Mohon tunggu...
Deddy Husein Suryanto
Deddy Husein Suryanto Mohon Tunggu... Penulis - Content Writer

Penyuka Sepak Bola. Segala tulisan selalu tak luput dari kesalahan. Jika mencari tempe, silakan kunjungi: https://deddyhuseins15.blogspot.com

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Salah Ketik yang Dimaafkan akan Menjadi Kebiasaan

13 Juli 2019   18:28 Diperbarui: 24 Januari 2021   21:09 227
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Faktor pertama memang pasti akan terjadi dan itu sangat wajar. Karena, dengan gadget (khususnya ponsel) masa kini yang 90% produknya adalah touch screen, maka jemari kita akan sangat leluasa (tanpa kontrol) untuk mengetik dibandingkan ketika masih berwujud keyboard fisik.

Selain itu, ketika masih dalam tindakan chatting, maka keinginan kita adalah harus segera merespon chat orang lain. Sehingga, mengetik cepat adalah suatu keharusan. Begitu pula jika harus mengetik panjang, maka sangat diharuskan untuk mengetik lebih cepat dengan harapan agar cepat tuntas. Inilah yang membuat hasil tulisan (selalu) tidak bisa luput dari saltik.

Faktor kedua adalah suatu ironi jika memang hal ini terjadi. Namun, bukan berarti, mata kita seratus persen tak membaca apa yang kita sedang tulis. Namun biasanya bukan soal mata kita yang tidak membaca, melainkan fokus kita yang bermasalah.

Biasanya, ketika menulis, sesuatu yang terjadi pada kita adalah memikirkan apa yang akan kita tulis. Inilah yang membuat mata kita tidak bekerja sebagai pengamat tulisan melainkan hanya melihat apa yang sedang ditulis. Ketika mata hanya melihat, biasanya mata tidak akan memberikan informasi kepada otak. Istilah mudahnya adalah mata kita menatap kosong.

Kita tentu sadar bahwa kita sedang melihat, tapi hanya sekadar melihat saja. Sedangkan, jika mata kita sedang bekerja sebagai pengamat, maka mata kita akan memberikan input pada otak kita untuk juga berpikir terhadap apa yang ditangkap oleh mata. Dari sini, terdapat sinkronisasi antara penglihatan dengan pikiran.

Untuk ranah chatting, hal ini hampir dipastikan tidak begitu diperlukan. Karena, kalau saltik, tinggal minta maaf, selesai urusan. Apalagi jika obrolan itu terjadi dengan orang-orang terdekat. Maka, saltik akan sangat mudah untuk dimaklumi. Namun, bagaimana jika saltik terjadi pada proses penulisan kreatif hingga karya ilmiah?

Inilah yang menjadi persoalannya. Ketika saltik terjadi pada proses penulisan sepenting itu dan berhasil lolos revisi atau kurasi. Maka, tulisan itu akan terlihat (maaf) "bopeng". Memang seringkali kejadian ini dimaafkan, namun pada akhirnya menjadikan ini sebagai kebiasaan. Tentu saja, itu merupakan kebiasaan buruk.

Saltik yang terus-menerus terjadi pada akhirnya juga dapat menjadi permasalahan serius. Khususnya, ketika tulisan itu diterjemahkan ke dalam bahasa lain, seperti ke bahasa internasional (Inggris).

Di situlah akan terjadi hal yang tidak diinginkan. Yaitu salah interpretasi terhadap tulisan. Apalagi, jika tulisan itu merupakan artikel penting bahkan mungkin merupakan jurnal akademik.

Bisa Anda bayangkan bagaimana rasanya membaca jurnal internasional dan itu saltik? Pasti akan sangat repot mencari maksud dari tulisan tersebut. Apalagi, jika mengubah makna secara keseluruhan di dalam kalimatnya, hanya dikarenakan saltik pada satu/dua huruf. Bagaimana?

Dari pengalaman penulis dalam membaca jurnal internasional, untungnya tidak ada yang terjadi saltik. Kalaupun semisalnya ada, mungkin saltiknya tulisan internasional tersebut lebih pada kesalahan mengetik kata A menjadi kata B. Misal, di artikel itu bermaksud mengetik kata "heaven" namun yang keluar justru "havana" hanya karena mungkin keseringan mengetik judul lagu Camila Cabello tersebut. (hehehe)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun