Sebenarnya, kata Indonesia di judul artikel ini ingin ditulis dengan tanda petik, 'Indonesia'. Sehingga, pembaca bisa menerka-nerka apa maksud dari Indonesia. Benar, bahwa ini tidak semata menyebut nama negara, melainkan sesuatu yang ada di balik nama negara tersebut. Di sini, penulis menyebutnya sebagai filosofi ketika negara ini terbentuk. Yaitu, Bhinneka Tunggal Ika.
Istilah tersebut bukan hanya sebagai slogan apalagi simbol belaka, melainkan dapat menjadi makna yang mengarah pada tujuan dari negara ini terbentuk. Secara sederhana, penulis menyebutkan bahwa negara ini (ditakdirkan) terbentuk untuk menjadi negara yang merangkul segala macam perbedaan.
Ketika berbicara Indonesia, maka, akan sulit berbicara tentang satu hal saja. Meski, mayoritas dan minoritas ada di negara ini, seperti negara-negara pada umumnya. Namun, perlu ada sesuatu yang membedakan negara ini dengan negara lain. Yaitu, pola pikir.
Dewasa ini, negeri khatulistiwa ini mulai genting dalam hal pola pikir. Masyarakat Indonesia mulai mudah terdorong untuk ke kanan, ke kiri, ke depan, ke belakang tanpa tahu apa tujuan pastinya. Sehingga, ini menjadi kepiluan dan kemunduran bagi masyarakat secara keseluruhan.
Orang melek memang sudah banyak, namun sekadar melek huruf. Sedangkan orang yang melek dalam hal pemikiran, masih sedikit. Ironisnya, orang yang melek pemikiran tidak banyak ruang untuk berbicara. Karena, mereka seperti filosofi padi yang semakin berisi semakin merunduk. Sedangkan yang belum banyak tahu apa-apa sudah menegakkan tubuh dan berkoar.
Sebenarnya merunduk bisa diartikan sederhana ke dua hal. Negatif dan positif. Positifnya, orang yang sudah melek pemikiran tidak akan menyombongkan kepandaiannya. Namun negatifnya, orang yang merunduk terkesan tidak bersedia ikut campur ketika sedang genting.
Ada faktor yang menyebabkan hal ini terjadi. Yaitu kebebalan dan mudanya keilmuan yang masuk di masyarakat. Hal ini dikarenakan, masyarakat Indonesia tergolong baru saja mentas dari buta huruf. Kita baru saja berada di fase pencerahan di mana pendidikan mulai dijadikan sebagai prioritas. Hal ini tentu berbeda dengan negara lain yang sudah maju, yang mana mereka sudah tidak lagi fokus mentas dari buta huruf, melainkan mentas dari sekadar melek huruf.
Di sinilah masyarakat Indonesia diibaratkan sebagai padi muda, yang masih tegak-tegaknya. Sehingga, hal ini juga dapat diibaratkan ke perilaku orang muda yang mana seringkali susah diberi nasehat oleh orangtuanya ataupun orang yang lebih berpengalaman dan berpengetahuan seperti guru.
Maka dari itu, tidak begitu mengherankan jika masyarakat Indonesia seperti fase remaja. Sedikit disentil sudah ingin balas dengan lemparan batako. Sedikit diberi air minum, malah minta susu murni.
Begitu pula dalam hal pemahaman. Orang muda juga cenderung akan merasa sudah tahu segalanya ketika baru mencapai permukaan dari pengetahuan tersebut.