Tujuannya cuma satu, yaitu tidak hanya membuat PSSI bertanggungjawab penuh terhadap kebobrokan timnas, namun juga mengajak masyarakat -khususnya penyuka sepakbola- untuk belajar bertanggungjawab juga terhadap proses pembangunan timnas. Karena, akhir-akhir ini saya merasa bahwa masyarakat terlalu hebat untuk menilai timnas, sedangkan timnas juga sudah berupaya maksimal walau di mata saya pun itu belum maksimal.
Maka dari itu, tidak menutup kemungkinan bahwa ada sistem polling terbuka ketika nama-nama bursa pelatih timnas itu belum dimasukkan ke "kotak penentuan". Misalnya, dalam rentang 1 bulan di awal tahun 2020 nanti, masyarakat diberikan kesempatan mengisi polling secara online untuk menyebutkan calon pelatih timnas.
Tentu tidak hanya nama, masyarakat juga diwajibkan memberikan alasan terhadap pemilihan tersebut. Dari sekian banyak nama yang muncul, maka perlu diberlakukan kurasi. Barulah di situ peran orang-orang yang sudah terlibat di dunia sepakbola Indonesia secara praktik (di lapangan) dan non-praktik (di luar lapangan) seperti pengamat profesional dapat dimanfaatkan.
Libatkan mereka untuk menyeleksi pelatih dan kemudian memberikan penentuan terhadap apa yang akan dilakukan oleh pelatih dan apa yang dapat diberikan oleh PSSI. Dua hal ini harus sinkron. Karena, pelatih pasti butuh banyak data tentang pemain di Indonesia, begitu pula dengan PSSI yang harus tahu karakter pelatih yang akan memimpin skuad timnas di ajang lanjutan pra-kualifikasi dan Piala AFF 2020.
Jika hal ini terjadi, maka di antara pelatih dan PSSI tidak mengalami kontradiksi. Begitu pula dengan masyarakat dan pengamat sepakbola Indonesia. Mereka juga harus berani "mengawal" pilihan pelatihnya dan tidak lagi berekspektasi terlalu jauh -seperti yang pernah dikatakan pula oleh Justinus Lhaksana.
Bagi saya, kekecewaan publik terhadap timnas terdiri dua hal. Yaitu ekspektasi tinggi dan perbandingan. Kita memang perlu berharap, namun ketika hasil tidak sesuai, maka itu adalah keniscayaan yang harus diterima. Toh, di antara semua ekspektasi di dalam kehidupan kita, tidak semuanya dapat terealisasi, dan itu juga berlaku bagi timnas.
Perihal kedua adalah perbandingan. Bagi saya, tidak adil membandingkan skuad timnas saat ini dengan masa lalu. Karena, timnas di masing-masing era selalu memiliki kelebihan dan kekurangan, dan bagi saya terlalu naif kalau mengagung-agungkan nama Budi Sudarsono dan lainnya ketika di zaman itu pula mereka juga tidak sepenuhnya mendapatkan pujian kala bermain.
Wong di zaman itu mental bermain mereka juga tidak bagus-bagus banget. Hanya, yang membuat mereka patut diacungi jempol adalah produktivitas mereka cukup bagus. Itu terbukti dengan keberhasilan penyerang-penyerang timnas Indonesia menjadi peraih gelar topskor di Piala AFF. Sebut saja Ilham Jayakesuma dan Bambang Pamungkas yang namanya masih familiar di ingatan kita.
Poin inilah yang sebenarnya mengalami degradasi dan membuat kita seperti tidak memiliki apa-apa. Bagaimana bisa menang, jika kita tidak bisa menghasilkan gol? Karena, kebanyakan tim yang terlihat hebat dan selalu dapat meraih kemenangan, adalah mereka yang selalu dapat merealisasikan peluang menjadi gol. Jika hal ini terjadi, maka tekanan mental akan lebih banyak mengarah ke lawan dan inilah yang tidak bisa dilakukan timnas di masa sekarang.
Melihat hal itu, saya berpikir bahwa memang timnas saat ini seperti tidak memiliki cara yang bagus. Khususnya untuk membuat tim ini benar-benar garang khususnya di depan. Inilah yang sebenarnya perlu dilakukan oleh pelatih timnas, dan saya masih berpikir bahwa pekerjaan rumah ini harus dilakukan terlebih dahulu oleh Simon McMenemy.
Kita perlu tahu, sampai sejauh apa Simon dapat bekerja keras dan itu perlu didukung oleh pemainnya dan tim kepelatihan, termasuk masyarakat. Jika hal itu terjadi, maka masih ada peluang bagi Simon untuk memperlihatkan kapasitasnya. Karena, bisa saja dia masih dapat berbuat banyak khususnya untuk melanjutkan masa baktinya dan menjawab mosi tidak percaya dari masyarakat Indonesia kepadanya.