Hardiknas. Peristiwa ini sangat memancing masyarakat untuk mengingat masa lalu yang sangat perlu adanya perbaikan di masa depan.
Jika suatu peristiwa diabadikan dengan cara diperingati, maka peristiwa itu akan menjelma menjadi sejarah. Namun, tidak semua sejarah yang diingat adalah peristiwa-peristiwa yang menarik untuk diperingati, ataupun sangat penting untuk diperingati. Berbeda dengan May day atau Labour day danHari buruh diperingati karena, untuk mengingat bahwa nasib buruh perlu diperhatikan---tidak hanya dipekerjakan. Seiring berjalannya waktu, tunjangan hidup untuk para buruh juga diperhatikan oleh masyarakat meskipun (sebenarnya) semakin membaik. Gaji juga sudah cukup bisa disebut sesuai dengan apa yang dapat mereka lakukan di dunia pekerjaan tersebut. Namun, bukan soal gaji yang kurang. Melainkan tingkat kebutuhan manusia yang sebenarnya semakin bertambah.
Standar kehidupan yang di sini akan menjadi pokok utama pembahasan.
Perlu kita cermati, bahwa kita tidak bisa serta-merta menilai bahwa pihak pemberi kerja (perusahaan ataupun instansi) adalah pihak yang salah---mengenai kesejahteraan buruh. Hanya karena, mereka dinilai tidak memberikan gaji yang cukup. Namun, secara faktual, kita perlu menganalisis bahwa pemberi kerja juga harus memikirkan kecukupan dalam operasional usaha mereka. Apakah bisa untung atau tidak.
Suatu hal yang sebenarnya sangat praktis. Kehidupan manusia selalu mencari untung dan menghindari rugi. Namun, yang menjadi pembeda adalah standar kebutuhannya. Standar kebutuhan pemberi kerja seharusnya berbeda dengan standar kebutuhan buruh. Sehingga, hal ini tidak bisa dianggap seratus persen bahwa buruh tidak sejahtera sedangkan orang 'borjuis' semakin leha-leha.
Namun, bukan berarti tulisan ini menganut paham fungsionalisme*. Melainkan ini hanyalah berkaitan tentang standar kebutuhan saja. Hal yang mendasar. Bukan tentang kepentingan.
Kita bisa mengibaratkan bahwa standar kebutuhan orang pedesaan berbeda dengan standar kebutuhan orang perkotaan. Begitu pula jika diibaratkan ke kehidupan kreatif di bidang penulisan. Orang yang baru belajar menulis puisi, standar kebutuhannya akan berbeda dengan orang yang sudah dikenal sebagai penulis puisi.
Apakah dari sini sudah bisa difahami alur berpikirnya?
Inilah yang kemudian bisa diimplementasikan ke kehidupan buruh. Mereka adalah para pekerja mulia yang selalu hadir di balik perwujudan kebutuhan masyarakat luas. Mereka juga yang ada di balik upaya mewujudkan standar kehidupan masyarakat luas. Tanpa adanya mereka, standar kehidupan kita akan seperti apa?
Bagaimana nasib orang kelas menengah-bawah yang ingin memiliki ponsel yang terjangkau harganya dengan fitur yang lumayan 'up to date', jika tidak ada buruh yang bekerja untuk menghasilkan ponsel yang demikian?
Dari sini, kita berangkat pada simpatisan masyarakat terhadap nasib buruh.
Benarkah hari buruh diperingati hanya dengan aksi turun ke jalan? Adakah hal-hal yang lebih menarik dan cukup efektif dalam berpartisipasi 'melindungi' buruh? Benarkah, bahwa aksi penuntutan kesejahteraan buruh hanya dialamatkan kepada pihak pemberi kerja?
Ambil contoh, kita melihat di sekeliling kita. Teman-teman kita, saudara, keluarga, atau bahkan diri kita masing-masing.
Apakah ponsel yang dimiliki tetap sama dalam kurun waktu yang lama?
Jawabannya akan sangat variatif.
Ada yang menjawab bahwa ponselnya sudah dipakai selama 5-10 tahun. Karena, memang ponselnya memiliki kualitas terhadap daya tahan pakai yang bagus.
Ada pula yang menjawab, ponselnya bisa berganti-ganti tiap dua tahun sekali, setahun sekali, bahkan tiap tiga bulan sekali. Bahkan, ada pula yang ganti tiap ponselnya didapati sedang tidak sesuai lagi dengan kebutuhannya. Faktornya banyak. Ada yang karena daya tahan ponsel tidak lagi kuat untuk dipakai dalam kurun waktu lama. Ada pula yang karena standar kebutuhannya berbeda.
Lagi-lagi standar kebutuhan bisa menentukan tindakan kita dan ini kemudian jika dimiliki secara masif di kalangan masyarakat luas, maka, apa yang terjadi?
Ini juga akan berdampak pada permintaan pasar, dan permintaan pasar inilah yang akan memacu kinerja industri yang merupakan salah satu dari pihak pemberi kerja untuk mengembangkan produknya. Permintaan pasar ini pula yang kemudian mengarah pada instruksi dan peningkatan performa terhadap para buruhnya. Ada penaikan standar kerja yang berdasarkan pada perubahan standar kebutuhan.
Jika diurutkan, maka yang dapat kita lihat adalah masyarakat memiliki perubahan standar kebutuhan, lalu terjadi perubahan pada permintaan pasar, kemudian dipenuhi dengan penyediaan kebutuhan dari produsen yang kemudian merangkap sebagai pemberi kerja, dan terakhir adalah perubahan nasib buruh berdasarkan tingkat kerja yang dibutuhkan---yang juga semakin berubah.
Jadi, benarkah bahwa yang selalu harus dituntut atau didemo adalah para pemberi kerja bagi buruh-buruh tersebut?
Atau jangan-jangan, kita sendiri yang seharusnya didemo oleh para simpatisan buruh tersebut.
Inilah yang kemudian menjadi pertanyaan yang membayang bagi penulis ketika mendengar dan membaca kabar-kabar heroik dari para simpatisan yang bersemangat melakukan long march ke jalan-jalan guna menunjukkan kepeduliannya terhadap nasib buruh, sekaligus memperingati hari buruh.
Di satu sisi, hal ini sungguh luar biasa. Namun, di sisi lainnya, kita perlu menggali kembali tentang esensi dari aksi yang kita lakukan dalam menyuarakan keadilan dan kesejahteraan. Jangan-jangan standar kehidupan di antara kita---di antara diri kita dengan teman kita---saja berbeda (ada yang tidak sejahtera).
Lalu, bagaimana dengan peringatan Hardiknas?Peringatan hardiknas adalah simbolisasi terhadap bukti kebangkitan pendidikan di Indonesia dari masa pra-kemerdekaan menuju kemerdekaan dan diharapkan dapat berlangsung semakin baik ketika negara Indonesia ini sudah berdiri semakin kokoh.
Namun, benarkah pendidikan Indonesia sudah bagus?
Jika dikatakan membaik, pendidikan Indonesia bisa disebut demikian. Namun, jika dikatakan tidak lebih baik, hal ini juga bisa disebut demikian. Apa contohnya?
Contohnya, adalah pendidikan di Indonesia kala itu (zaman penjajahan maupun pasca kemerdekaan), pendidikan kita cukup setara dengan pendidikan yang ada di negara lain. Khususnya dengan Belanda---adanya lembaga pendidikan yang didirikan oleh Belanda di Indonesia menjadi faktornya. Bahkan secara regulasi/sistem pendidikan, konon kabarnya, Indonesia adalah role model bagi negara ASEAN ketika pasca kemerdekaan.
Memang, satu hal yang mengganjal di pendidikan Indonesia kala itu adalah keterbatasan akses. Yaitu, tidak semua masyarakat dapat mengenyam pendidikan. Sehingga, pendidikan masih menjadi suatu hal yang elit kala itu. Namun, secara sistem, pendidikan kala itu cukup diakui standarnya oleh negara-negara tetangga.
Lalu, bagaimana dengan sekarang?
Pendidikan Indonesia berkembang bahkan bisa disebut cukup pesat. Namun, kembali lagi pada pokok pembahasan ini. Yaitu, standar kebutuhan.
Standar kebutuhan kita tidak hanya berupa ekonomi, namun juga menyasar pada pendidikan. Ada korelasi absolut antara pendidikan dengan pekerjaan yang kemudian menghasilkan standar ekonomi yang variatif. Walau, ada pula yang menyatakan bahwa ekonomi tinggi tidak serta-merta berasal dari standar pendidikan yang tinggi pula---begitu juga dengan sebaliknya. Namun, hal itu berlaku pada individu-individu tertentu yang memang mampu berupaya keras untuk mencapai standar ekonomi sedemikian rupa meski tidak ditunjang dengan standar pendidikan yang mumpuni.
Kita tidak berbicara tentang 'belajar', namun kita berbicara soal standar kebutuhan yang kemudian menuntut manusia untuk selalu bergerak. Masyarakat bergerak dan itulah yang akan merubah keadaan di kehidupan manusia secara luas. Seperti saat ini.
Begitu pula yang terjadi di pendidikan. Bahkan pendidikan tinggi tidak hanya karena keharusan namun juga menjadi kebutuhan yang mengikuti standar hidup masyarakat. Ketika masyarakat ingin berada di capaian yang maksimal dan mengetahui bahwa pendidikan adalah salah satu syarat penting di sana, maka, pendidikan juga akan didorong untuk berubah mengikuti standar kebutuhan.
Standar kebutuhan siapa?
Negara.
Negara tidak hanya mengupayakan masyarakatnya untuk sejahtera namun juga mendorong masyarakatnya untuk dapat bersaing dengan masyarakat internasional, dan itu cukup menjadi alasan penting ketika dunia intelektualitas dikembangkan yang membuat standar kebutuhan terhadap pendidikan juga meningkat.
Dari sini kemudian, menghadirkan dampak, baik positif maupun negatif. Penilaian ini akan bergantung pada siapa yang melihat dan dengan pemikiran yang seperti apa melihat perihal tersebut. Khususnya dalam menilai pendidikan Indonesia. Apakah sudah lebih baik, lebih buruk, atau cukup---setara dengan standar kebutuhan saat ini.
Momen peringatan hardiknas ini sebenarnya penting untuk menjadi pengingat bagi kita dalam menilai perkembangan pendidikan selama ini. Karena, tanpa adanya alarm seperti itu, kita seringkali abai dan menganggap bahwa yang bertanggungjawab terhadap pendidikan negara ini adalah (seratus persen) pemerintah. Padahal, siapa tahu jika perubahan pendidikan di masa kini juga terbentuk secara tidak langsung oleh pola hidup masyarakat yang dapat mempengaruhi pendidikan kita dari masa ke masa.
Sehingga, perlu bagi kita untuk memperingati hardiknas ini sebagai penalaran terhadap perkembangan pendidikan nasional, bukan semata-mata untuk mengupas keburukan maupun keidealan pendidikan di negeri tercinta ini. Karena, apapun yang terjadi di Indonesia, kitalah yang (sebenarnya) menjadi bagiannya.
Selamat Hari Buruh (1 Mei) dan Hari Pendidikan Nasional (2 Mei)!
Semoga Indonesia selalu melangkah ke arah yang lebih baik tanpa meninggalkan jejak kebaikan di masa lalu.
Malang, 2 Mei 2019
Deddy Husein S.
Tambahan:
*. Lampiran tentang teori fungsional ada di sini.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H