Mohon tunggu...
Deddy Husein Suryanto
Deddy Husein Suryanto Mohon Tunggu... Penulis - Content Writer

Penyuka Sepak Bola. Segala tulisan selalu tak luput dari kesalahan. Jika mencari tempe, silakan kunjungi: https://deddyhuseins15.blogspot.com

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Semua Sekolah Itu Sama

22 Juni 2019   10:49 Diperbarui: 22 Juni 2019   11:00 165
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi sekolah. (Victorynews.id)


Siapa yang tidak ingin bersekolah di sekolah favorit, bukan?
Nyaris semua orang memimpikan itu. Namun, hanya sekian dari orang-orang tersebut dapat menggapainya. Lalu, apa yang dirasakan atau dialami oleh orang-orang yang berhasil sekolah favorit?

Tekanan terhadap standar kemampuan akan terus (dan harus) berada di level tertinggi. Jatuh sedikit saja, segalanya dapat ikut jatuh. Maka dari itu bersekolah di sekolah favorit juga memiliki konsekuensi. 

Yaitu, harus menyesuaikan standar kemampuanmu untuk ada di sana. Jika tidak dapat menyesuaikannya, kenapa lanjut? Urungkan niatmu untuk ke sana, edarkan matamu, cari yang lain.

Prinsipnya mirip dengan kamu memilih calon pacar (hehehe). Pasti semua orang juga punya sosok lawan jenis yang diidolakan. Tapi, pada akhirnya teman 'berjuangmu' yang sebenarnya, bukanlah sosok yang diidolakan itu. Betul?

Hal ini juga sama dengan memilih sekolah. Cita-cita bersekolah di sekolah favorit bukanlah hal yang dilarang, tapi ketika jalan menuju ke sana tidak ada, maka pilihlah alternatif. Alternatif ini di setiap hal selalu penting untuk dimiliki. Mengapa?

Ketika kamu punya alternatif, maka, kamu tidak akan mudah jatuh secara telak. Masih ada kemungkinan kamu tertahan, ataupun jika sampai nyungsep, kamu masih mampu melakukan gerakan roll depan. Sehingga, kemungkinan mengalami cedera patang tulang punggung ataupun leher tidak akan terjadi.

Hal ini sama, ketika kamu gagal diterima di sekolah favorit, maka, ada sekolah pilihan kedua, ketiga, dan seterusnya untuk kamu jajaki peluangnya. Lalu, bagaimana dengan kualitas? Bukankah bersekolah di sekolah favorit adalah untuk mengejar kualitas?

Betul sekali!
Sekolah favorit menyediakan wahana luas untuk mengeksplorasi kualitas pendidikan. Namun, hal ini perlu disetarakan dengan tingkat 'kehausanmu' dalam mengejar ilmu pengetahuan. Jika tingkat kehausanmu sangat rendah, lebih baik kamu balik kanan sebelum benar-benar memasuki gerbang sekolah itu.
Mengapa?

Karena, ketika tingkat kehausanmu terhadap ilmu pengetahuan rendah, maka, kamu akan berontak. Secara alamiah, kamu akan melawan apa yang menjadi habitat di sekolah favorit. Untuk itulah kemudian muncul karakter menjadi anak nakal.

Tidak semua anak nakal di sekolah itu berangkat dari kenakalan yang mengakar sejak kecil. Tapi, ada dan bahkan lebih banyak anak-anak nakal di sekolah itu muncul karena adanya shock culture. Anak-anak itu tidak siap untuk menghadapi budaya di sekolah tersebut dan tidak siap pula untuk segera mengikuti budayanya.

Namun, untuk mencapai tataran ini, perlu adanya kemawasdirian. Artinya, kamu tahu standarmu di mana dan -yang paling penting- orangtuamu juga tahu batas kemampuanmu ada di mana. Bukan berarti ada underestimate, namun lebih ke upaya mencari yang tepat.

Sama seperti kamu mencoba mencari pasangan (pacar), pasti kamu akan mencari yang tepat, bukan mencari yang sesuai dengan imajinasimu. Ini yang patut dicermati ketika kamu dihadapkan pada upaya untuk mendaftar ke sekolah favorit.

Memang sangat diperbolehkan untuk menempatkan sekolah favorit berada di plan A. Namun, di plan B, C, dst juga harus ada pilihan sekolah lainnya. Di sinilah letak pencegahan dari sikapmu untuk tidak banyak berulah negatif, atau menjadi nakal.

Kebanggaan memang perlu -ketika memilih sekolah favorit. Namun jika kebanggaan itu tidak ditemukan manfaat sebenarnya untuk dirimu, maka, kamu hanya akan memiliki kebanggaan yang semu. 

Contohnya, kamu bersekolah di sekolah X yang favorit level 1 di kotamu. Lalu, tetanggamu menganggapmu sebagai anak pintar. Tapi nyatanya, kamu jarang mendapatkan nilai bagus di segala mata pelajaran. Lalu, apa yang kamu pelajari saat berada di sekolah favorit itu?

Berbeda halnya jika kamu bersekolah di sekolah yang sesuai kapasitasmu. Kamu yang tipikalnya tidak nakal, namun juga tidak rajin belajar, maka, kamu (cocoknya) bersekolah di sekolah Y yang levelnya ada di tengah. 

Di situ kamu menemukan 'rule of the game' yang tidak seketat di level 1 tadi. Maka, yang terjadi adalah kamu akan mencoba untuk membuka pikiranmu dalam mempelajari apa yang ada di sekolah tersebut.

Ketika pikiranmu tenang, alias baik-baik saja, maka proses belajarmu juga akan pasti lebih baik. Begitu pula dalam hal sikap. Jika kamu mampu menunjukkan tindakanmu yang tidak/jarang melakukan pelanggaran tata-tertib (tatib) sekolah, maka orang-orang di sekitarmu (di sekolah itu) juga akan mendukungmu untuk survive ketika kamu memiliki kendala.

Guru acapkali juga bersedia membantu muridnya yang mengalami permasalahan. (Thesafestnewyear.com)
Guru acapkali juga bersedia membantu muridnya yang mengalami permasalahan. (Thesafestnewyear.com)


Hal ini penting, karena, sewaktu-waktu kamu akan memiliki kendala yang mungkin tidak dapat segera diselesaikan oleh orangtua atau keluargamu, melainkan harus dibantu pula dengan orang-orang di sekolahmu. Maka, kamu juga harus menanamkan sikap yang positif, agar orang-orang tersebut tanggap dan bersedia untuk membantumu.

Ilustrasi pertemanan. (Kumparan.com)
Ilustrasi pertemanan. (Kumparan.com)


Tidak selamanya teman sekolah itu hanya akan bertarung di arena pacuan prestasi. Terkadang teman sekolah juga butuh adanya pertemanan yang santai nan menyenangkan. 

Main bersama dan belajar bersama adalah cara yang diinginkan oleh anak sekolah termasuk teman-teman sekolahmu -bahkan juga kamu sendiri. Maka dari itu, bersikap positif itu harus. Tidak harus selalu bertindak benar, namun bersikap baik saja, itu sudah cukup.

Perihal terakhir yang patut kamu miliki adalah mencoba berpikiran positif terhadap kualitas pendidikan yang ditawarkan oleh sekolah yang non-favorit. 

Kamu harus berpikir bahwa semua sekolah itu selalu berupaya menjadi wadah yang terbaik untuk seluruh peserta didiknya. Tidak perlu peduli dengan stereotip dan stigma yang melekat di sekolah non-favorit. Mengapa?

Karena, yang bersekolah adalah kamu, bukan orang lain. Maka, kamu harus yakin pada dirimu bahwa kamu mampu bersekolah di situ dan kamu akan baik-baik saja di sana. 

Yakinlah pada dirimu sendiri bahwa kamu dapat merubah pandangan orang lain dengan menunjukkan dirimu sebagai hasil dari sekolah tersebut yang (terlihat) lebih baik dibandingkan masa-masa sebelumnya.

Tidak semua kejadian negatif di sekolah itu murni karena kesalahan praktik didik dari guru. Karena, semua kejadian itu pasti ada sebab-akibat yang bertautan. Jika murid melanggar aturan, guru pasti bertindak. Begitu pula jika guru semena-mena, maka murid juga pasti akan memberontak.

Hal ini juga berlaku ketika terjadi stigma terhadap sekolah tersebut. Jika insiden yang pernah terjadi murni karena kesalahan muridnya sendiri, berarti guru-gurunya juga tidak seharusnya menanggung stigma tersebut secara berkepanjangan. 

Karena, dalam proses pendidikan di sekolah itu juga sama seperti proses pengasuhan di rumah. Apakah kamu berani bertaruh, bahwa semua keluarga kecil (ayah, ibu, dan anak) di lingkungan se-RT/RW-mu mampu menerapkan sistem asuh pada anak dengan benar dan baik?

Pasti semua keluarga kecil itu juga pernah mengalami fase pengasuhan yang 'naik-turun'. Di fase awal (anak pertama) biasanya akan sangat kaku dan masih bergantung pada mertua/orangtua pasutri. Ada pula yang di fase awal, mereka terlalu memanjakan anaknya. 

Ada pula yang di fase akhir malah lebih lepas terhadap pengasuhan anaknya karena tuntutan pekerjaan dan biasanya 'dititipkan' ke anak pertama dan kakek-nenek.

Jika dipikir-pikir, fase-fase seperti itu juga terjadi di sekolah secara tersirat. Terkadang di tahun X, sekolah itu mampu berprestasi dan ada skandalnya. Namun, di tahun Y, sekolah itu minim prestasi dan (uniknya) tidak ada skandal. 

Begitu pula di tahun W (sebelum X) ataupun Z, sekolah itu berusaha membangun image yang baik nan berprestasi dengan menerapkan aturan-aturan yang berjangka panjang (untuk tahun X dan Y). Sehingga sekolah itu sedang berada di fase ketat atau disiplin. Maka, proses pendidikannya juga akan sedemikian rupa.

Berbeda ketika sekolah itu sedang sangat sibuk untuk ikut segala event pendidikan dan olahraga. Maka, 'aturan main' akan lebih longgar dari biasanya dan di situlah ada peluang untuk 'kecolongan' skandal terjadi.

Memang perihal ini sedikit jauh dari jangkauan berpikirmu, namun dengan bantuan telaah (dan praktik nyata) orangtuamu dan gurumu, mungkin hal semacam ini perlu kamu pertimbangkan jika kamu ingin memilih sekolah baru. 

Yakinlah pada dirimu, orang sekitarmu, dan sekolahmu untuk dapat menjadi pembuktian bahwa semua sekolah itu sama saja. Karena, yang menentukan adalah dirimu, temanmu, dan mereka yang ingin berjalan ke arah yang sama denganmu.

Selamat mendaftar! Selamat belajar di tempat yang baru! Good luck for your future!

Tulungagung, 22 Juni 2019
Deddy Husein S.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun