Mohon tunggu...
Deddy Husein Suryanto
Deddy Husein Suryanto Mohon Tunggu... Penulis - Content Writer

Penyuka Sepak Bola. Segala tulisan selalu tak luput dari kesalahan. Jika mencari tempe, silakan kunjungi: https://deddyhuseins15.blogspot.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Upacara Kemerdekaan di Keboen Kopi Karanganjar Blitar yang Mengesankan

18 Agustus 2019   15:56 Diperbarui: 18 Agustus 2019   20:56 95
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Barisan perempuan dan tim upacara. (Dokpri/Panitia)


Ini adalah pengalaman kedua kali penulis mengikuti upacara kemerdekaan di luar kota. Biasanya penulis mengikuti upacara kemerdekaan di tempat asal. Itupun ketika masih menyandang status sebagai siswa (SD, SMP, SMA). Sehingga, pasca lulus "S3", penulis hampir tidak pernah lagi mengikuti upacara kemerdekaan.

Terakhir mengikuti upacara kemerdekaan adalah tahun 2017. Kala itu, penulis masih berada di kawasan KKN (Kelompok Kerja Nyata). Sehingga, harus berpartisipasi di upacara kemerdekaan yang digelar di wilayah kecamatan tempat KKN saat itu.

Kini, Indonesia sudah menempuh usia yang ke-74 tahun. Di tahun 2019 ini, penulis akhirnya kembali mendapatkan kesempatan mengikuti upacara kemerdekaan yang berlokasi di daerah Blitar. Tepatnya, di tempat wisata Keboen Kopi Karanganjar, Kabupaten Blitar.

Diikuti oleh berbagai kalangan dan daerah, penulis menjadi bagian dari peserta upacara tersebut. Tentunya menjadi suatu kebanggaan. Apalagi dapat bertemu dan berkenalan dengan orang-orang hebat di sana.

Kesempatan ini tak lepas dari penawaran rekan penulis yang juga merupakan seorang penulis handal yang bernama Mega Yohana. Beliau merupakan "penjaga" komunitas menulis kreatif bernama "Kastil Mimpi".

Beliau dikenal sebagai penulis dari karya yang berjudul Bara Kesumat. Novel ini diterbitkan oleh Loka Media dan masih dapat dicari di toko buku ataupun di toko online. Kebetulan, penulis juga dapat berkenalan dengan beliau melalui sebuah forum kreatif -sekitar akhir tahun 2018. Dari sanalah muncul tawaran untuk ikut acara sakral yang diselenggarakan di Blitar.

Blitar adalah domisili beliau, maka ketika sampai di sana, penulis (dan teman) juga mendapatkan bantuan dari beliau (bersama suaminya) untuk mencapai lokasi. Setelah sampai di lokasi, penulis mendapatkan kesempatan untuk mengikuti "malam renungan" yang diselenggarakan di tempat yang sama.

Ada materi yang didiskusikan pula oleh Pak Wima. (Dokpri/DeddyHS_15)
Ada materi yang didiskusikan pula oleh Pak Wima. (Dokpri/DeddyHS_15)

Malam renungan juga merupakan acara yang sudah lama tak diikuti lagi oleh penulis. Terakhir kali mengikuti malam renungan, atau jika bahasa agamisnya adalah "malam tirakatan" sekitar tahun awal saat menjejak masa SMA.

Sehingga, pada malam renungan tersebut, penulis mendapatkan nuansa yang berbeda sebagai pribadi yang lebih ingin tahu tentang apa makna kemerdekaan dan bagaimana cara merawat kemerdekaan negara ini. Di acara inilah, penulis mendapatkan kesempatan yang bagus untuk mengetahui pemikiran-pemikiran dari orang-orang yang berlatarbelakang akademik maupun profesional. Khususnya, dalam melihat fenomena-fenomena yang ada di Indonesia saat ini.

Kebetulan juga Indonesia baru saja melalui praktik pemilu dan pilpres untuk 5 tahun ke depan. Sehingga, dialog-dialog tentang kenegaraan sangat relevan khususnya untuk mengingatkan bagaimana negara ini tumbuh (sejarah) dan berkembang sampai seperti saat ini.

Dari sejarah hingga fenomena masa kini diulas dengan santai oleh Pak Wima. (Dokpri/DeddyHS_15)
Dari sejarah hingga fenomena masa kini diulas dengan santai oleh Pak Wima. (Dokpri/DeddyHS_15)

Dari acara ini pula, penulis kembali mendapatkan poin penting bahwa diskusi politik dan pemerintahan itu tidaklah buruk, alih-alih "haram" bagi kaum pemuda. Karena, selama argumentasi-argumentasinya berdasarkan teori dan fakta yang sudah ada, maka, tidak akan pernah terjadi persinggungan-persinggungan negatif didalamnya.

Bahkan, materi yang ada di acara malam renungan tersebut bisa dibawakan dengan sangat santai. Sehingga, tidak menimbulkan suatu hal yang tidak baik ketika harus diikuti oleh orang-orang dari luar -komunitas ataupun daerah, maupun yang biasanya berpemahaman berbeda.

Di sini penulis mengamini pula bahwa pemikiran-pemikiran yang global dan tidak menjurus pada personalitas dapat diambil sebagai landasan yang tepat, ketika harus berbicara tentang politik maupun pemerintahan. Hal ini perlu dilakukan, agar interaksi selama acara itu berlangsung -maupun pasca acara itu berlangsung- tetap dapat kondusif. Apalagi jika ditemani dengan suguhan segelas kopi. (hehehe)

Situasi pasca upacara kemerdekaan yang diselenggarakan di depan kantor Keboen Kopi Karanganyar. (Dokpri/DeddyHS_15)
Situasi pasca upacara kemerdekaan yang diselenggarakan di depan kantor Keboen Kopi Karanganyar. (Dokpri/DeddyHS_15)

Pasca malam renungan itulah, penulis keesokannya (17/8) mengikuti upacara kemerdekaan bersama Wima Brahmantya yang didapuk sebagai pembina upacara. Di pidato singkatnya, beliau mengatakan bahwa mengikuti upacara kemerdekaan di Keboen Kopi Karanganjar adalah suatu hal yang menarik dan unik.

Pak Wima berpidato. (Dokpri/Panitia)
Pak Wima berpidato. (Dokpri/Panitia)

Salah satunya dengan bukti adanya rekaman lagu Indonesia Raya yang dikumandangkan saat proses pengibaran sang Merah Putih. Rekaman itu merupakan rekaman masa WR. Soepratman. Sehingga, terdengar klasik dan sesuai dengan latar tempat upacara kemerdekaannya.

Barisan perempuan dan tim upacara. (Dokpri/Panitia)
Barisan perempuan dan tim upacara. (Dokpri/Panitia)

Selain itu, di upacara kemerdekaan tersebut telah dihadiri pula oleh orang-orang dari negara lain, salah satunya adalah dari Prancis. Mereka hadir ke Keboen Kopi Karanganjar sebagai bentuk apresiasi (terhadap kemerdekaan Indonesia) dan bukti adanya hubungan yang baik antar negara.

Barisan peserta upacara (laki-laki). (Dokpri/Panitia)
Barisan peserta upacara (laki-laki). (Dokpri/Panitia)

Tidak hanya itu, peserta upacaranya pun beragam (dari berbagai kelompok usia dan status). Mereka juga menggunakan pakaian yang beragam dari busana tradisional (batik dan pakaian adat lainnya) hingga pakaian militer. Keberagaman ini membuktikan bahwa upacara kemerdekaan dapat diikuti sekaligus dirayakan oleh semua orang.

Sebuah pose yang menyeragamkan perbedaan di antara peserta dan penyelenggara upacara kemerdekaan. (Dokpri/Panitia)
Sebuah pose yang menyeragamkan perbedaan di antara peserta dan penyelenggara upacara kemerdekaan. (Dokpri/Panitia)

Semua orang itulah yang kemudian bersatu ke dalam sebuah bingkai foto yang berlatarbelakang gedung Keboen Kopi Karanganyar yang masih bertuliskan bahasa Belanda. Tentunya ini suatu pengalaman yang menarik bagi penulis. Karena, ini pertama kalinya pula penulis datang ke Keboen Kopi Karanganjar dan uniknya berada di kesempatan mengikuti perayaan kemerdekaan Indonesia.

Foto bersama pasca upacara kemerdekaan. (Dokpri/peserta&panitia)
Foto bersama pasca upacara kemerdekaan. (Dokpri/peserta&panitia)


Dirgahayu Republik Indonesia ke-74!
Damai Jiwa Raga Kita Bersama!

Malang, 18 Agustus 2019
Deddy Husein S.

Tambahan:

Upacara Kemerdekaan ini diselenggarakan oleh perusahaan Keboen Kopi Karanganjar.

Malam "Renungan Kebangsaan" diselenggarakan oleh Komunitas Jernih, Dharma Ika Nusantara, dan Gerakan Cinta Tanah Air.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun