Kenal dengan pertanyaan ini?
Kira-kira, siapa yang pernah menanyakannya?
Kapan pula, pertanyaan ini terlontarkan?
Mengapa pertanyaan ini muncul?
Penulis tidak berani menebak, apakah semua pembaca akan menjawab 4 pertanyaan di atas. Namun, sebagai penulis yang bertanggungjawab dalam menulis artikel ini, maka penulis akan turut mencoba menjawab 4 pertanyaan tersebut.
Meski demikian, ada satu hal yang perlu para pembaca yang budiman dan budiwati ketahui bahwa penulis masih belum berkeluarga, alih-alih punya anak. Sehingga, penulis di sini hanya akan mencoba menjawab sesuai dengan logika berpikir tanpa mencoba menjadi orang yang pantas mendapatkan sodoran pertanyaan tersebut.
Pertanyaan pertama akan dijawab dengan jawaban yang sederhana; kenal. Mengapa bisa mengenali pertanyaan tersebut? Karena, pertanyaan itu hampir selalu terjadi di masa sekolah, khususnya saat masih SD dan SMP. Tepatnya, momen itu terjadi pada saat pembagian raport.
Bagi angkatan 2000-an awal yang baru menginjak bangku sekolah dasar (SD) tentunya masih mengingat praktik dari pertanyaan, "Bu/Pak, anak saya ranking berapa?" Pertanyaan ini pada saat itu masih sangat familiar dan wajar terjadi. Karena, di dalam raport memang masih terdapat kolom untuk mengisi urutan ranking siswa.
Biasanya, pertanyaan ini juga mempengaruhi perbincangan antara guru dengan orangtua siswa. Bagi yang mendapatkan ranking tertinggi, pembicaraannya akan sangat menyenangkan. Karena, si guru akan memberikan banyak pujian tentang si siswa kepada orangtua si siswa tersebut. Berbeda jika ranking siswa yang bersangkutan tidak begitu baik. Maka perbincangan akan cukup serius, hingga membuat orangtua akan memiliki 'pekerjaan rumah' pasca pertemuan tersebut.
Lalu, siapa yang menanyakannya?
Orangtua yang masih berpikir jika ranking adalah patokan dasar dari keberhasilan dan kegagalan anak bersekolah. Semakin tinggi ranking yang didapatkan, maka si anak dianggap telah berhasil dalam menunaikan kegiatannya di sekolah. Sedangkan jika ranking si anak semakin rendah, maka si anak akan mendapatkan pandangan negatif -bahkan dari orangtuanya sendiri.
Sekali lagi, ini masih dalam hal yang wajar jika terjadi di tahun 2000-an awal. Namun, bagaimana jika masih terjadi hingga saat ini?
Inilah yang kemudian akan mengarah pada pertanyaan ketiga; kapan?
Jika merujuk pada pengalaman pribadi saat masih bersekolah saat itu, penulis akan menjawab tahun 2000-an awal hingga pertengahan. Karena, seperti yang disebut di atas, jika di lembaran raport saat itu, masih terdapat kolom untuk diisi urutan ranking siswa. Sehingga, guru saat itu pasti menuliskan ranking berdasarkan jumlah nilai seluruh mata pelajaran.