Setiap ada ide pasti dibaliknya terdapat konsekuensi selain manfaat. Begitu pula pada keputusan yang diambil oleh PSSI terhadap format Piala Indonesia 2018. Jenis kompetisi model turnamen panjang itu nyatanya belum segera tuntas, ketika tahun 2019 sudah melewati batas pertengahan awal kalender.
Jadwal kompetisi yang sedari awal tidak bisa sama-sama jalan antara liga dan piala liga, membuat Piala Indonesia 2018 terkesan seperti kompetisi "seumur hidup" bagi para kontestannya. Apalagi yang sanggup mencapai babak final, terasa panjang sekali.
Dua tim yang berhasil menjejak final di kompetisi ini adalah dua tim yang juga sama-sama bersaing memperebutkan gelar juara di Liga 1 2018; Persija dan PSM. Sehingga partai final ini terasa seperti partai "uji nyali" yang kedua, setelah keduanya juga berjuang hingga pekan terakhir liga untuk memastikan gelar juara di musim lalu. Liga 1 2018 pun berakhir dengan mengeluarkan tim ibukota sebagai jawaranya.
Kini, Piala Indonesia 2018 sudah mencapai partai terakhirnya, dan kedua tim sedang berupaya untuk meraih gelar juara tersebut sebagai pembuktian. Jika Persija juara, maka keberhasilan di musim lalu bukanlah suatu kebetulan ataupun keajaiban selayaknya kisah juara Leicester City di Premier League (Inggris).
Sedangkan bagi PSM, gelar juara di Piala Indonesia 2018 akan menjadi pembuktian bahwa mereka adalah tim yang sudah pantas untuk berpesta juara bersama skuadnya yang tetap solid dari musim lalu hingga musim ini.
Persamaan dari keduanya jika salah satu menjadi juara adalah mereka akan membuktikan diri bahwa pergantian pelatih bukanlah suatu permasalahan yang besar untuk menggapai keberhasilan dari pondasi yang sudah ditanamkan oleh pelatih sebelumnya. Dari sini, masyarakat gibolers pun mulai berpikir, bahwa siapapun layak menjadi juara jika mereka ingin membuktikan diri mampu move on setelah berpisah dengan pelatihnya masing-masing.
Meski demikian, tetap saja, ada perbedaan yang dimiliki oleh kedua tim ini ketika berduel di final. Perbedaan itu sudah terlihat di partai final leg 1. Perlu diketahui lagi, bahwa format di Piala Indonesia 2018 ini terbilang unik, karena partai finalnya digelar dua kali, yaitu dengan format kandang-tandang.
Suatu bentuk yang unik dan cenderung klasik. Tahun sudah menunjukkan angka 2019, namun di Indonesia masih ada sistem kandang-tandang untuk finalnya, selayaknya turnamen AFF Cup yang juga menggunakan sistem yang sama.
Alasannya adalah adanya misi menggerakkan perekonomian rakyat dengan mengadakan seluruh laga di Piala Indonesia berformat kandang-tandang. Memang, ide ini sangat mulia, namun laga seperti final seharusnya tidak lagi berbicara soal ekonomi, melainkan lebih berbicara soal kualitas penyelenggaraan partai puncak tersebut. Jangan sampai mengedepankan semangat membangun perekonomian melalui sepakbola, namun melupakan kualitas pertandingan tersebut.
Seperti yang sudah disebutkan sebelumnya, bahwa ide ini juga ada "belangnya". Yaitu, bagaimana jika tim yang menggelar leg kedua adalah tim yang sedang tertinggal secara agregat? Bagaimanakah atmosfernya? Apakah akan kondusif?