Mohon tunggu...
Deddy Husein Suryanto
Deddy Husein Suryanto Mohon Tunggu... Penulis - Content Writer

Penyuka Sepak Bola. Segala tulisan selalu tak luput dari kesalahan. Jika mencari tempe, silakan kunjungi: https://deddyhuseins15.blogspot.com

Selanjutnya

Tutup

Worklife Pilihan

Mengapa Tidak untuk Menolak Gaji?

1 Agustus 2019   08:24 Diperbarui: 1 Agustus 2019   08:36 139
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi menerima gaji pertama. (Metro.tempo.com)

Di sini tidak ada pembicaraan tentang kata syukur. Karena ucapan syukur akan mengarah pada suatu pembicaraan yang sakral; agama. Sehingga, kita tidak berbicara tentang itu. Kita fokus mengulik tentang gaji dan fresh graduate.

Sebenarnya, cukup aneh jika yang menulis artikel ini adalah orang yang belum lulus kuliah. Namun, tulisan ini akan mencoba membahas tentang fenomena yang sedang hangat diperbincangkan di masyarakat Indonesia. 

Yaitu terkait tentang berita heboh dari lulusan UI yang menolak digaji 8 juta rupiah per bulan. Terkait pada perihal pro atau kontra, di artikel ini akan mencoba mengulas kedua sudut pandang tersebut.

Ilustrasi data UMR/UMP di Indonesia. (Centrausaha.com)
Ilustrasi data UMR/UMP di Indonesia. (Centrausaha.com)

Rata-rata masyarakat Indonesia akan berpikir bahwa penolakan gaji 8 juta rupiah per bulan itu aneh. Karena, dewasa ini memperoleh gaji sesuai peraturan daerah (perda) atau upah minimum regional (UMR) masing-masing saja sudah sulit. 

Jika dibandingkan dengan pekerja yang mendapatkan gaji minimal setara dengan perda kota/kabupaten (UMK) setempat, tentu masih banyak pekerja yang belum mendapatkan gaji dengan angka sedemikian. Apalagi jika harus melebihi batas minimal pendapatan di daerah tersebut.

Sehingga, dengan fakta yang sedemikian rupa, tidak mengherankan jika banyak orang menjadi kontra terhadap pernyataan si lulusan baru dari kampus ternama itu. 

Termasuk di artikel ini pun menyatakan bahwa si lulusan itu melakukan hal yang kurang benar. Namun, bukan soal pernyataannya, melainkan bentuk pernyataannya.

Benarkah seorang alumni UI hanya bisa
Benarkah seorang alumni UI hanya bisa "curhat online" dengan bentuk seperti ini? (Cnbcindonesia.com)

Pernyataannya tetap boleh mengungkap hal itu, namun seyogyanya dapat diolah lebih menarik lagi sesuai dengan kapasitas dirinya sebagai alumni UI. 

Apa susahnya seorang alumni UI dapat membuat semacam ilustrasi yang dapat mengungkap tentang relativitas antara gaji dengan kualitas/nama besar kampus?

Atau jika memang ingin menunjukkan kualitas dirinya sendiri, hal itu juga bisa dilakukan. Toh, secara fakta dirinya memang lulusan kampus ternama. 

Maka, secara tidak langsung, masyarakat pasti akan memiliki penilaian yang berbeda antara dirinya dengan lulusan kampus lain di Indonesia. Jadi, jika ingin "show-up" seharusnya dilakukan secara totalitas. 

Jangan setengah-setengah, apalagi jika dilakukan dengan cara yang sama seperti masyarakat non-alumni UI. Bukankah membuat celetukan di instastory itu bisa dilakukan oleh semua orang tanpa harus lulusan UI? Hehehe...

Totalitas dalam
Totalitas dalam "curhat online" juga akan memberikan gambaran hidup seorang mahasiswa dan bagaimana future-nya (fg). (Dokpri/DeddyHS_15)

Dari situlah, tindakan si alumni terlihat tidak dapat mencirikan dirinya sebagai fresh graduate yang menekankan prestasinya, melainkan sensasi. 

Inilah yang membuat tulisan di artikel ini juga mengkritisi tindakan tersebut. Pamer kualitasnya tidak ada dan hanya sekadar menarik perhatian masyarakat yang notabene selalu memerdulikan kisah-kisah seseorang di media sosial (kurang kerjaan).

Ilustrasi curhatan fg yang ingin menonjolkan rekam jejaknya saat menjadi mahasiswa untuk perbandingan
Ilustrasi curhatan fg yang ingin menonjolkan rekam jejaknya saat menjadi mahasiswa untuk perbandingan "life quality". (Dokpri/DeddyHS_15)

Masyarakat pun terjebak pada trending tersebut dan membuat mereka mencoba meraba-raba kisaran gaji para alumni perguruan tinggi secara umum. Memangnya, berapa gaji yang layak diterima fresh graduate? Benarkah 8 juta itu kurang, lebih, atau wajar?

Jika sedikit merujuk pada ilustrasi-ilustrasi di atas, kita dapat melihat bahwa kehidupan seseorang secara nominal pasti berbeda meski secara kualitas bisa saja cukup setara.

 Itulah yang kemudian mempengaruhi target seseorang ketika dirinya sudah resmi menjadi tenaga kerja (bukan sekadar angkatan kerja).

Seseorang itu bisa terlihat ingin lebih dan/atau ingin cukup dikarenakan standar (hidup) yang sudah dia bangun sebelumnya. Ketika dia sudah melaju ke fase yang lebih jauh, maka dipikirannya pun akan meninggikan standarnya. Karena seseorang yang masih berkategori fresh graduate tentu masih terikat dengan idealisme, bukan realisme a.k.a kompromitas.

Sehingga, di satu sisi di artikel ini juga menyatakan bahwa tindakan alumni UI itu tidaklah salah. Dia memiliki hak untuk menolak gaji tersebut. Karena, dia pasti memiliki alasan dan alasan itu dapat dipraduga melalui gaya hidupnya saat masih menjadi mahasiswa. 

Apakah dia tergolong mahasiswa mampu, atau setidaknya dia sudah mengkalkulasi pengeluaran orangtuanya/dirinya saat menjadi mahasiswa. 

Itulah yang mungkin menjadi perhitungannya ketika dirinya kini menjadi pekerja. Dia harus dapat menghasilkan uang yang lebih tinggi dari pengeluaran orangtuanya untuk dirinya di masa sebelumnya.

Pemikiran semacam ini sangat logis. Karena fresh graduate masih mengagungkan kekayaan teorinya dan berupaya untuk membawa pemahamannya dari dunia akademisi ke dunia pekerjaannya. 

Hal ini pula yang biasanya juga diinginkan oleh kantor-kantor atau industri ketika mereka membuka lowongan kerja. Mereka juga membutuhkan tenaga kerja yang lebih segar dan masih bersemangat untuk membawa ide-idenya untuk mengembangkan perusahaan/tempat kerja tersebut.

Dari sini, kita dapat melihat korelasi yang sejalan antara target fresh graduate dengan pemilik perusahaan. Keduanya saling membutuhkan dan keduanya punya target (ego) masing-masing. 

Situasi ini akan menjadi lumrah ketika apa yang terjadi pada si alumni UI ini tidak tersebar secara "vulgar" seperti itu. Sehingga, masyarakat pun dapat menilai positif atas keberaniannya mengumbar idealismenya tentang gaji tanpa menyinggung dunia lapangan pekerjaan.

Tanggapan bijak Dian Sastro sebagai alumni UI. (Liputan6.com)
Tanggapan bijak Dian Sastro sebagai alumni UI. (Liputan6.com)

Karena, apa yang dilakukannya seharusnya bukan untuk membuat masyarakat berlomba menjulidi kehidupan fresh graduate, melainkan membuka mata masyarakat tentang bagaimana cara memasang idealisme terhadap gaji berdasarkan kualitas fresh graduate. 

Karena, ada beberapa persen dari fresh graduates yang memang memiliki kapasitas unggul namun mereka terkadang dihargai rendah oleh perusahaan. 

Hal ini bisa terjadi karena mereka tidak berani menolak. Inilah yang kemudian membuat "harga" fresh graduate menjadi tidak sesuai dengan apa yang sudah mereka usahakan saat masih menjadi mahasiswa.

Karena, bagaimanapun juga fresh graduate adalah angkatan kerja yang (biasanya) lebih berusaha kuat untuk menaikkan kualitasnya sebagai calon tenaga kerja dibandingkan lulusan dibawahnya. 

Mereka biasanya harus menghabiskan banyak waktu untuk mengerjakan tugas yang tak sedikit, walau ketika sudah lelah mulai muncul jurus copy paste (hehehe).

 Itulah yang kemudian membuat mereka merasa berhak untuk menuntut pula standarisasi dari perusahaan agar kehidupan mereka lebih baik dari sebelumnya. 

Karena, tujuan dalam bekerja adalah untuk memperbaiki dan mengembangkan kualitas hidup, bukan hanya sekadar untuk mencari modal untuk menikah.

Menilai kemampuan diri sendiri itu penting


Dari penjelasan semacam ini, kita bisa melihat bahwa di balik viralnya "gaji 8 juta rupiah" itu, ada (contoh) upaya bagus dari calon tenaga kerja dalam menilai diri sendiri. 

Menilai kemampuan diri sendiri itu penting. Apalagi, jika sudah memiliki jam terbang yang cukup semasa kuliah dan sesuai dengan bidang pekerjaan yang sedang diincar, maka, si fresh graduate tersebut punya hak untuk memberikan penawaran terhadap "nilai harga dirinya".

Jangan sampai, seseorang yang sudah memiliki modal yang kompeten, hanya dapat manggut-manggut di depan perekrut calon pegawai (HRD), namun sebenarnya tidak ikhlas. 

Lebih baik utarakan di depan tentang apa yang memang harus diutarakan, termasuk gaji yang harus diperoleh. Melalui keberanian itu, harapannya si fresh graduate juga mampu mengimbangi (bahkan melebihi) nilai gaji yang diterimanya dengan kualitas mumpuni nan memuaskan bagi perusahaannya.

"Menolak atau menerima gaji harus menyesuaikan target saat melamar kerja."


Selain itu, menolak atau menerima gaji itu juga harus disesuaikan dengan target seseorang dalam bekerja. Apakah murni ingin mencari dan menambah pengalaman atau mengaplikasikan pengetahuan dan pengalamannya ke dunia pekerjaannya. 

Biasanya, orang yang murni mencari pengalaman baru akan lebih mengedepankan keberhasilannya dalam bekerja (di tempat incarannya) dibandingkan keberhasilannya mendapatkan gaji (tidak memusingkan kisaran gajinya).

Sedangkan orang yang lebih ingin mengaplikasikan pengetahuan dan pengalamannya (mungkin pernah part time/freelance), cenderung mengejar sesuatu yang lebih riil dan materiil dibandingkan mencari makna di balik keberhasilannya bekerja. 

Orang yang semacam ini akan lebih percaya diri dengan kapasitasnya dan juga akan lebih rasional dibandingkan orang-orang yang selalu berkedok mencari pengetahuan dan pengalaman baru.

Jadi, bagaimana? Apakah kamu tipikal orang yang berani menolak gaji yang kamu nilai rendah atau tidak?

Tulungagung, 26 Juli-1 Agustus 2019
Deddy Husein S.

Tulisan terkait:

Rasanya Menerima Gaji Pertama

Berita terkait:

Berapa idealnya gaji fg? (Cnbcindonesia.com), Daftar UMR/UMP dan UMK. (Centrausaha.com), dan Tanggapan figur publik tentang trending. (Liputan6.com).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Worklife Selengkapnya
Lihat Worklife Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun