Mohon tunggu...
Deddy Husein Suryanto
Deddy Husein Suryanto Mohon Tunggu... Penulis - Content Writer

Penyuka Sepak Bola. Segala tulisan selalu tak luput dari kesalahan. Jika mencari tempe, silakan kunjungi: https://deddyhuseins15.blogspot.com

Selanjutnya

Tutup

Bola Pilihan

Salah dan Kawan-kawan Berlebaran dengan Trofi Liga Champions

2 Juni 2019   11:14 Diperbarui: 2 Juni 2019   11:30 86
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Salah rayakan gol pertama Liverpool. (Dailyadvent.com)

Trofi Liga Champions rupanya menjadi THR bagi para pemain Liverpool, khususnya bagi pemain muslimnya---Mo Salah, Sadio Mane, Naby Keita, dan Xerdan Shaqiri. Gelar juara ini juga menjadi pelipur lara bagi The Reds atas kegagalan mereka untuk juara di Premier League musim ini. Poin 97 dan hanya dengan satu kali kekalahan rupanya tidak mampu mengantarkan mereka untuk menjadi yang terbaik di tanah Inggris.

Meski begitu, gelar Liga Champions hadir untuk memberikan bukti bahwa Liverpool sedang berada di masa yang bagus, pasca pembangunan skuad yang diasuh oleh Jurgen Klopp tersebut. Liverpool yang juga merupakan finalis Liga Champions musim lalu berhasil menunjukkan diri mereka sebagai tim yang memiliki pengalaman untuk bersaing berebut gelar tertinggi di Eropa.

Menghadapi sesama klub asal Inggris rupanya menjadi keberuntungan maupun kewaspadaan bagi Klopp. Ini dapat dilihat dari taktik bermain mereka yang tidak berusaha menguasai permainan dan membiarkan para pemain Spurs mencoba mengembangkan permainannya. Namun, mengapa Liverpool tetap mampu juara meski tak dominan dalam menguasai permainan?

Pertama, Liverpool kembali ke final dengan modal skuad yang lebih baik. Khususnya pada kedalaman skuad. Bahkan susunan pemain utama pun terdapat perubahan. Yaitu, bergantinya kiper utama dari Loris Karius ke Alisson Becker. Hasilnya pun positif bagi Liverpool karena kiper asal Brazil ini jarang melakukan kesalahan. Sehingga, penggalangan pertahanan Liverpool di final kali ini lebih tenang ketika menghadapi gempuran serangan lawan yang tiada henti.

Faktor kedua, Liverpool memilih menjadi tim yang tak perlu mencari penguasaan bola. Mereka hanya ingin bermain simpel, yaitu bertahan dan menyerang. Tidak ada penguasaan bola, karena bola selalu segera diarahkan ke depan tanpa ada penundaan dan pengorganisasian yang rumit. Hal ini membuat pertahanan Tottenham Hotspur tidak bisa tenang. Karena, ketika mereka sedikit saja melakukan kesalahan, itu sudah berarti akan memberikan peluang bagi Liverpool untuk menciptakan peluang.

Selebrasi Salah dan Henderson. (Cbssports.com)
Selebrasi Salah dan Henderson. (Cbssports.com)
Faktor ketiga, Liverpool secara beruntung berhasil unggul cepat melalui gol penalti Mohamed Salah di menit kedua. Inilah yang membuat permainan Liverpool menjadi lebih tenang dan lebih menunggu dibandingkan mencari momentum---seperti yang dilakukan Spurs. Hal ini sebenarnya bisa menjadi bumerang negatif bagi Henderson dkk jika Spurs mampu memanfaatkan dominasi mereka dengan lebih baik lagi---mampu menghasilkan minimal satu gol.


Ketidakmampuan Spurs mencetak peluang berbahaya dan gol penyama kedudukan menjadi faktor keempat yang membuat Liverpool mampu berjaya di final yang berlangsung di Wanda Metropolitano, markas Atletico Madrid tersebut. Di laga ini, Spurs kembali memperlihatkan kemubajiran penguasaan bola dan pengreasian peluang dengan tanpa memberikan tekanan yang akurat ke penjaga gawang Liverpool---seperti saat melawan Ajax di semifinal leg 1.

Bahkan, shots on target mereka baru tercipta di babak kedua dan itupun mulai intens pada menit 70-an---hal ini juga terjadi saat bentrok dengan Ajax di semifinal leg 2. Sehingga, Liverpool dapat disebut telah diuntungkan karena menghadapi tim yang tidak terlalu bagus dalam hal produktivitas dan efektivitas serangan. Sehingga, Liverpool masih aman dengan taktik menunggu.

Sedangkan bagi Spurs, penguasaan bola yang banyak tanpa membuahkan hasil (gol), pada akhirnya menghasilkan kefrustrasian dan penurunan kepercayaan diri pada anak asuh Mauricio Pochettino. Hal ini dapat terlihat, ketika para pemain Spurs menghadapi transisi cepat Liverpool dalam melakukan serangan balik. Di sini mereka mulai goyah. 

Artinya, secara kasat mata Spurs menguasai permainan, namun secara tersirat si pemegang kendali tempo permainan justru Liverpool. Karena, mereka sudah tahu apa yang harus mereka lakukan. Termasuk di faktor kelima.

Yaitu, pergantian pemain yang dilakukan Liverpool yang ternyata mampu menyesuaikan momentum yang ada di lapangan. Divock Origi diturunkan di babak kedua untuk menggantikan Roberto Firmino yang nyaris tak terlihat di laga ini---selain dengan sorotan kamera pada ekspresi murungnya. Sepertinya si pemain timnas Brazil ini masih belum terlalu bugar. Namun, dirinya berada di lingkaran strategi yang dimiliki Klopp untuk dapat menyembunyikan kartu As-nya; Divock Origi.

Penyerang asal Belgia ini juga yang memberikan sumbangsih besar bagi Liverpool dalam beberapa laga terakhir Liverpool, termasuk saat menjadi penentu kelolosan The Reds ke final. 

Sehingga, ketika Origi masuk, maka Liverpool hanya menunggu waktu saja bagi mereka untuk dapat mencetak peluang emas dan memberikan kepercayaan pada Origi untuk mengeksekusi peluang tersebut.

Hasilnya, gol kedua Liverpool hadir di laga ini. Gol yang dicetak Origi itu juga sekaligus menamatkan asa Spurs untuk memperpanjang perlawanan mereka. Karena gol itu terjadi di menit 87, maka, hanya menunggu beberapa menit saja bagi Liverpool untuk mengangkat trofi. Tambahan 5 menit juga tidak mampu dimanfaatkan oleh Spurs dengan baik. Liverpool pun akhirnya berpesta.

Klopp akhirnya angkat trofi Liga Champions setelah ke final 3 kali. (Goal.com)
Klopp akhirnya angkat trofi Liga Champions setelah ke final 3 kali. (Goal.com)
Bersama gelar ini, maka, para pemain Liverpool akan menjalani liburan musim panas dengan kelegaan yang luar biasa. Karena, mereka dapat mengembalikan trofi Si Kuping Besar ke Inggris setelah Chelsea melakukannya beberapa waktu sebelumnya. 

Kini, publik hanya dapat menantikan seberapa lama Liverpool akan merayakan euforia tersebut. Karena, mereka akan kembali ditantang di musim depan untuk menuntaskan misi mereka yang terus tertunda. Yaitu, menjadi juara Premier League di era baru. Mampukah Klopp mewujudkannya?

Tulungagung, 2 Juni 2019
Deddy Husein S.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bola Selengkapnya
Lihat Bola Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun