Situasi semacam inilah yang tentunya menjadi hal yang menarik ketika kembali di-blow up. Apalagi melalui pertunjukan teater, dan Teater Cowboy salah satu yang memiliki kesempatan untuk memberikan pesan itu kepada masyarakat penonton teater, khususnya mahasiswa-mahasiswa di Universitas Brawijaya Malang. Melalui pementasan itu pula kita dapat melihat bahwa kisah-kisah semacam ini sebenarnya banyak terjadi di masyarakat. Hanya, yang paling sering terlihat adalah ketika kisah percintaan beda agama itu menjadi viral atau setidaknya berada di lingkungan selebriti nasional.
Padahal, di antara kita yang berada di antah berantah bisa jadi sedang mengalaminya dan bahkan sedang berupaya melalui pergolakan tersebut. Namun, kisah seperti yang dituangkan dengan naskah Grafito -jika di pentas Teater Cowboy membingkai kisah Limbo & Ayesha- tidak hanya ingin mengkritisi situasi sosial berdasarkan agama dan cinta. Karena di Grafito kita juga dikenalkan dengan kearifan lokal (budaya).
Bagaimana, norma kearifan lokal terkadang bisa menyelamatkan (memaklumi) perbedaan karena mereka biasanya meyakini bahwa apa yang terjadi di masa lampau juga dapat terjadi di masa kini (relatable dan repetitive). Hal ini dapat dilihat dengan kepercayaan -ada di dialog Pawang- terhadap kisah Ratih dan Kamajaya yang dikenal sebagai simbol pasangan abadi. Artinya, berdasarkan cinta, kita bisa meniru apa yang sudah dilakukan oleh Ratih dan Kamajaya.
Begitu pula ketika kita mendasari terhadap apa yang pernah terjadi di masa lampau melalui kisah-kisah cinta yang dilandasi perbedaan latar belakang seperti (misalnya) Rara Anteng dan Jaka Seger (legenda Tengger). Atau jika ingin yang lebih real, kita bisa melihat pada pasangan Ari Sihasale dengan Nia Zulkarnaen. Contoh semacam inilah yang membuat kita akan lebih membumi dan mampu menjalani kehidupan berdasarkan apa yang bisa kita terapkan tanpa harus mencoba melawan arus, melainkan memaklumi apa yang memang harus terjadi.
Karena, ketika kita dapat memaklumi perbedaan, maka benih-benih negatif biasanya akan melumer dan tentunya kita akan lebih nyaman dalam mengarungi kehidupan di era yang semakin mengglobal ini. Ponsel saja yang biasanya melekat di genggaman kita belum tentu diproduksi oleh orang yang seagama dengan kita. Namun buktinya, kita masih mencintainya dengan terus menggunakannya setiap hari. Apalagi cinta antar manusia yang terkadang dilahirkan dengan ketidakberdayaan dalam memilih sendiri apa agamanya. Apakah kemudian mereka merasa memperoleh keadilan jika kemudian dilarang untuk saling mencinta hanya karena berbeda agama?
Malang, 22 September 2019
Deddy Husein S.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H