Contoh umum yang mudah dilihat adalah ketika kita dapat menemukan orang-orang luar negeri dapat berbicara dengan bahasa Indonesia yang cukup baik, maka kita akan menghargai keberadaannya (terlepas dari warna kulitnya).Â
Jika kemudian itu disamakan dengan kita yang padahal sama-sama orang Indonesia, tentu seharusnya akan lebih mudah untuk diwujudkan (sikap saling menghargai).
Cara terakhir (kelima) adalah memaafkan diri sendiri dan orang lain. Memang sangat sulit untuk memaafkan kesalahan orang lain, apalagi jika itu merupakan pelecehan dan rasisme. Namun, memaafkan orang lain akan dapat kita lakukan ketika kita sudah memaafkan diri sendiri.
Contohnya adalah seperti yang dilakukan penulis. Penulis kini jauh lebih menerima keadaan fisik yang memang terlihat "berbeda" dibandingkan orang-orang asli Jawa. Apalagi jika hanya didasarkan pada tingkat cerah-gelap warna kulit. Maka, jelas cukup berbeda -minimal di wajah.
Namun, penerimaan jati diri ini butuh proses dan salah satunya adalah dari proses (cara) seperti di nomor empat. Ketika kita sudah struggling dan survive (menaikkan kualitas diri), Â maka cara selanjutnya adalah menerima diri apa adanya. Dari sinilah kita bisa memaafkan diri sendiri.
Kebanyakan orang yang masih sulit mengendalikan diri ketika dilecehkan oleh orang lain adalah ketika dirinya belum dapat menemukan kelebihannya dan menerima kekurangannya, salah satunya dilihat dari segi fisik.Â
Sesekali kita boleh membanggakan diri sendiri untuk menguatkan mentalitas. Cara ini akan cukup efektif dalam mengobati rasa sakit terhadap rasisme.
Rasisme memang harus dihajar habis dimanapun dan kapanpun. Namun, rasisme tidak akan pernah hilang. Karena, rasisme itu seperti ajaran. Dia dapat diregenerasikan. Apalagi jika itu disangkut-pautkan pada tingkat jaringan orang per orang, kelompok, ataupun masyarakat.
Biasanya, mereka yang tidak pernah ke mana-mana itu akan mudah untuk melakukan rasisme. Begitu pula dengan orang-orang yang terbiasa mencari tempat yang nyaman dan bertahan di sana dalam waktu yang lama (meski ke mana-mana), akan membentuk kepercayaan diri dan keberanian untuk menilai orang lain secara subjektif.
Hal ini juga dapat didukung dengan kepemilikan massa yang memunculkan keberanian untuk melakukan suatu tindakan besar, termasuk tindakan negatif seperti rasisme. Karena, dengan persamaan persepsi (di dalam massa itu), apa yang akan dan telah dilakukan oleh mereka adalah suatu kebenaran -menurut mereka.
Inilah yang akan menjadi pekerjaan rumah kita ketika Indonesia (sebenarnya) semakin majemuk. Jika dulu masyarakat blasteran masih sedikit, sedangkan sekarang masyarakat blasteran itu sudah banyak. Tidak hanya blasteran negara, blasteran suku dan ras pun sudah ada di mana-mana.