Mungkin kita lebih familiar dengan kualitas bertahan spartan Koscielny di lini belakang Arsenal dalam kurun waktu 3-5 musim ini. Namun, bagaimana jika kita mundur lebih jauh lagi? Tepatnya di masa-masa muda Koscielny dan saat baru pertama kali berseragam merah Arsenal?
Blunder dan kalah duel seringkali juga dialami oleh Laurent Koscielny saat itu. Termasuk mengontrol emosi. Maklum, bermain di Liga Inggris cukup berat dalam hal mengelola emosi. Keputusan wasit yang kadangkala dianggap kontroversi dan keberadaan pancingan provokasi dari lawan dapat menjadi batu sandungan bagi semua pemain, apalagi bagi pemain bertahan---termasuk Koscielny.
Namun, Koscielny sepertinya tidak mau berlama-lama berada di 'zona gelap' tersebut. Dia ingin tetap berada di skuad utama dan itu artinya harus segera memperbaiki performanya. Hal inilah yang kemudian membuat sang pelatih (Arsene Wenger) selalu mempercayakan posisi bek tengah tetap pada pemain yang direkrut Arsenal di bursa transfer musim panas 2010.
Meski Arsenal memiliki Squillaci, Djohan Djourou, Thomas Vermaelen, Per Mertesacker, Gabriel Paulista hingga kini ada Skhodran Mustafi, Rob Holding, dan Sokratis Papasthopoulos, Koscielny tetap menjadi pilihan utama di lini belakang. Apalagi di musim ini, pasca kembali pulih dari cedera, Unai Emery (pelatih Arsenal saat ini) kembali memercayakan satu slot di bek sentral pada sang kapten.
Kembalinya Laurent Koscielny jelas menjadi kabar baik bagi Arsenal dan para pendukung. Karena, kekuatan lini belakang Arsenal tidak lagi mengkhawatirkan pasca Rob Holding cedera dan Mustafi tidak kunjung kembali pada performa terbaiknya. Maka, tidak mengherankan jika si pemilik nomor 6 ini begitu disanjung ketika rekan sesama beknya terkadang mendapat kritikan tajam dari suporter, pengamat, maupun fans netral.
Namun, bagaimana Koscielny yang dulu?
Seperti yang sudah sempat diungkap di awal, bahwa performa Koscielny juga tidak begitu baik di awal musim bersama The Gunners. Pelanggaran dan permainannya yang terlewat lugas, kadangkala menjadi blunder bagi pertahanan Arsenal yang harus menghadapi banyak ujian melalui situasi tendangan bebas ketika Koscielny sering membuat pelanggaran. Situasi adaptasi yang sebenarnya cukup normal. Karena, beberapa bek yang baru datang di Premier League biasanya juga mengalami hal serupa.
Faktor semangat yang tinggi dan masih muda serta belum mengetahui bagaimana 'pola kerja' wasit di Inggris, maka, masa adaptasi Koscielny sedikit dapat dikatakan rumit. Terkadang, fans mengelu-elukan namanya, namun ada pula masanya dia mendapatkan kritikan pedas. Salah satunya adalah gol bunuh diri. Sebagai bek tengah yang harus mengawal jantung pertahanan tim, memang cukup sulit juga untuk menghindari situasi ini. Reflek untuk menghalau bola, justru terkadang dapat mengarah ke gawang tim sendiri.
Dari beberapa kejadian nahas itu, Koscielny tentu tidak bisa melupakan begitu saja momen dirinya membobol gawang sendiri saat menghadapi Blackburn Rovers pada musim 2011. Pada momen itulah, terlihat sekali mental Koscielny jatuh. Namun, Arsene Wenger memiliki penilaian yang berbeda daripada fans terhadap apa yang menimpa Koscielny saat itu. Yaitu, kesempatan.
Koscielny perlu mendapatkan kesempatan. Kesempatan untuk menebus kesalahan-kesalahan manusiawinya sebagai pemain bertahan untuk dapat bermain baik dan tangguh. Selain itu, situasi Arsenal yang belum mampu jor-joran belanja pemain juga membuat kesempatan Koscielny untuk mengembangkan kemampuan bertahannya semakin terbuka dan itulah yang kini dapat kita lihat. Bahwa Koscielny menjelma menjadi bek tangguh, cepat, dan mampu memimpin barisan pertahanan timnya.
Sebuah paket yang nyaris komplit tanpa melihat keistimewaan lain yang ada pada pemain yang gagal ikut tampil di Piala Dunia 2018 kemarin. Yaitu, mahir mencetak gol. Sebenarnya bukan hal yang langka melihat pemain bertahan mampu mencetak gol, apalagi dalam situasi bola mati (tendangan bebas dan tendangan pojok). Koscielny bahkan sudah mampu mencetak lebih dari 20 gol untuk Arsenal sampai saat ini (dalam 9 musim).
Inilah yang membuat Arsenal tetap percaya kepada kapasitas Koscielny termasuk mengharapkan permainan dan kepemimpinannya masih tetap maksimal sampai masa akhir karirnya---mungkin pensiun di Arsenal.
Dalam hitungan karirnya di Arsenal yang nyaris akan menyentuh satu dekade bersama satu klub dan sampai saat ini (musim 2018/19) masih menjadi langganan starting line-up, tentunya bukan suatu hal yang berlebihan jika menyebut Laurent Koscielny sebagai salah satu pemain legenda milik Tim Meriam London.
Perjalanan inilah yang sebenarnya harus diterapkan juga oleh pemain lainnya. Khususnya di Arsenal. Bahwa, menjadi pemain idola tidak serta-merta selalu berada di top performance. Terkadang situasi yang buruk juga dapat mengajarkan pada si pemain untuk mampu bangkit dan menunjukkan kemampuannya dapat lebih baik dari sebelumnya.
Hal ini juga berlaku bagi sesama pemain bek di Arsenal. Seperti Skhodran Mustafi, Hector Bellerin, sampai Sead Kolasinac pun harus bisa menjadikan kritikan untuk menjadi pacuan semangat menuju pengembangan permainan yang maksimal. Bellerin yang awalnya sangat bagus dan kemudian sempat turun performanya di dua musim terakhir, kini mulai kembali naik (performanya) meski nahasnya harus mengalami cedera panjang.
Begitu pula dengan Kolasinac. Pemain yang berperawakan besar seperti Hulk---pesepakbola asal Brazil---itu juga tidak jarang mendapatkan kritikan. Salah satunya adalah kekurangcakapan dalam mengawal pertahanan. Namun, sisi terbaiknya adalah mampu membantu serangan tim. Artinya, Kolasinac berada di performa yang 50-50. Antara bagus di menyerang, namun kurang bagus saat bertahan. Melihat situasi seperti inilah, maka perlu adanya back-up dari pemain lainnya, termasuk pengamatan jeli dari pelatih untuk membuat taktik yang tidak begitu mengeksploitasi kekurangan Kolasinac.
Satu pemain lainnya yang sedang hangat dibicarakan saat ini adalah Skhodran Mustafi. Bek asal Jerman ini dinilai kembali tampil buruk setelah sempat tampil baik bersama Rob Holding di awal musim (2018/19). Namun, ketika diduetkan dengan Sokratis maupun Koscielny, terlihat bahwa performanya kurang 'menggigit'.
Kalah duel 1-on-1, dan kalah adu sprint, seperti di laga melawan Crystal Palace (21/4), membuat publik Arsenal kecewa dan mengkritik performa Mustafi yang buruk. Dua gol dari tiga gol yang diciptakan Palace berawal dari ketidakcakapan Mustafi dalam mengantisipasi laju bola dan juga berduel dengan pemain lawan.
Situasi ini sebenarnya bukanlah hal yang asing, jika kita mengamati pertandingan lainnya yang menempatkan Mustafi sebagai pemain bertahan tim Merah London Utara itu. Inilah yang kemudian membuat dilematis. Apakah ini hanya bagian dari fase buruk pemain, atau memang seperti itulah kelemahan Mustafi.Â
Jika pernyataan kedua sebagai penggambaran yang tepat pada Mustafi, maka, sudah seharusnya Emery berpikir matang untuk mulai menyisihkan Mustafi. Atau, jika ingin memberikan kesempatan bermain pada salah satu bagian dari skuad juara timnas Jerman di Piala Dunia 2014 itu, maka, bukan menjadikan Mustafi sebagai bek tengah. Melainkan menjadi bek sayap (full back/wing back).
Toh, sebenarnya Mustafi bukanlah pemain bek tengah. Di timnas Jerman dan di salah satu klub Jerman, Mustafi juga menjadi bek sayap. Hanya di Valencia yang menempatkan Mustafi sebagai bek tengah dan mungkin saat itu, Mustafi sedang berada di top level. Sehingga, mampu tampil bagus dan memikat Arsene Wenger kala itu.
Artinya, masa depan Mustafi bersama Arsenal sangat bergantung pada pembelajaran si pemain dan juga analisis dari tim pelatih. Jika dua hal itu berjalan lancar, tidak menutup kemungkinan bahwa Mustafi bisa menjadi 'The Next Koscielny', sebagai pemain yang mampu bangkit dari keterpurukan dan kemudian menjadi pemain andalan timnya; ARSENAL.
Adakah Koscielny lainnya?
Malang, 22 April 2019
Deddy Husein S.
Tambahan:
Jika ingin mengenal Laurent Koscielny, klik di sini.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H