Sebelum menuliskan isi artikel ini secara lengkap, penulis menyampaikan belasungkawa atas meninggalnya salah seorang sastrawan tanah air, Arswendo Atmowiloto. Semoga keluarga yang ditinggalkan mendapatkan ketabahan dan arwah beliau tenang di sana. Aamiin.
Penulis merasa turut berduka meski secara lahiriah dan batiniah, penulis kurang mengenali beliau dengan baik. Namun, beruntungnya, penulis dapat mengetahui beberapa karyanya. Tentunya salah satu karya itu berupa Keluarga Cemara. Bahkan versi filmnya saja sudah mendapatkan apresiasi yang luar biasa dari masyarakat Indonesia.
Namun, secara pribadi, penulis mengenal karya Arswendo justru dimulai dari pengalaman penulis masuk ke organisasi teater kampus. Di situ, penulis mendapatkan dokumentasi karya Arswendo berupa naskah teater. Sebenarnya, ada dua naskah yang saya dapatkan kala itu, yaitu cerpen "Bu Geni di Bulan Desember" dan naskah teater "Sang Pemahat".
Dari dua naskah itu, penulis lebih tertarik pada naskah teaternya. Mungkin karena penulis sedang berada di lingkungan teater, maka harapan penulis saat itu adalah memperbanyak jam terbang penulis dalam membaca naskah teater. Salah satu naskah itu adalah milik Arswendo Atmowiloto.
Memang naskah itu akan sedikit sulit dipentaskan jika memang mengharuskan pemeran utamanya adalah anak-anak untuk menjadi si "Amat". Namun, melihat kualitas penulisan naskah tersebut, penulis menilai bahwa beliau adalah penulis yang sangat tidak main-main dalam berkarya meski pengkategoriannya adalah untuk naskah sandiwara anak-anak. Terbukti naskah "Sang Pemahat" mendapatkan penghargaan Dewan Kesenian Jakarta tahun 1976 untuk kategori tersebut.
Zaman sekarang, menemukan karya yang cocok untuk dipentaskan anak-anak tentu bukan suatu hal yang mudah. Sedangkan ketika membaca naskah tersebut, penulis mengakui bahwa naskah itu sangat tepat untuk diperankan di perteateran anak-anak atau remaja tanpa menanggalkan kualitasnya.
Berangkat dari naskah itu, penulis juga mendapatkan pengetahuan tentang karya lainnya seperti Canting yang bahkan memiliki versi Inggris untuk buku digitalnya dan dirilis tahun 2015. Sedangkan buku aslinya sudah ada sejak tahun 1986.Â
Memang, secara ketenaran (dan tentunya dengan kualitasnya), buku Keluarga Cemara banyak disebut sebagai masterpiece Arswendo. Namun, beberapa orang juga mengakui bahwa karya Canting adalah karya terbaik Arswendo pula.
Apapun penilaian para pembaca tersebut, kita sama-sama mengakui bahwa Arswendo Atmowiloto adalah salah satu sastrawan terbaik milik Indonesia dengan berbagai karya tulisnya yang menarik untuk dibaca.Â
Penulis pun merasa beruntung dapat mengetahui dan sedikit mengenali karya-karya beliau, meski sebenarnya masih banyak sekali karya beliau yang belum dapat terjangkau (oleh penulis).Â
Salah satunya adalah karya terbaru beliau yang berjudul "25 Monolog". Buku itu terbit tahun 2017 dan disebut-sebut sebagai dedikasi beliau kepada tempatnya mengajar, London School Public Relation (LSPR) Jakarta. Sebagai orang yang pernah belajar teater, tentu penulis merasa perlu sekali untuk dapat membaca karya terakhir beliau tersebut.
Selain itu, menurut penulis, buku itu dapat menjadi simbol konsistensi dan eksistensi beliau untuk tetap berkarya di era maju yang sudah cukup banyak menghasilkan para penulis atau sastrawan muda.Â
Bahkan jika ditarik mundur lagi, pria kelahiran November 1948 itu memiliki masa produktivitas tinggi dalam hal menerbitkan buku. Yaitu di tahun 2010 dan 2015. Tahun 2010 karyanya menghiasi penerbitan Gramedia dengan "Senopati Pamungkas"-nya yang sampai jilid 10. Sedangkan di tahun 2015, selain menerbitkan kembali Keluarga Cemara,Â
Arswendo juga "melahirkan" buku berjudul "Rabu rasa Sabtu". Memang, di tahun itu Arswendo tidak meluncurkan lebih dari dua buku. Namun, dengan keberadaan Keluarga Cemara yang kemudian "berlari" ke layar lebar, nama Arswendo kembali hangat diperbincangkan.
Kini, nama Arswendo Atmowiloto telah menyusul NH. Dini, salah seorang penulis kebanggaan Indonesia lainnya yang lebih dahulu berpulang.Â
Semoga, kepulangan mereka adalah cemeti bagi para penulis muda bangsa untuk segera muncul ke permukaan dengan segala karya-karyanya yang tentunya dapat memberikan banyak manfaat dan inpirasi kepada bangsa tercinta ini. Selamat jalan Arswendo!
Tulungagung, 19 Juli 2019
Deddy Husein S.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H