Premis artikel ini adalah mengapa Pretty Boys sangat direkomendasikan?
Ini adalah bagian kedua dari artikel sebelumnya, namun ini adalah tulisan yang membahas secara khusus tentang tanggapan saya tentang film Pretty Boys berdasarkan animo masyarakat penontonnya. Film yang baru dirilis lima hari lalu (19/9) telah disebut-sebut sebagai film yang mendapatkan banyak apresiasi bagus (pujian) yang kemudian tidak lepas untuk dibandingkan dengan film WDR Part 3. Mengapa?
Terlepas dari kesamaan genre seperti yang sudah saya ungkap di artikel sebelumnya, saya menangkap adanya beberapa hal yang dapat membuat film ini mendapatkan sambutan hangat dari masyarakat penonton. Salah satunya adalah keberadaan basis penggemar Vincent dan Desta yang di film ini menjadi dua tokoh sentral; Anugerah dan Rahmat.
Penilaian ini saya tangkap ketika saya memang belum memiliki kesempatan untuk menonton langsung film tersebut. Sehingga, seperti yang saya lakukan di artikel sebelumnya, bahwa saya juga membawa satu video review dari vloggerpedia. Alasannya juga sama, bahwa review yang dihasilkan juga cukup balance. Karena tidak hanya mengungkap apa yang menurut si pengulas bagus, namun juga ada catatan-catatan (kekurangan) yang juga diungkap.
Berangkat dari review tersebut ditambah sekian banyak video promosi yang saya tonton dari para cast Pretty Boys, dan tentunya dengan trailer-nya, saya melihat bahwa ada tiga hal yang dapat saya tangkap sebagai sisi plus dari film ini dan juga dua sisi minus yang mungkin ada di dalam film ini.
Inilah yang membuat penonton akan merasa seperti sedang melihat cermin. Karena, tidak memungkiri bahwa di antara kita ada orang-orang yang ingin menjadi sosok yang dapat berkarya dan dapat dikenal banyak orang. Peran tokoh semacam inilah yang membuat kita akan melihat sosok-sosok yang dekat dengan diri kita masing-masing.
Hal ini sudah saya singgung di bagian 1, bahwa apa yang dilakukan Vincent dan Desta seperti Warkop DKI yang menghadirkan figur legendaris yang bisa dikatakan saling melekat antara karakter dengan pemerannya (Dono, Kasino, Indro) tentu sangat dikenal seperti apa yang kita tonton di dalam film mereka.
Pola tersebut terlihat mirip dengan premis yang menonjolkan persahabatan dua orang laki-laki yang tumbuh bersama hingga merajut karir bersama. Premis yang menggambarkan realitas yang sama antara Vincent-Desta yang hingga saat ini masih berkarir bersama di jagat hiburan Indonesia.
Selain itu, kita seperti melihat tokoh-tokoh yang memang pantas untuk diperankan oleh Danilla dan sosok Ayah Anugerah yang juga tepat untuk diperankan oleh Roy Marten. Karena dengan fisik ala Indo-Belanda yang dimiliki Vincent Rompies, maka tidak kontras jika dihadirkan sosok ayah yang wajahnya terlihat blasteran seperti Roy Marten.
Pemilihan ini jelas terlihat sesuai porsi, terlepas dari bagaimana kemampuan beraktingnya di film tersebut -berlaku pada semua aktor debutan dan cameo.
Plus ketiga adalah kisah yang diangkat tergolong faktual dan masih aktual. Hal ini dapat dilihat pula dengan mudah dari review dan promosi mereka yang mengungkap bahwa mereka menggunakan kendaraan dalam menghasilkan film ini.
Yaitu gambaran tentang kondisi pertelevisian di Indonesia dalam beberapa waktu ini yang disebut-sebut sedang berada di situasi yang mengkhawatirkan. Bahkan, disebut-sebut pula apakah pertelevisian ini yang merusak kita (masyarakat penonton dan penyaji) atau kita yang merusak pertelevisian.
Kisah ini tentu kurang mendapatkan porsi di kisah-kisah perfilman Indonesia. Mengapa? Karena apa yang dihadirkan dapat disebut pula sebagai kritikan terhadap apa yang sedang terjadi di dunia hiburan. Ibaratnya seperti anak yang sedang mengkritisi keadaan rumahnya. Maka, ada kemungkinan bahwa film ini seperti itu.
Tiga poin inilah yang membuat film ini terlihat semakin membumi dan layak ditonton oleh semua orang. Karena, dengan premis sedemikian rupa kita dapat membayangkan dengan mudah. Sehingga, proses memahami konteks-konteks yang dihadirkan di film dapat berjalan lancar. Hanya, karena film ini banyak melibatkan orang-orang baru (debutan), maka film ini juga pastinya akan menghadirkan pula kekurangan-kekurangan.
Jika di video tersebut diungkap bahwa kekurangan pada film Pretty Boys lebih mengarah pada unsur kualitas film baik teknis dan non-teknis. Sedangkan bagi saya, sisi kekurangannya adalah pada genre. Mengapa?
Lalu, alasan kedua adalah genre yang dipilih saat ini sedang kalah populer dengan pilihan genre lain. Karena saat ini masyarakat penonton sedang gandrung dengan film ber-genre superhero/action (dari luar negeri) dan horor. Apalagi, Indonesia baru saja memiliki film jagoan yang berjudul Gundala. Maka, rombongan masyarakat penonton saat ini masih sedang memikirkan film seperti itu. Termasuk ketika film-film horor masih tidak pernah absen di setiap bulan tahun ini. Maka, selera masyarakat saat ini masih ada di sekitaran dua genre tersebut.
Meski demikian, keberadaan film seperti Pretty Boys dapat diharapkan akan menjadi tontonan yang menarik dan dapat menghibur masyarakat penonton seperti ketika mereka menyaksikan aksi-aksi Vincent dan Desta di acara televisinya. Setidaknya film ini dapat menjadi persembahan Vindes dkk kepada penikmat tv dan film di waktu yang sama. Inilah yang justru saya duga ketika film ini muncul.
Lalu, benarkah film ini sangat recomended untuk ditonton?
Selain karena fan base, menurut saya siapa pun kita yang biasanya suka menonton film, mungkin akan rugi jika tidak mencoba ngepoin film ini. Apalagi di dalam film ini terdapat banyak cast yang menurut saya patut untuk dikepoin kinerjanya, sekaligus menjadi saksi juga terhadap upaya orang-orang tersebut untuk berkarya tanpa hanya mengambil "jalan aman".
Baca juga: Satu bulan menuju launching Pretty Boys. (DeddyHS_15/Kompasiana)
Official trailer:
Malang, 22-23 September 2019
Deddy Husein S.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H