Di masa lalu, ketika buku sudah hadir ke dunia, listrik belum terpasok secara maksimal. Sehingga penglihatan manusia akan menurun seiring dengan keberadaan hobi membaca buku dan apalagi jika itu dilakukan di malam hari dan tanpa lampu atau penerangan yang cukup.
Jangankan di masa lalu, di masa kini yang listrik sudah nyaris menjangkau seluruh pelosok dunia saja, orang-orang masih bisa mengalami penurunan penglihatan ketika mereka juga memiliki hobi membaca buku dan apalagi jika mereka membaca buku di malam hari sebelum tidur.
Termasuk dengan posisi membaca buku yang kadangkala lebih menyenangkan jika dilakukan sambil berbaring/tiduran. Jarak mata yang semakin dekat dengan buku akan semakin membuat mata kita semakin tidak terbiasa untuk melihat dengan jarak jauh/ideal.
Untuk itulah, para orangtua biasanya memperingatkan anaknya untuk tidak membaca sambil tiduran apalagi dengan posisi telentang. Karena, seiring berjalannya menit membacanya, kekuatan tangan untuk menjadi penyangga buku akan berkurang---tangan lelah. Maka, tidak mengherankan jika kemudian jarak buku dengan mata semakin dekat.
Inilah salah satu dampak negatif yang dapat dialami oleh orang-orang yang gemar membaca buku. Secara fisik akan dapat dideteksi dengan keberadaan penampilan orang tersebut dengan mata berkacamata dan berlensa tebal. Secara kesehatan fisik, tentu ini adalah dampak negatif dan sebagai bayaran yang nyaris setimpal dengan 'kejernihan' pikiran dari orang tersebut yang kemudian dianggap sebagai orang pintar**.
Dampak keduanya adalah semacam stereotip atau pandangan negatif dari orang lain terhadap pembaca buku (akut). Yaitu, pembentukan karakter yang semakin eksklusif. Dewasa ini, tidak hanya penggemar game saja yang semakin tidak banyak bersosialisasi dengan lingkungan sekitarnya, namun juga pembaca buku.
Orang-orang yang terlewat banyak membaca buku dalam satu harinya di luar jam kegiatan utamanya, pasti akan memilih diam di rumah dibandingkan menghabiskan waktu di luar bercengkerama dengan tetangga sekitar. Kalaupun berinteraksi dengan orang lain, orang-orang ini akan mempersiapkan waktu yang khusus, yang memang tidak akan mengganggu waktu 'produktifnya'. Hal ini bisa menjadi sisi yang dilematis, namun juga bisa menjadi sisi negatif jika dilihat dari kacamata masyarakat umum.
Karena, masyarakat umum hanya akan berpikir bahwa selain bekerja, sekolah, ataupun berkuliah, kegiatan selanjutnya adalah berinteraksi dengan orang lain secara santai. Baik itu dengan bermain bersama (bagi anak-anak), ataupun juga 'ngopi bareng' bagi orang-orang dewasa.
Hal ini yang sedikit dihindari bagi orang-orang yang sudah terlanjur jatuh hati dengan buku. Orang-orang ini akan memprioritaskan waktunya untuk membaca buku. Bahkan, jika merujuk pada hobi membaca (bukan berpatok pada buku) saja, maka, orang-orang berlabel kutu buku ini akan memilih membuka gadget-nya dan membaca buku digital/e-book.
Melihat hal semacam ini (entah terakui atau tidak bagi para kutu buku), tentu bisa disadari juga, jika membaca buku juga perlu adanya manajemen terhadap ruang dan waktu. Artinya, perlu ada kesadaran dan keikhlasan bahwa terkadang tidak setiap hari pula para penikmat buku bisa menyelami 'samudera dunia' melalui buku. Perlu mengetahui kapan waktu yang tepat untuk membaca buku dan alasan yang tepat untuk 'menyingkir' sejenak dari keramaian.
Karena, bagi pembaca buku, membaca buku bisa menjadi hal yang lebih mengasyikkan dibandingkan 'ngobrol ngalor-ngidul nggak jelas'. Namun, tetap perlu diingat, bahwa membaca buku juga bisa menjadi bumerang negatif, jika kita tidak bisa mengontrol kebiasaan itu ke cara hidup yang dinilai ideal bagi masyarakat. Toh, manusia adalah makhluk individual yang terikat oleh sistem sosial. Seperti yang dinyatakan Emile Durkheim***.