Mohon tunggu...
Deddy Husein Suryanto
Deddy Husein Suryanto Mohon Tunggu... Penulis - Content Writer

Penyuka Sepak Bola. Segala tulisan selalu tak luput dari kesalahan. Jika mencari tempe, silakan kunjungi: https://deddyhuseins15.blogspot.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Abimana Aryasatya, Ketika Nama Menguatkan Jati Diri

19 September 2019   15:02 Diperbarui: 19 September 2019   15:20 35
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Abimana ternyata diketahui mengganti nama sejak tahun 2011-an. (Grid.id)

Sebenarnya tidak hanya penguatan, nama juga dapat menjadi pembentukan identitas. Namun, karena pembentukan itu ranahnya cukup pribadi -berada di lingkup si pemilik nama, maka penulis menyebutnya sebagai penguatan. Artinya, nama bisa diperlihatkan -kepada publik- sebagai simbol eksistensi.

Lalu, mengapa harus Abimana Aryasatya?

Pertama, kita tidak bisa memungkiri bahwa nama Abimana Aryasatya saat ini sangat banyak diperbincangkan. Baik sebelum dan sesudah film Gundala-nya rilis beberapa waktu kemarin (29/8). Berkat perannya sebagai sosok yang paling dikenal di jagat Bumi Langit (menjadi Sancaka/Gundala), maka tidak mengherankan jika nama Abimana sangat populer saat ini.

Apakah kemudian penulis ingin mendompleng kepopuleran Abimana?
Itu bergantung pada berapa jumlah view di artikel ini pasca terunggah. Jadi, penulis secara pribadi tidak berani kepedean dengan menyatakan bahwa mengangkat nama Abimana akan berkaitan dengan pendomplengan popularitasnya. Jika memang tulisan ini menjadi trending, bisa jadi dikarenakan masih banyaknya orang yang belum bisa move on dari pemberitaan tentang Gundala.

Kedua, pengangkatan isu tentang nama dan merujuk pada Abimana yang disebabkan dari adanya kisah pribadi Abimana. Pemeran Dono di Warkop DKI Reborn part 1 tersebut mengungkap bahwa dirinya sebenarnya memiliki nama asli Robertino Candelas. Namun, atas faktor-faktor tertentu, Abimana memutuskan untuk mengganti nama menjadi seperti yang kita gaungkan saat ini.

Abimana ternyata diketahui mengganti nama sejak tahun 2011-an. (Grid.id)
Abimana ternyata diketahui mengganti nama sejak tahun 2011-an. (Grid.id)
Cukup dua faktor itulah yang melandasi penulisan ini dan sebenarnya lebih dilandasi dari apa yang dikisahkan oleh si pemilik nama tersebut (faktor kedua). Usut-terusut berkat unggahan video dari channel Youtube milik Metro TV, artikel ini mendapatkan fakta yang jujur saja kurang familiar sebelumnya -mungkin karena penulis kurang update atau sering melupakan kilas balik kehidupan para selebriti apalagi tentang kehidupan pribadinya.

Ternyata, ada faktor yang sangat krusial di balik adanya perubahan nama dari sosok Abimana. Yaitu, bagaimana caranya agar dapat membentuk identitas yang baik dan itu ternyata harus dimulai dari nama. Sehingga, di sini kita dihadapkan pada pentingnya nama dalam proses pembentukan jati diri. Hingga kemudian mampu memberikan pengaruh terhadap lingkungan sekitarnya.

 Seperti yang kita ketahui dari video tersebut, bahwa nama begitu penting dalam menampilkan wujud seseorang. Bagaimana Abimana begitu memperlihatkan kepada kita betapa sakralnya nama dalam menentukan bagaimana diri kita nanti dapat bertindak dan memberikan pengaruh kepada orang lain dan lingkungan di sekitar kita.

Memang, bukan berarti nama-nama tertentu akan identik dengan tindakan-tindakan yang negatif maupun sebaliknya. Namun, ada kemungkinan bahwa di balik adanya nama yang sedemikian rupa, akan timbul keinginan dari diri pemilik nama tersebut untuk mewujudkan dirinya selayak nama yang disandangnya.

Apa yang disampaikan oleh Abimana cukup menyadarkan kita bahwa nama itu penting dan nama itu akan membantu kita dalam membentuk diri. Hingga kemudian mengarah pada penguatan identitas (mau dikenal seperti apa).

Sebenarnya banyak kasus atau realitas yang berkaitan atau berawal mula dari sebuah nama. Misalnya, keberadaan julukan. Biasanya nama julukan itu mempresentasikan fisik, kebiasaan, hingga karakter. Ada yang berperawakan preman, maka akan diberi julukan nama-nama yang cenderung "beringas". Begitu pula jika ada yang berkebiasaan unik, maka akan mendapatkan julukan yang unik pula.

Dari praktik itu, kemudian muncul reaksi dari si sasaran -yang memperoleh julukan. Mereka ada yang "masa bodo", ada pula yang enggan mendapatkan julukan tersebut. Bahkan, ada yang berusaha untuk menolak secara tegas (dilakukan secara berulang) terhadap pemberian julukan tersebut.

Alasannya tentu bermacam-macam. Ada yang merasa bahwa menerima julukan itu maka akan menyugesti dirinya menjadi sosok yang sesuai dengan julukan tersebut. Jika memang julukan tersebut menyugesti ke arah yang positif, mungkin tidak masalah. Namun, bagaimana jika malah sebaliknya?

Selain itu, ada pula yang berpikir bahwa menerima julukan tersebut -apalagi jika terlihat kurang baik- maka akan mengecewakan orangtuanya. Karena, tidak bisa dipungkiri bahwa kebanyakan nama yang kita sandang adalah pemberian dari orangtua. Kecuali kalau kita adalah anak bungsu atau memiliki kakak, maka ada kemungkinan nama kita adalah hasil dari pemikiran dan pengharapan dari mereka yang tentunya ingin melihat kita pantas menyandang nama tersebut.

Nama memang seperti label. Namun, hanya nama yang tidak bisa dicopot dengan mudah apalagi jika dibubuhi istilah mantan. Misalnya, jika si Cundra (nama ilustrasi) adalah penulis atau sastrawan yang (biasanya) memiliki nama pena -menjadi Gandewa. Lalu, ketika karya-karyanya semakin dikenal -bersama pula dengan nama penanya, apakah kemudian ada istilah atau penyebutan kepada orang tersebut bahwa dia adalah mantan pemilik nama Cundra?

Inilah yang membuat nama itu tetap melekat kepada seseorang bahkan meski orang tersebut telah memiliki nama pena termasuk mengganti nama -seperti Abimana. Namun, apa yang dilakukan Abimana sepertinya memang perlu dilakukan jika hal itu dapat memberikan dampak yang positif, baik secara individual maupun komunal dan lingkungan.

Bagi penulis, nama itu ibarat harta warisan. Meski kemudian kita memiliki label lain termasuk gelar (akademis) dan nama panggung. Kita tetaplah akan menjaga nama pemberian dari orangtua. Apabila kemudian kita masih memiliki permasalahan seperti halnya krisis identitas, maka kita harus mencoba mencari cara agar permasalahan tersebut dapat terselesaikan.

Salah satunya dapat dengan mengganti nama. Namun, seperti yang dialami oleh Abimana, bahwa nama aslinya tetap ada meski kini dia lebih dikenal sebagai Abimana daripada Robertino. Hanya, dia memang secara psikologis sangat membutuhkan stimulus untuk berubah (menjadi pribadi yang lebih baik), sehingga mengganti nama bisa menjadi solusi terbaiknya.

Dari pengalaman Abimana itulah, kita bisa melihat bahwa nama itu tidak hanya asal tempel. Selalu akan ada makna, termasuk memberikan kepercayaan diri bagi pemilik nama tersebut dalam membentuk diri dan menguatkannya sebagai bentuk eksistensi -memberikan pengaruh- kepada lingkungan interaksinya.

Sehingga, jika masih ada yang meremehkan nama -apalagi nama orang lain- maka itu juga akan membuat kita juga melakukan tindakan menyakiti perasaan, dan bahkan juga dapat merusak kepercayaan diri (jati diri) seseorang. Maka dari itu, kita patut menghargai keberadaan nama, seperti apapun orang yang telah memiliki nama tersebut. Karena, nama adalah salah satu harta yang berharga yang selalu perlu dipikirkan secara matang, baik oleh yang memiliki nama maupun oleh yang telah memberikan nama.

Malang, 18-19 September 2019
Deddy Husein S.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun