Mohon tunggu...
Deddy Husein Suryanto
Deddy Husein Suryanto Mohon Tunggu... Penulis - Content Writer

Penyuka Sepak Bola. Segala tulisan selalu tak luput dari kesalahan. Jika mencari tempe, silakan kunjungi: https://deddyhuseins15.blogspot.com

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Salah Ketik yang Dimaafkan akan Menjadi Kebiasaan

13 Juli 2019   18:28 Diperbarui: 24 Januari 2021   21:09 227
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Mungkin efek nonton drama Hareem ya? :D. (Brillio.net)

Manusia tidak pernah luput dari kesalahan. Sebesar dan sekecil apa pun, itu pasti ada di dalam segala praktik kehidupan manusia. Tidak peduli pula apa gelar yang tersemat pada manusia, kesalahan akan tetap mengikuti segala gerak-geriknya.

Begitu pula pada para penulis. Mereka juga akan selalu tidak lepas dari kesalahan. Salah satu kesalahan yang selalu membayangi tindakan para penulis, adalah salah ketik dan juga bisa disebut salah tulis. Kalau dulu, banyak tulisan yang masih diwujudkan dengan goresan tinta dan gerakan (ayunan dan geseran) dari tangan. Namun, kini sudah berbeda. Tulisan sudah dapat dihasilkan dengan ketukan jemari pada keyboard (di gadget) dan menghasilkan tulisan. Bahkan, kini tulisan itu tidak perlu dicetak (printed) namun juga cukup dengan dipublikasikan melalui media online (uploading) atau juga dibagikan melalui perpesanan (chatting) antar orang/kelompok.

Inilah yang membuat kesalahan tulis mulai disebut salah ketik (saltik)--berasal dari aktivitas mengetik di gadget (pc/mobile). Saltik bahkan sering dijumpai pada aktivitas chatting. Baik itu di grup maupun dalam obrolan personal.

Mungkin mau latihan wushu perlu mandi dulu ya? (Brillio.net)
Mungkin mau latihan wushu perlu mandi dulu ya? (Brillio.net)
Karena, masih dalam ranah bersantai, maka saltik di dalam chatting tidak terlalu dipermasalahkan. Antar individu bahkan saling memahami dan justru menjadikan saltik sebagai bahan lelucon untuk mencairkan suasana obrolan. Menarik, namun pada akhirnya ini menjadi kebiasaan.

Mengapa orang bisa saltik?

Pertanyaan ini tepat diungkap. Meski jawabannya akan sangat variatif, sesuai dengan keuletan seseorang dalam menciptakan alibi terhadap tindakan yang sebenarnya tak disengaja itu. Ada yang mengatakan bahwa saltik bisa disebabkan jempol "kebesaran" (hehehe). Memangnya, seberapa besar jempol kita?

Jawaban pertama itu masih dapat digolongkan sebagai lelucon. Karena, tentu bukan itu yang membuat saltik terjadi. Toh, di zaman now, perangkat gadget kita semakin lebar. Betul? Jika tidak percaya, coba bandingkan ponsel Anda di masa sekarang dengan ponsel Anda beberapa tahun lalu.

Ponsel masa kini. (Ikeni.net)
Ponsel masa kini. (Ikeni.net)
Begitu pula pada keyboard-nya. Dulu dan sekarang, jelas berbeda. Bahkan, beberapa perangkat ponsel dapat menyediakan fitur menulis cepat (dengan adanya kamus ataupun keyword). Bahkan, jika Anda pengguna tablet, Anda akan mendapatkan fitur menulis dengan gerakan tangan seperti menulis manual (dengan dan tanpa pen-tab atau stylus). Di situ peluang untuk saltik akan dapat diminimalisir. Bahkan untuk alasan "jempol kebesaran", sudah tidak berlaku bukan?

Lalu, apa yang sebenarnya membuat orang (tanpa sengaja) menghasilkan tulisan saltik?

Ada dua hal yang mendasari salah ketik.
Pertama adalah kecepatan menulis. Kedua adalah si penulis tidak membaca saat sedang menulis.

Produk gadget sekarang sudah banyak yang touchscreen-able. (Blog.unnes.ac.id)
Produk gadget sekarang sudah banyak yang touchscreen-able. (Blog.unnes.ac.id)

Faktor pertama memang pasti akan terjadi dan itu sangat wajar. Karena, dengan gadget (khususnya ponsel) masa kini yang 90% produknya adalah touch screen, maka jemari kita akan sangat leluasa (tanpa kontrol) untuk mengetik dibandingkan ketika masih berwujud keyboard fisik.

Selain itu, ketika masih dalam tindakan chatting, maka keinginan kita adalah harus segera merespon chat orang lain. Sehingga, mengetik cepat adalah suatu keharusan. Begitu pula jika harus mengetik panjang, maka sangat diharuskan untuk mengetik lebih cepat dengan harapan agar cepat tuntas. Inilah yang membuat hasil tulisan (selalu) tidak bisa luput dari saltik.

Faktor kedua adalah suatu ironi jika memang hal ini terjadi. Namun, bukan berarti, mata kita seratus persen tak membaca apa yang kita sedang tulis. Namun biasanya bukan soal mata kita yang tidak membaca, melainkan fokus kita yang bermasalah.

Biasanya, ketika menulis, sesuatu yang terjadi pada kita adalah memikirkan apa yang akan kita tulis. Inilah yang membuat mata kita tidak bekerja sebagai pengamat tulisan melainkan hanya melihat apa yang sedang ditulis. Ketika mata hanya melihat, biasanya mata tidak akan memberikan informasi kepada otak. Istilah mudahnya adalah mata kita menatap kosong.

Kita tentu sadar bahwa kita sedang melihat, tapi hanya sekadar melihat saja. Sedangkan, jika mata kita sedang bekerja sebagai pengamat, maka mata kita akan memberikan input pada otak kita untuk juga berpikir terhadap apa yang ditangkap oleh mata. Dari sini, terdapat sinkronisasi antara penglihatan dengan pikiran.

Untuk ranah chatting, hal ini hampir dipastikan tidak begitu diperlukan. Karena, kalau saltik, tinggal minta maaf, selesai urusan. Apalagi jika obrolan itu terjadi dengan orang-orang terdekat. Maka, saltik akan sangat mudah untuk dimaklumi. Namun, bagaimana jika saltik terjadi pada proses penulisan kreatif hingga karya ilmiah?

Inilah yang menjadi persoalannya. Ketika saltik terjadi pada proses penulisan sepenting itu dan berhasil lolos revisi atau kurasi. Maka, tulisan itu akan terlihat (maaf) "bopeng". Memang seringkali kejadian ini dimaafkan, namun pada akhirnya menjadikan ini sebagai kebiasaan. Tentu saja, itu merupakan kebiasaan buruk.

Saltik yang terus-menerus terjadi pada akhirnya juga dapat menjadi permasalahan serius. Khususnya, ketika tulisan itu diterjemahkan ke dalam bahasa lain, seperti ke bahasa internasional (Inggris).

Di situlah akan terjadi hal yang tidak diinginkan. Yaitu salah interpretasi terhadap tulisan. Apalagi, jika tulisan itu merupakan artikel penting bahkan mungkin merupakan jurnal akademik.

Bisa Anda bayangkan bagaimana rasanya membaca jurnal internasional dan itu saltik? Pasti akan sangat repot mencari maksud dari tulisan tersebut. Apalagi, jika mengubah makna secara keseluruhan di dalam kalimatnya, hanya dikarenakan saltik pada satu/dua huruf. Bagaimana?

Dari pengalaman penulis dalam membaca jurnal internasional, untungnya tidak ada yang terjadi saltik. Kalaupun semisalnya ada, mungkin saltiknya tulisan internasional tersebut lebih pada kesalahan mengetik kata A menjadi kata B. Misal, di artikel itu bermaksud mengetik kata "heaven" namun yang keluar justru "havana" hanya karena mungkin keseringan mengetik judul lagu Camila Cabello tersebut. (hehehe)

Inilah yang sebenarnya perlu diperhatikan oleh semua penulis. Tidak peduli seberapa tinggi-rendah kasta kita sebagai penulis. Karena, selama tujuan dalam menulis itu adalah untuk menghadirkan tulisan yang dapat dibaca semua orang (bahkan orang luar negeri), maka seyogyanya dapat meminimalisir hingga menghilangkan kebiasaan saltik.

Bagaimana caranya agar tidak saltik?

Jika sebuah tulisan adalah berupa karya yang memang ditujukan untuk publik, maka jangan pernah mengunggah tulisan tersebut sebelum dibaca minimal dua kali. Sekali dibaca saat sedang menulis dan saat mulai lupa dengan fokus tulisannya. Maka, di situ penulis wajib kembali ke atas membaca tulisannya dari awal dan sebisa mungkin sangat teliti dalam mengamati setiap katanya. Di kali kedua, penulis membacanya ketika tulisan sudah selesai.

Idealnya lagi adalah dibaca kembali untuk kali ketiga. Tepatnya, ketika tulisan itu hendak dipublikasikan. Maka, sempatkan diri untuk kembali membacanya. Selain itu, beri jarak waktu beberapa saat antara pasca tulisan selesai dengan pra-tulisan akan dipublikasikan. Idealnya, minimal 1 jam dan sudah diselingi dengan satu-dua aktivitas yang mungkin dapat sedikit melupakan topik yang sedang ditulis tadi.

Dari situ, akan kembali muncul hasrat untuk membaca tulisan tersebut, dan tentunya akan dibaca dengan teliti. Setelah pembacaan ketiga kali itu, kemungkinan besar tulisan tersebut sudah lolos dari saltik dan layak edar, termasuk jika dibaca teman dari luar negeri. Tulisan itu juga kemudian akan berpeluang dapat diterjemahkan dengan tepat tanpa ada kekeliruan arti.

"No chatting, no day!" ^^. (Pexels/Kaboompics.com)

Jika saltik masih terjadi, maka upayakan untuk mulai membiasakan diri menghindari saltik di dalam kegiatan chatting. Satu hal yang membuat saltik semakin sering terjadi sebenarnya karena rutinitas mengetik kita semakin intensif, dan itu terjadi dengan wujud chatting. Maka dari itu, tekankan prinsip antisaltik sejak di ranah chatting. Memang sulit, tapi jika itu dilakukan secara berkelanjutan, tentunya tidak akan menjadi suatu hal yang berat.

Bagaimana supaya tidak saltik saat chatting?

Latihlah mata Anda untuk terbiasa membaca (secara jeli) sambil menulis. Tentunya juga hindari kesegeraan dalam memencet tombol kirim ketika tulisan itu sudah selesai. Kalau masih hanya sekadar sebaris-dua baris kalimat, maka tak perlu merasa repot untuk membacanya lagi sebelum memencet tombol kirim.

Mungkin efek nonton drama Hareem ya? :D. (Brillio.net)
Mungkin efek nonton drama Hareem ya? :D. (Brillio.net)

Jika pada chatting panjang ternyata ada yang masih saltik. Segera ralat dan jangan lupa untuk minta maaf, baik kepada orang lain maupun kepada diri sendiri. Usahakan pula untuk berjanji tidak mengulanginya. Atau, segera cari cara agar dapat menghindari saltik di kesempatan yang lain.

Jangan mengetik sambil tiduran! (Tekno.tempo.co)
Jangan mengetik sambil tiduran! (Tekno.tempo.co)

Satu cara terakhir agar dapat menghindari saltik adalah mengetiklah dengan posisi ternyaman. Bukan berarti senyaman tubuh kita, namun senyaman tangan kita untuk mengetik. Melalui sikap kita yang penuh pengertian terhadap tangan kita, maka tangan kita juga akan dapat memberikan performa terbaiknya, khususnya dalam hal mengetik. Tidak percaya?

Tulungagung, 23 Juni-13 Juli 2019
Deddy Husein S.

Bacaan yang bermanfaat dan berkaitan:

Bahaya bermain ponsel sambil tiduran. (Androidtechnoria.com) dan Cara mengetik cepat. (Ikeni.net)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun