya ingin kuliah di universitas B dan harus di situ. Maka, saya harus melakukan pemilihan jurusan yang tepat dan itu harus sesuai dengan kemampuan -mengulangi rutinitas membaca informasi di internet- dan target saya (ingin kuliah di situ). Soal beruntung atau tidak, itu bukan urusan saya.

Lalu, bagaimana dengan kasus seperti Joker, apakah sosok itu juga dapat disebut telah melakukan pengulangan?

Jawabannya adalah iya. Setelah dia melakukan perubahan--dari baik ke buruk--dan nyaman dengan perubahan itu, maka yang dia lakukan adalah pengulangan.

Situasi ini kemudian dapat diseret ke orang-orang yang pernah menjadi narapidana lalu mencalonkan diri sebagai caleg seperti saat pemilu kemarin.

Di sana, kita dapat melihat dua praktik ini -perubahan dan pengulangan- akan berjalan dan memberikan hasil kepada masyarakat. Yaitu, siapa yang berubah dan siapa yang mengulang.

Artinya, perubahan dan pengulangan dapat dilakukan secara terpisah ataupun dicampur--seperti pernyataan di paragraf sebelumnya/menyesuaikan situasinya.

Jika caleg eks napi ingin berubah (menjadi baik), maka dia tidak akan mengulangi perbuatan sebelumnya. Jika caleg eks napi ingin mengulang, maka dia akan semakin besar dalam memiliki peluang untuk lebih hebat lagi saat bertindak kriminal -dan masuk bui lagi.

Penggambaran ini juga berlaku untuk La Nyalla ataupun caketum lain yang mungkin dianggap masih satu "lingkaran setan" dengan (pengurus) PSSI masa sebelumnya yang disebut-sebut masyarakat sangat kacau nan bobrok. 

Artinya, pada pemilihan ketum PSSI tahun ini dan tahun-tahun selanjutanya kita perlu melakukan dua hal. Pertama, memberikan peluang. Kedua, melihat kinerjanya; apakah berubah atau mengulang.

Melalui tulisan ini, harapan saya Kongres PSSI 2019 berjalan lancar dan dapat mengeluarkan hasil yang mampu membuat masyarakat optimis, bahwa kedepannya sepakbola Indonesia berjalan ke depan. Selamat berkongres, PSSI!

Malang, 2 November 2019
Deddy Husein S.

Referensi:
KPSN Tak Memihak (Kompas.com), Daftar Caketum PSSI 2019-2023 (Kompas.com), dan Akhiri Lingkaran Setan atau Sama Saja (Kompas.com).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bola Selengkapnya
Lihat Bola Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun