Mohon tunggu...
Deddy Husein Suryanto
Deddy Husein Suryanto Mohon Tunggu... Penulis - Content Writer

Penyuka Sepak Bola. Segala tulisan selalu tak luput dari kesalahan. Jika mencari tempe, silakan kunjungi: https://deddyhuseins15.blogspot.com

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Kita Sulit Menghindari Ketergantungan

21 Juli 2019   21:32 Diperbarui: 25 Juli 2019   12:24 180
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Terkadang kita perlu jujur dalam bermedsos ketika itu diperlukan, walau kadang dinilai norak. Asal tak sering dilakukan. (Tech.co)

Tidak hanya kabar mengejutkan dari berpulangnya sastrawan dan wartawan senior, Arswendo Atmowiloto. Publik Indonesia juga dikejutkan dengan kabar penangkapan seorang komedian senior, Nunung. Penangkapan yang dilakukan oleh pihak kepolisian dari Polda Metro Jaya itu didasari dengan fakta penggunaan narkotika berjenis sabu oleh sang figur publik tersebut bersama suaminya.

Tidak dapat dipungkiri, bahwa kabar itu sangat mencengangkan bagi masyarakat, apalagi yang sudah sangat mengenali sosok Nunung di layar televisi dari dulu hingga sekarang. Tentu semua orang mengamini fakta bahwa, Nunung sampai detik ini masih dapat disebut sebagai komedian aktif di dunia pertelevisian Indonesia. Kehadirannya setiap malam hari selalu jam-jam santai setiap keluarga yang melepas penat pasca menunaikan kewajiban dan rutinitas seharian.

Namun, pada akhirnya, kita harus tergelak. Bukan pada tawa untuk menikmati aksi komedinya, melainkan kabar yang tak terduga darinya. Nunung positif menggunakan narkotiba!

Dari berbagai kabar yang menghiasi rubrik berita online, ditemukan adanya alasan dari penggunaan narkotika berjenis sabu-sabu tersebut. Yaitu, untuk meningkatkan stamina. Seandainya, narkoba ini bukan hal yang diharamkan dan dilarang secara hukum. Tentu hal ini dapat dimaklumi. Karena, dengan usianya yang sudah tak lagi muda, tentu menjadi tantangan yang luar biasa sulit untuk dapat tetap prima setiap hari demi menyapa para penonton setia program televisi yang dia jalani.

Jangankan pelawak senior seperti Nunung, selebriti yang lebih muda saja ada yang terjerat kasus penggunaan narkoba, dan tentunya hal itu tak lepas dari (alibi) kebutuhan penyuplai energi tambahan. Agar tubuh tetap prima saat tampil di layar kaca, maka penggunaan narkoba dapat menjadi solusi cepat bagi mereka yang sudah tidak mampu menempuh cara lain.

Suatu fakta ironi yang bagi kita -yang masyarakat biasa, tentu kurang bisa dibayangkan secara detil dan riil. Kalaupun bisa dibayangkan, kita akan cenderung menyejajarkan posisi mereka dengan posisi kita yang setiap hari harus bekerja.

Ilustrasi suasana hati yang tidak baik-baik saja. (Medicalxpress.com)
Ilustrasi suasana hati yang tidak baik-baik saja. (Medicalxpress.com)

Namun, yang menjadi perbedaannya adalah di saat kita bekerja, kita tidak perlu sering terlihat oleh banyak orang. Sehingga, ketika kita sedang tidak mood dan sedang sakit, orang lain tidak terlalu peduli dengan ekspresi dan gestur kita. Hal ini tentu berbeda jika dihadapkan pada situasi para selebriti tersebut. Di "dunianya", mereka selalu dituntut harus prima dan tentunya harus mampu menunjukkan ekspresi dan gestur yang menyenangkan kepada seluruh pemirsa.

Inilah yang menjadi persoalan dan menjadi suatu dilematis ketika hal ini dihadapkan pada suatu kenyataan, yaitu adiksi. Sikap ketergantungan itu (sebenarnya) ada pada diri kita masing-masing, termasuk mereka yang disebut figur publik. Perbedaannya adalah objek apa yang dapat kita sukai secara berlebihan itu.

Setiap orang akan memiliki objek adiksi yang berbeda dan biasanya ketergantungan kita dapat dinilai wajar dan tidak menyimpang norma. Namun, ada juga yang mutlak menyimpang norma. Salah satunya, tentu narkoba. Namun, jika dipikir-pikir, apakah hanya Nunung dan para selebriti yang terjerat adiktif terhadap narkoba yang menyimpang norma?

Ilustrasi ketergantungan medsos. (Tech.co)
Ilustrasi ketergantungan medsos. (Tech.co)

Ketergantungan terhadap media sosial itu juga dapat dinilai menyimpang jika dipergunakan semakin tidak wajar. Begitupula jika kita ketergantungan membaca komik. Bahkan, di era 2000-an membaca komik itu harus secara sembunyi-sembunyi atau harus menunggu momen liburan. Sama halnya dengan bermain playstation (PS). Dulu bermain game mobile masih jarang. Karena, tidak semua anak memiliki ponsel bagus. Berbeda dengan sekarang, yang setiap anak sudah memiliki ponsel pintar yang dapat digunakan untuk bermain game online.

Maka, kalau dulu kecanduannya adalah bermain PS. Kalau sekarang, anak-anak hingga om-om dan tante-tante pun dapat kecanduan game mobile. Namun, bedanya, tidak ada orang yang kecanduan game lalu dipenjara. Kecuali kalau membunuh orang dengan alibi efek dari bermain game. Itu beda cerita.

Ilustrasi kriminal. (Chronicle.co.zw)
Ilustrasi kriminal. (Chronicle.co.zw)

Kembali pada kasus narkoba, rata-rata pengguna narkoba dapat melakukan tindakan-tindakan di luar aturan. Dari pencurian, penjambretan, perampokan, dan penipuan dapat dilakukan oleh mereka yang terlanjur adiksi terhadap narkoba dan kesulitan untuk menebus obat-obatan terlarang itu --yang harganya mahal. Namun, bagi yang berkecukupan, tindakan kriminal itu masih bisa dihindari meski bisa saja dialihkan dengan tindakan yang lain. Misalnya, si pecandu terus berupaya mencari ladang mencari uang agar dapat tetap mampu menebus obat-obatan tersebut. Sehingga, muncul istilah "gila kerja" atau "rakus pekerjaan".

Lalu, bagaimana jika kita ingin terlepas dari tindakan adiksi (salah satunya adalah narkoba)?

Jawabannya cukup sederhana. Yaitu, alihkan adiksimu ke adiksi yang lain. Tentunya adiksi pengalihan itu harus yang "lebih aman" dibandingkan adiksi yang terlihat berbahaya, seperti narkoba. Karena, sekali kena, pasti sangat sulit untuk melepaskan ketergantungannya terhadap obat-obatan terlarang tersebut.

Jadi, sebenarnya, kita masing-masing tetaplah berkutat pada tindakan adiksi. Termasuk ketergantungan terhadap doktrin agama. Ketika doktrin agama menjadi suatu hal yang sangat amat digenggam erat, maka kita juga termasuk adiksi terhadap agama. Perbedaannya adalah agama memiliki nilai-nilai positif dibandingkan adiksi-adiksi yang lain. Namun, tetap saja ketika suatu hal diyakini terlalu berlebihan, maka penjurusannya juga akan ke tindakan-tindakan yang (dinilai) tidak wajar. Termasuk mengalirkan doktrin ke orang lain dan ketika doktrin itu ditolak, ada persengketaan. Artinya, ketergantungan yang berlebih tetaplah tidak baik, apapun itu bentuknya.

Ilustrasi mencari kejelasan terhadap suatu hal. (Metopenkomp.blogspot.com)
Ilustrasi mencari kejelasan terhadap suatu hal. (Metopenkomp.blogspot.com)

Maka dari itu, ada satu saran lagi jika kita terlanjur terjerat adiksi. Yaitu, perbanyaklah eksplorasimu. Ketika kamu memiliki daya jelajah yang banyak, maka kamu akan mudah melupakan adiksimu. Karena, dihadapanmu masih ada banyak hal yang menarik untuk kamu lakukan.

Misalnya, ketika terlalu ketergantungan dengan serial Korea, maka carilah kegiatan lain, seperti menulis cerpen atau puisi yang terinspirasi oleh serial-serial yang kamu tonton. Begitu pula jika kamu terlalu adiktif dengan medsos, maka carilah kegiatan menarik di medsos dengan membuat grup yang membahas tentang dunia kreativitas. 

Bisa berupa grup pecinta sastra, film, serial Korea, komik, dan lain sebagainya. Lalu, dari sana kamu dapat membuat semacam aksi peduli sosial (menggelar santuan dhuafa/anak yatim dan sejenisnya) dengan berangkat dari komunitas/grup tersebut.

Melalui cara-cara sedemikian rupa, adiksi kita tidak akan terlihat seratus persen buruk. Karena, dewasa ini, adiksi itu dipandang negatif ketika kita hanya melakukan satu hal dan satu hal itu terlanjur mendapatkan stigma dari masyarakat. Ditambah dengan fakta memilukan, bahwa kebanyakan orang akan mudah sekali membeo stigma tersebut tanpa ada upaya untuk menggali informasi dari sudut pandang yang lain.

Lalu, bagaimana jika kita sudah terlanjur dicap sebagai orang yang ketergantungan (apalagi dicap sebagai eks pengguna narkoba)?

Sosialisasikan apa saja kegiatanmu selain apa yang kamu adiksi tersebut. Karena, seringkali orang sekadar menilai baik-buruk itu berdasarkan sampul, atau review dari orang lain. Maka dari itu, jangan ragu untuk menunjukkan kepada orang lain tentang apa saja yang kamu lakukan.

Memang, terasa seperti pamer atau sedang "menelanjangi diri sendiri". Namun, dengan keterbukaan itu, kita bisa saling melihat dan mawas diri. Karena, tidak selamanya seseorang itu hanya melakukan hal-hal yang dianggap buruk. Orang itu pasti juga dapat melakukan hal-hal baik selayaknya orang lain.

Terkadang kita perlu jujur dalam bermedsos ketika itu diperlukan, walau kadang dinilai norak. Asal tak sering dilakukan. (Tech.co)
Terkadang kita perlu jujur dalam bermedsos ketika itu diperlukan, walau kadang dinilai norak. Asal tak sering dilakukan. (Tech.co)

Inilah yang patut digarisbawahi, bercermin. Dewasa ini, bercermin itu susah dilakukan, meski selfie marak dilakukan. Karena, setiap orang sudah merasa paling cantik/ganteng (benar), sedangkan yang lain paling buruk/jelek (salah). Dari situlah penghakiman terjadi dan itu sangat tidak bagus. Sama halnya ketika publik menilai para pengguna narkoba adalah orang-orang yang salah dan ternoda. 

Tapi, bagaimana dengan diri kita masing-masing? Apakah kita juga tidak punya salah dan noda? Jangan-jangan, noda kita lebih besar daripada mereka. Aduh!

Jadi, melalui tulisan ini, harapannya, Nunung dapat direhabilitasi dan kembali bisa menjadi seseorang yang mampu menghindari adiksi yang negatif seperti narkoba. Semoga, pasca penangkapan itu, Nunung dapat mencari adiksi yang lebih positif, seperti berolahraga. Karena, dengan rutinitas berolahraga, stamina akan lebih terjaga dan tentunya fisik akan lebih baik. Jika fisik dan stamina bagus, tentu rutinitas bekerja akan lebih lancar lagi.
Semoga, dan selamat mencoba!

Tulungagung, 20-21 Juli 2019
Deddy Husein S.

Bacaan relevan:

Fakta terbaru seputar Nunung. (detik.com), Pola transaksi. (kompas.com), Kecanduan Media Sosial (Tech.co), dan Manfaat olahraga pilates. (Womantalk.com).

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun