Dari pengalaman inilah, saya ingin mengingatkan kembali bahwa jangan pernah memaksakan kehendak untuk anaknya. Jangan pula takut dinilai "berbeda" ketika punya anak belum segera disunat. Apalagi jika menceritakan hal-hal mitos tentang sunat hanya untuk membuat si anak merasa harus disunat. Sangat disarankan untuk tidak melakukannya. Apalagi zaman sekarang sudah modern. Seharusnya, sudah tidak etis lagi untuk menceritakan mitos-mitos meski demi kebaikan.
Sunat itu demi kesehatan. Titik.
Memang, sunat itu dianjurkan karena demi kesehatan. Namun, buatlah penjelasan itu murni dapat dimengerti dan diingat oleh si anak tanpa harus dibumbui dengan penyedap rasa yang berlebihan. Karena, pada akhirnya bukan si orangtua yang mempersiapkan diri, melainkan si anak yang akan disunat. Betul?
Mengatasnamakan agama juga boleh, asalkan tidak menjadikan ajaran agama untuk menekan mental si anak. Biarkan anak itu berjalan sendiri ke arah yang benar agar dirinya bisa mengingatnya dan membagikannya pada keturunannya. Karena, apa yang dialami si anak biasanya akan menjadi memori bersejarah yang nantinya akan ditularkan ke keturunannya.
Bayangkan jika memori itu hanya dipenuhi oleh ketakutan-ketakutan. Pasti tidak akan menyenangkan bagi keturunannya ketika mendengarkan kisah-kisah menakutkan dari orangtuanya.
Inilah yang membuat sunat itu harus dijadikan sebagai momen penting, bukan lagi momen genting. Karena, kalau genting itu ada di atas rumah. Hehehe...
Tulungagung, 14 Juli 2019
Deddy Husein S.
Beritanya nih:
Naik ke atas genteng. Tut tut tut! Siapa bisa naik? (Liputan6.com)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H