Dewasa ini, menemukan artikel panjang dan pendek itu sudah biasa. Karena, sudah semakin banyak orang yang mulai berkeinginan untuk berbagi kisah melalui tulisan. Ini juga tidak lepas dari kebiasaan kita berjejaring di media sosial dalam sedekade. Bagi yang suka berbagi aktivitas terbaru, pasti sering mengunggahnya melalui tulisan.
Tidak mau kalah dengan media sosial, maka kini banyak media menulis yang lebih fokus sebagai wadah menulis. Bukan hanya sekadar berbagi kisah sehari-hari, namun dapat berupa karya-karya tulis yang lebih serius. Ragamnya cukup banyak, namun untuk kali ini kita lebih fokus pada tulisan yang dapat disebut sebagai artikel atau essay -jika di buku.
Artikel ini biasanya lebih mengarah pada tulisan non-fiksi. Dapat berupa landasan pengetahuan maupun pengalaman yang biasanya ingin dibagikan oleh si penulis artikel tersebut. Tulisan berbentuk artikel ini sebenarnya tidak hanya ada di Kompasiana, namun kali ini kita fokus pada tulisan artikel (panjang) yang dimuat oleh Kompasiana saja.
Diawali dengan tip pertama, yaitu memastikan tampilan halaman sudah memuat seluruh tulisan. Tampilan ini dapat dibuktikan dengan adanya tulisan "page all" di kolom alamat web/url. Jadi, sebelum membaca artikel panjang, pastikan halamannya sudah memuat semua tulisannya dengan cara klik "semua halaman" -biasanya ada di bagian akhir tulisan yang menampilkan beberapa paragraf awal dari artikel tersebut.
Terkhusus di Kompasiana, artikel yang berisi lebih dari 1000 kata akan terpotong menjadi 2-3 halaman -bisa lebih. Artinya ada sekitar 450-an kata yang dapat ditampilkan dalam satu halaman. Sehingga, apabila mendapati artikel yang di bagian akhir halaman pertama terdapat angka 1,2,3, dst. yang merujuk pada jumlah halaman dari artikel tersebut, maka, kita seharusnya menunda untuk membacanya terlebih dahulu.
Artinya, kita klik dulu "semua halaman/page all" sebelum membaca artikel tersebut. Tujuannya, supaya semangat membaca kita tidak terpotong. Selain itu, dengan membaca secara keseluruhan tanpa adanya jeda, dapat membuat pesan-pesan yang ada di artikel itu sampai ke pikiran kita dengan tidak setengah-setengah.
Baca artikelnya (contoh artikel 1) di sini: Fitri Haryanti/Kompasiana
Tip kedua adalah mengikuti alur dari tulisan tersebut. Tentunya tidak jarang untuk didapati adanya tulisan-tulisan yang beralur sedikit acak. Entah karena kemampuan menulis dari si penulis artikel tersebut atau tulisan itu berusaha mengungkap banyak hal. Sehingga, alurnya dianggap kurang jelas bagi pembaca.
Namun, sebagai pembaca yang budiman dan budiwati, kita harus bersedia untuk menghargai apa yang sudah disajikan oleh si penulis. Karena jika sudah membukanya, sebaiknya jangan langsung ditinggal sebelum diakhiri. Lebih baik tidak membuka artikel itu sama sekali daripada membukanya namun hanya dibaca pada bagian awalnya saja.
Ini memang terkadang tidak bisa dihindari. Ada beberapa faktor yang mendasari pembaca segera meninggalkan artikel panjang itu. Salah satunya adalah karena jam terbang pembacanya. Semakin sering membaca khususnya membaca tulisan-tulisan yang berkualitas, maka akan semakin selektif pembaca tersebut dalam meng-klik artikel.
Bahkan, secara judul saja, terkadang beberapa pembaca dapat (langsung) menerima dan menolak artikel tersebut. Karena, tidak dapat dipungkiri bahwa rekam jejak membacanya dapat membuat pembaca tersebut cenderung berani berspekulasi terhadap apa isi dari artikel tersebut tanpa harus membacanya (dan tuntas). Maka, tidak mengherankan jika ada istilah "sudah menilai tapi belum melihat".
Ini tentunya masih di ranah hak prerogatif pembaca. Siapa yang bisa melarang?
Maka dari itu, ada satu hal yang dapat mendorong pembaca untuk tidak menduga-duga isi artikel tersebut berdasarkan judul. Yaitu, semangat untuk ingin tahu segalanya. Ini tidak hanya manjur untuk mendorong pembaca dalam membuka artikel tersebut melainkan juga membacanya sampai tuntas.
Jadi, sudahkah kita memiliki semangat untuk mengetahui segalanya?
Tip terakhir atau ketiga, tidak segera mengambil kesimpulan sebelum menuntaskan bacaannya pada artikel tersebut. Ini sebenarnya sudah tersinggung di tip kedua. Dikarenakan memang antara tip kedua dan ketiga terjalin semacam sebab-akibat. Ketika alur tulisan sedikit acak ataupun tulisan yang disajikan terlalu melebar ke mana-mana, maka yang terjadi pada pembaca adalah mencoba untuk segera mengambil kesimpulan agar segera tuntas dalam membacanya.
Contoh artikel 2: Neno Anderias/Kompasiana
Namun, tuntas di sini bukan karena sudah membaca sampai paragraf terakhir (tanpa meloncat dari halaman pertama ke halaman terakhir), melainkan karena dituntaskan sendiri sebelum proses membacanya menyentuh paragraf terakhir. Tindakan ini sebenarnya bukan sebuah rahasia. Karena, kemungkinan para pembaca pernah melakukan hal ini dengan berbagai alasan.
Salah satunya tentu adalah alur bacaan yang terasa kurang "normal" bagi pembaca tersebut. Sehingga, cara yang paling aman agar tidak terkesan buang-buang waktu (alasan yang sering digemakan) adalah dengan segera mencukupkan proses membacanya dan mengambil kesimpulannya -dari pemikirannya sendiri.
Apabila, paragraf terakhir yang identik dengan kisi-kisi kesimpulan dari penulis memang selaras dengan paragraf-paragraf awal, itu tidak akan menjadi permasalahan besar. Namun, bagaimana jika antara paragraf awal dan akhir tidak begitu sinkron karena penulisnya mencoba mengulas dari dua sisi yang berbeda? Itulah yang menjadi persoalan, karena pembaca tidak akan mengetahui alasan di balik ketidaksinkronan itu ketika tidak membacanya secara menyeluruh.
Belum lagi, jika unsur-unsur di dalam tulisan itu mengambil lebih dari dua topik yang semuanya memiliki muara argumentasi yang berbeda-beda. Maka, akan menjadi sesat jika pembacanya tidak membaca ulasan pada artikel itu secara menyeluruh. Karena, dapat dipastikan bahwa kesimpulan yang diambil pembaca akan (sangat) berbeda dari penulisnya.
Contoh artikel 3: Dewi Puspa/Kompasiana
Memang, mengambil kesimpulan yang berbeda itu wajar dan itu juga menjadi bagian dari pembagian hak antara penulis dan pembaca. Namun, ketika pembaca mampu menyinkronkan pikirannya dengan ulasan yang dibaca, akan lebih baik. Karena, pembaca tersebut akan mampu mengulasnya kembali atau  menuturkan kembali hasil bacaannya dengan baik kepada orang lain -ada proses tutur tinular yang bagus pasca membaca.
Dari sini, kita dapat melihat bahwa menjadi pembaca itu juga tidak serta-merta menjadi raja yang dapat semaunya -seperti yang sering disebut di dalam dunia literasi. Karena, pembaca yang baik dan tidak akan tersesat adalah pembaca yang selalu runtut dalam proses membacanya dan baru menilai bagus-tidaknya -tulisan yang dia baca- ketika sudah sampai di akhir paragraf.
Jika sudah demikian, maka pembaca itu akan menjadi raja yang bijaksana, yang biasanya baru akan menetapkan apa keputusannya setelah mendengar semua pertimbangan dari para ajudannya dengan tuntas.
Bagaimana? Sudah bersediakah kita membaca artikel (panjang) dengan tuntas?
Malang, 9-9-2019
Deddy Husein S.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H