Mohon tunggu...
Deddy Husein Suryanto
Deddy Husein Suryanto Mohon Tunggu... Penulis - Content Writer

Penyuka Sepak Bola. Segala tulisan selalu tak luput dari kesalahan. Jika mencari tempe, silakan kunjungi: https://deddyhuseins15.blogspot.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Mengapa Anak Takut Disunat?

14 Juli 2019   13:15 Diperbarui: 16 Juli 2019   21:05 154
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ini beritanya. (Screenshots/LineToday)

Sebelum saya tidur, mata saya tertarik untuk membuka beberapa berita yang terbaru. Khususnya yang sedang trending. Beberapa di antaranya memang menarik perhatian. Namun, berita tentang anak kecil naik ke atas genteng karena takut disunat, ternyata lebih menyita perhatian saya.

Karena merasa kurang puas dengan ulasan yang ada di berita itu. Saya akhirnya lebih memilih untuk memikirkan tentang pengalaman saya dan teman-teman saya (khususnya yang laki-laki) mengenai masa kecilnya saat disunat.

Ilustrasi sunat. (Zonasultra.com)
Ilustrasi sunat. (Zonasultra.com)

Beberapa di antaranya mengatakan dirinya cukup ketakutan kala itu. Bahkan ada yang bilang dengan penuh penekanan bahwa dirinya sangat ketakutan saat akan disunat. Namun, ada pula yang mengatakan jika dirinya tidak merasakan apa-apa karena saat itu proses sunatnya menggunakan laser.

"Ohya, konten tulisan ini adalah R-BO. Jadi kalau ada remaja yang membaca, wajib dikawal oleh orangtuanya masing-masing. Hehehe..."

Ini beritanya. (Screenshots/LineToday)
Ini beritanya. (Screenshots/LineToday)

Kembali lagi ke topik (bukan nama orang). Saat itu (2000-an), sunat dengan laser masihlah sangat mahal. Sehingga, tidak semua orang bisa menyunatkan anaknya dengan menggunakan metode itu. Meski demikian, sunat dengan laser rupanya mampu sedikit menenangkan pikiran anak-anak dan membuat mereka lebih berani menghadapinya.

Lain cerita dengan yang tidak menggunakan laser. Ada yang bahkan sudah beberapa hari setelahnya masih terlihat matanya merah dan sembab. Saat itu, saya tidak tahu alasannya mereka menangis terus-menerus. Karena di pikiran saya, hanya lapar yang tak kunjung reda yang membuat saya merintih dan kadang menangis, yang kemudian membuat keesokannya terlihat sembab (hehehe).

Pada akhirnya, saya mengalaminya juga masa-masa seperti itu. Bedanya, saya tidak menangis saat proses itu terjadi. Saya hanya mengkhawatirkan soal perawatan pasca sunat. Karena saat itu saya sudah mendengar selentingan kabar-kabar tentang anak-anak yang harus menjalani perawatan serius pasca sunat.

Hal itu dikarenakan ada ulah-ulah yang tidak bagus oleh si anak dalam memperlakukan "adik barunya". Ada yang kabarnya tidak tahan dengan masa inkubasi yang memunculkan rasa gatal dan lain sebagainya. Saya tidak bisa menceritakan secara detil, biar momen pasca sunat tetap menjadi kisah teka-teki yang terselubung.

Proses sunat sudah dan saat itulah saya mulai waspada. Di pikiran saya kala itu adalah "jangan sampai adik satu-satunya saya (karena saya bungsu) bermasalah akibat dari perawatan yang tidak benar". Beruntungnya saya dapat memperlakukannya dengan baik meski H+3/H+4 saya mulai harus menjalani rutinitas normal seperti buang air kecil dan mandi. (saya sedikit merinding saat membayangkannya lagi)

Di situlah sebenarnya letak kesakitannya orang (anak) sunat. Bukan karena saat dieksekusi. Justru masa perawatan itulah yang lebih perlu diperhatikan dan inilah yang harus dipahami oleh kita semua, khususnya bagi yang sudah punya anak (laki-laki) dan nantinya anaknya akan disunatkan.

Jangan tentukan kapan si anak harus sunat!
Memang, sebagai orangtua, akan selalu mempersiapkan masa depan anak. Kapan anaknya sekolah, kapan anaknya sunat, kapan anaknya nikah, kapan pula anaknya bakal memberikan cucu. Tentu bayang-bayang dan rencana-rencana itu ada di pikiran para orangtua. Tapi, seyogyanya rencana itu tidak dikeluarkan mentah-mentah pada anak.

Cukup berikan penggambaran tentang masa depan dan apa yang harus dijalani oleh si anak. Soal kapan hal itu terjadi, biarkan si anak yang menentukan. Termasuk dalam hal sunat. Karena, hanya sunat yang menurut saya pribadi adalah hal genting yang harus dialami oleh manusia di kala dirinya mungkin (kebanyakan) belum siap.

Jujur saja, penyebab saya tidak menangis saat disunat adalah karena saya sudah siap saat itu. Kesiapan saya bukan karena kapan (waktu). Melainkan karena apa yang saya ketahui tentang sunat. Meski waktu itu saya masih kecil (dibandingkan sekarang), namun pengetahuan saya tentang sunat sudah tidak perlu diragukan lagi.

Memang, pengetahuan saya saat itu lebih banyak berasal dari pengamatan saya terhadap teman-teman saya yang lebih dahulu disunat. Di situ saya amati, komparasi, dan saya pikirkan (saat itu belum tahu istilah analisis).

Kira-kira mengapa si A takut saat sunat? Mengapa si B ingin sunat? Mengapa si C tidak cepat masuk sekolah pasca sunat dibandingkan si E? Seperti itu. Cerdas bukan?

Itulah mengapa saya tidak banyak teman waktu itu. Karena, sejak kecil saya sudah terbiasa hanyut dalam kontemplasi dibandingkan bermain yang tidak jelas. Untungnya kebiasaan kontemplasi itu tidak membuat saya terlihat seperti "anak tidak waras". Hehehe...

Siapkan mental anak sebelum momen sunat terjadi.
Dari situlah saya menyiapkan mental saya untuk dapat siap disunat sewaktu-waktu. Bahkan, bisa disebutkan jika saya hampir setiap malam memimpikan momen itu terjadi. Mengharapkan jika saya sudah disunat dan kemudian besoknya menikah lalu punya anak. Hidup kok mudah sekali ya? (hahaha, just for fun!)

Hingga, tibalah waktu bersejarah itu menghampiri saya. Kabar yang tentunya sudah saya nantikan dan bahkan dia hadir saat saya nyaris melupakannya. Karena pikiran saya saat itu mulai teralih pada keseriusan untuk meningkatkan kepandaian saya. Ceritanya, saya saat itu sedang giat-giatnya belajar. (hehehe)

Saat itu, ibu saya memiliki rezeki dan mengabarkan pada saya untuk dapat disunatkan. Saya pun terharu dan merasakan bahwa esok adalah hari yang sangat membahagiakan bagi saya. Hari yang akan segera menjadi gerbang untuk memasuki masa pendewasaan secara simbolis dan saya tentu tidak sabar untuk menyambutnya. Akhirnya, momen itu terjadi dan "bye-bye adik lama!" :')

Momen sunat seharusnya menjadi kenangan berharga bagi setiap laki-laki.

Di sini, saya bisa melihat bahwa kenangan sunat itu ternyata tidaklah semengerikan kisah-kisah yang didongengkan oleh orang-orang tua saat itu. Bahkan, dengan bangga saya bisa mengingatnya (prosesnya) hingga dapat saya tuliskan saat ini.

Mungkin masa-masa yang sulit untuk diingat adalah saat proses penyembuhan. Apalagi saya tergolong orang yang cukup lama untuk recovery. Karena badan saya sudah terbiasa memilih untuk menyembuhkan diri sendiri tanpa ada penanganan serius (minum obat rutin, dll) seperti yang dialami orang-orang pada umumnya (ketika sakit).

Dari pengalaman inilah, saya ingin mengingatkan kembali bahwa jangan pernah memaksakan kehendak untuk anaknya. Jangan pula takut dinilai "berbeda" ketika punya anak belum segera disunat. Apalagi jika menceritakan hal-hal mitos tentang sunat hanya untuk membuat si anak merasa harus disunat. Sangat disarankan untuk tidak melakukannya. Apalagi zaman sekarang sudah modern. Seharusnya, sudah tidak etis lagi untuk menceritakan mitos-mitos meski demi kebaikan.

Sunat itu demi kesehatan. Titik.
Memang, sunat itu dianjurkan karena demi kesehatan. Namun, buatlah penjelasan itu murni dapat dimengerti dan diingat oleh si anak tanpa harus dibumbui dengan penyedap rasa yang berlebihan. Karena, pada akhirnya bukan si orangtua yang mempersiapkan diri, melainkan si anak yang akan disunat. Betul?

Mengatasnamakan agama juga boleh, asalkan tidak menjadikan ajaran agama untuk menekan mental si anak. Biarkan anak itu berjalan sendiri ke arah yang benar agar dirinya bisa mengingatnya dan membagikannya pada keturunannya. Karena, apa yang dialami si anak biasanya akan menjadi memori bersejarah yang nantinya akan ditularkan ke keturunannya.

Bayangkan jika memori itu hanya dipenuhi oleh ketakutan-ketakutan. Pasti tidak akan menyenangkan bagi keturunannya ketika mendengarkan kisah-kisah menakutkan dari orangtuanya.

Inilah yang membuat sunat itu harus dijadikan sebagai momen penting, bukan lagi momen genting. Karena, kalau genting itu ada di atas rumah. Hehehe...

Tulungagung, 14 Juli 2019
Deddy Husein S.

Beritanya nih:
Naik ke atas genteng. Tut tut tut! Siapa bisa naik? (Liputan6.com)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun