Mohon tunggu...
Deddy Husein Suryanto
Deddy Husein Suryanto Mohon Tunggu... Penulis - Content Writer

Penyuka Sepak Bola. Segala tulisan selalu tak luput dari kesalahan. Jika mencari tempe, silakan kunjungi: https://deddyhuseins15.blogspot.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Anak Saya Rangking Berapa?

2 Juli 2019   07:21 Diperbarui: 2 Juli 2019   07:24 408
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kenal dengan pertanyaan ini?
Kira-kira, siapa yang pernah menanyakannya?
Kapan pula, pertanyaan ini terlontarkan?
Mengapa pertanyaan ini muncul?

Penulis tidak berani menebak, apakah semua pembaca akan menjawab 4 pertanyaan di atas. Namun, sebagai penulis yang bertanggungjawab dalam menulis artikel ini, maka penulis akan turut mencoba menjawab 4 pertanyaan tersebut.

Meski demikian, ada satu hal yang perlu para pembaca yang budiman dan budiwati ketahui bahwa penulis masih belum berkeluarga, alih-alih punya anak. Sehingga, penulis di sini hanya akan mencoba menjawab sesuai dengan logika berpikir tanpa mencoba menjadi orang yang pantas mendapatkan sodoran pertanyaan tersebut.

Pertanyaan pertama akan dijawab dengan jawaban yang sederhana; kenal. Mengapa bisa mengenali pertanyaan tersebut? Karena, pertanyaan itu hampir selalu terjadi di masa sekolah, khususnya saat masih SD dan SMP. Tepatnya, momen itu terjadi pada saat pembagian raport.

Bagi angkatan 2000-an awal yang baru menginjak bangku sekolah dasar (SD) tentunya masih mengingat praktik dari pertanyaan, "Bu/Pak, anak saya ranking berapa?" Pertanyaan ini pada saat itu masih sangat familiar dan wajar terjadi. Karena, di dalam raport memang masih terdapat kolom untuk mengisi urutan ranking siswa.

Sebuah situasi pembagian raport. (Sdkgadingserpong.bpkpenaburjakarta.or.id)
Sebuah situasi pembagian raport. (Sdkgadingserpong.bpkpenaburjakarta.or.id)


Biasanya, pertanyaan ini juga mempengaruhi perbincangan antara guru dengan orangtua siswa. Bagi yang mendapatkan ranking tertinggi, pembicaraannya akan sangat menyenangkan. Karena, si guru akan memberikan banyak pujian tentang si siswa kepada orangtua si siswa tersebut. Berbeda jika ranking siswa yang bersangkutan tidak begitu baik. Maka perbincangan akan cukup serius, hingga membuat orangtua akan memiliki 'pekerjaan rumah' pasca pertemuan tersebut.

Lalu, siapa yang menanyakannya?
Orangtua yang masih berpikir jika ranking adalah patokan dasar dari keberhasilan dan kegagalan anak bersekolah. Semakin tinggi ranking yang didapatkan, maka si anak dianggap telah berhasil dalam menunaikan kegiatannya di sekolah. Sedangkan jika ranking si anak semakin rendah, maka si anak akan mendapatkan pandangan negatif -bahkan dari orangtuanya sendiri.

Sekali lagi, ini masih dalam hal yang wajar jika terjadi di tahun 2000-an awal. Namun, bagaimana jika masih terjadi hingga saat ini?

Inilah yang kemudian akan mengarah pada pertanyaan ketiga; kapan?
Jika merujuk pada pengalaman pribadi saat masih bersekolah saat itu, penulis akan menjawab tahun 2000-an awal hingga pertengahan. Karena, seperti yang disebut di atas, jika di lembaran raport saat itu, masih terdapat kolom untuk diisi urutan ranking siswa. Sehingga, guru saat itu pasti menuliskan ranking berdasarkan jumlah nilai seluruh mata pelajaran.

Situasi pembagian raport lainnya. (Sdkgadingserpong.bpkpenaburjakarta.or.id)
Situasi pembagian raport lainnya. (Sdkgadingserpong.bpkpenaburjakarta.or.id)


Inilah yang membuat para orangtua menanyakan ranking anaknya ketika bertemu guru pertama kali dalam momen pembagian raport. Selain karena akan menjadi bahan diskusi singkat antara guru dengan orangtua siswa, informasi tentang ranking juga akan menjadi bahan obrolan ngalor-ngidul para orangtua ketika saling bertemu, baik saat momen pembagian raport -menyinggung ranking semester sebelumnya- ataupun pasca pembagian raport -menindaklanjuti hasil belajar yang terbaru.

Bagi beberapa orangtua, membicarakan ranking akan hanya menjadi basa-basi untuk memulai interaksi dengan orangtua siswa lain. Namun, bagi beberapa orangtua, membicarakan ranking artinya akan menimbulkan tekanan pada masing-masing orangtua yang kemudian berimbas pada anak-anaknya.

Karena, perbincangan ranking itu pada akhirnya akan menular pada para siswanya, yang kemudian akan menimbulkan adanya gesekan dari masing-masing siswa. Bagi yang nilainya tinggi, dia akan merasa paling pintar dan harus disegani oleh teman-temannya. Sedangkan bagi yang nilainya rendah, dia akan merasa lemah, bodoh, dan lain sebagainya.

Inilah yang membuat atmosfer di sekolah tidak selamanya bagus, dan juga tidak selamanya dapat diketahui oleh guru apalagi para orangtua siswa. Dari sini, kemudian muncul kabar bagus, yaitu, sistem ranking dihapus. Sehingga, para siswa ataupun orangtua hanya akan melihat jumlah nilai dan biasanya akan membuat orangtua tidak sepenuhnya mengetahui persis urutan peringkat anaknya maupun siswa lainnya.

Perubahan ini juga membuat tindakan orangtua juga berbeda. Mereka yang biasanya lebih pragmatis dengan hanya berpatok pada ranking, maka kini, mulai lebih detil dalam melihat hasil belajar anaknya masing-masing dengan membaca setiap nilai yang ada di masing-masing mata pelajaran.

Dari sini, orangtua rata-rata akan mulai tahu tentang kelebihan dan kekurangan anaknya masing-masing. Biasanya mereka tidak akan tinggal diam pasca membaca nilai-nilai tersebut. Namun, kali ini penulis tidak akan membahas tentang tindakan para orangtua pasca mengetahui lebih rinci tentang nilai-nilai di setiap mata pelajaran tersebut.

Penulis akan melanjutkan pada pertanyaan terakhir; mengapa bisa muncul pertanyaan ranking?

Pertama, jika waktu itu masih di kurikulum lama yang menerapkan sistem ranking di tiap akhir semester. Maka, pertanyaan itu adalah senjata utama untuk penjajakan antara orangtua dengan guru dalam membuka obrolan tentang siswa bersangkutan.

Kedua, jika masih di waktu yang sama, maka, pertanyaan itu bisa menjadi basa-basi. Bagi beberapa orangtua yang tahu kapasitas anaknya, biasanya tujuan bertanya tentang ranking bukan untuk membuat dirinya menerima 'review' dari guru, melainkan hanya untuk membuat momen itu tidak hanya menjadi momen serah-terima raport. Namun juga menjadi momen berbincang sejenak bagi si orangtua, sekaligus untuk mengenal guru tersebut. Selain itu, orangtua yang menjadikan pertanyaan ini sebagai basa-basi, biasanya dikarenakan tidak menemukan pertanyaan lain yang lebih tepat untuk disampaikan ke guru.

Ketiga, jika hal ini masih terjadi di waktu yang sudah berbeda -dengan kurikulum pendidikan yang berbeda- maka, si orangtua dapat disebut sebagai generasi yang gagal move on. Tahun 2019 dan dunia pendidikan Indonesia sudah mengalami berbagai perubahan di setiap sudutnya. Maka, pertanyaan tentang ranking sudah seharusnya tidak diperlukan lagi. 

Apalagi penghapusan sistem ranking sudah diberlakukan sekitar 2010-an awal ataupun 2000-an akhir (silakan dikoreksi bagi yang lebih mengetahui detilnya). Sehingga, pertanyaan ini seharusnya sudah sangat tidak relevan dan sebaiknya harus dihindari daripada mendapatkan 'ceramah' dari guru -yang ditujukan murni kepada orangtua-orangtua yang seharusnya lebih dewasa dalam menyikapi atmosfer pendidikan saat ini.

Pembagian raport kini tak lagi hanya mengundang orangtuanya namun juga beserta siswanya. (Sditalkahfi.sch.id)
Pembagian raport kini tak lagi hanya mengundang orangtuanya namun juga beserta siswanya. (Sditalkahfi.sch.id)


Secara ideal, penghapusan sistem ranking akan membuat persaingan tidak akan sebesar zaman dulu. Meski tak dipungkiri bahwa persaingan itu pasti dan selalu ada. Namun, dengan ketiadaan sistem ranking, membuat beban bersekolah si anak tidak begitu berat. Mereka harus lebih fokus dalam mengembangkan kemampuan, bukan hanya mengejar label ataupun simbol. 

Ranking hanya akan membuat para siswa mengejar simbol (angka), sedangkan kepastian terhadap kemampuannya secara murni belum tentu tercapai. Betul? Mungkin betul, namun, penulis tidak ingin menguatkan pernyataan ini -dengan statement penegasan lain- agar tidak menyinggung perasaan pembaca.

Jika merujuk pada kebiasaan orangtua penulis ketika sedang momen pembagian raport -di beberapa kesempatan ada penulis juga. Biasanya, yang ditanyakan oleh orangtua adalah "apakah anak saya nakal?" Pertanyaan ini menurut penulis lebih menarik untuk dijadikan pertanyaan bagi orangtua kepada guru, dibandingkan menanyakan tentang ranking.

Ketika orangtua menanyakan tentang kenakalan anak, maka, orangtua lebih peduli tentang perkembangan sifat dan sikap anak, dibandingkan hanya sekadar mengetahui tingkat kepintarannya yang belum tentu dibarengi oleh sikap yang baik dari si anak. Hal ini yang biasanya membuat si anak lebih berpikir untuk bagaimana menjadi anak yang baik untuk gurunya dibandingkan menjadi anak yang pintar namun bersikap tidak sopan kepada guru.

Hal ini pula yang masih diingat oleh penulis dan membuat penulis selalu memaafkan para guru yang pernah menghukum penulis ketika penulis sedang tidak bersikap baik terhadap mereka. Bagi penulis, hal semacam ini yang seharusnya ditanamkan oleh orangtua kepada anaknya, alih-alih menginginkan ranking tertinggi.

Jadi, apakah masih ada pertanyaan, "berapa ranking anak saya?"

Tulungagung, 25 Juni-2 Juli 2019
Deddy Husein S.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun