Pulanglah bersama takbir yang kulantunkan dalam kebisuanku. Tanpa ada yang perlu mendengarnya, tanpa ada yang perlu tahu pula jika aku menginginkanmu, lebih dari apapun. Aku ingin bersamamu, merayakan hari kemenangan ini. Kumohon!"
"Mas, ayo bangun!"
Aku terbangun berkat tangan kecil yang sudah wangi menepuk-nepuk pipiku. Dia tersenyum memandang wajahku yang entah sedang berupa seperti apa. Aku bergegas. Termasuk bergegas menyambut apa yang mereka sambut. Menyambut hari kemenangan meski tanpa ada rasa kemenangan sedikitpun di dalam pikiranku.
Aku tetap tersenyum dan mengangguk serta menjabat erat orang-orang yang berulur tangan padaku. Sesekali mataku sedikit berbinar ketika terdapat seamplop-dua amplop menyelip di tanganku. Namun, aku tak dapat larut di sana.
Tidak ada yang perlu kugembirakan ketika tidak ada dirimu, dan aku hanya terus berdoa bahwa kita akan segera bertemu, ibu. Di hari yang fitri suatu saat nanti. Bersama-sama, kita kembali berkumpul dalam satu atap yang sama, dalam lingkaran meja yang sama, dan dalam tawa-gurau yang sama.
Aku sungguh berharap kita dapat merayakan kemenangan kita yang tertunda selama bertahun-tahun sampai saat ini, 2019. 20 tahun aku menunggu dan bersama adik manisku yang sudah seperti gadis yang siap dipinang oleh laki-laki yang akan menjaganya sampai mati. Laki-laki itulah yang akan menggantikanku. Karena, diriku juga tak sanggup mengelak waktu.
Aku akan semakin menua. Namun, aku akan tetap berupaya mengejarmu melalui kereta mimpi yang selalu lewat tepat pukul 12.00 malam. Aku bergegas melompat naik. Masuk dan kemudian aku melihat ada di seberang gerbong. Aku melambaikan tangan, dan kau memilih tersenyum kepadaku.Â
"Maafkan segala kesalahanku, ibu. Aku hanya ingin kembali menjadi bayimu."
Malang, 23 Mei 2019
Deddy Husein S.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H