Mungkin sudah biasa melihat buku-buku yang bertebaran di rak perpustakaan maupun di toko buku adalah hasil dari tulisan penulis laki-laki. Namun, di antara itu, pasti dapat ditemukan pula tulisan dari penulis perempuan. Memang jika dibandingkan jumlahnya, tidak sebanyak buku-buku dari penulisan para Arjuna aksara. Namun, sebenarnya para Srikandi aksara juga tetap berupaya untuk tetap menulis.
Itulah yang harus dilakukan oleh orang-orang yang ingin menulis.
Harus tetap menulis.
Suatu hal yang terkadang tidak bisa dipertahankan secara terus-menerus. Karena menulis juga butuh ketelatenan. Bukan sebuah keajaiban*. Bahkan, menulis juga sangat membutuhkan proses. Proses dari yang paling sederhana sampai proses yang mulai memusingkan. Namun, itu semua untuk upaya menjadi penulis.
Penulis yang sebenarnya adalah orang tidak akan pernah berhenti untuk menulis. Dari bentuk yang paling remeh-temeh sampai ke hal-hal yang kompleks---membutuhkan penuangan pemikiran yang mendalam. Bahkan, ketika sudah mulai giat menulis, hadangan menjadi penulis adalah selalu memiliki ide. Ide bisa berupa apa saja, muncul kapan saja dan di mana saja. Namun, seiring berjalannya waktu, ide juga akan semakin usang. Untuk itulah perlu adanya kemampuan mengelola ide.
Sebenarnya, ide yang usang terkadang juga bisa diangkat, ketika ide itu dapat dikelola dengan tulisan yang menarik. Namun, itulah sisi kesulitannya dalam hal menulis. Membuat tulisan menjadi menarik (untuk dibaca).
Dewasa ini, tuntutan untuk menulis juga selalu hadir kepada orang-orang yang sudah dikenal getol menulis. Ataupun kepada orang-orang yang ingin menulis. Namun, yang menjadi pertanyaan di artikel ini adalah kenapa penulis laki-laki lebih banyak daripada penulis perempuan?
Tanpa memedulikan bentuk karya tulisnya, namun bisa dikatakan bahwa penulis laki-laki selalu ada dan bahkan memiliki regenerasi yang bagus dibandingkan perempuan. Satu hal yang menjadikan jumlah penulis perempuan tidak terlihat banyak adalah kualitas tulisan dan jenis tulisan. Selain itu, ada faktor lainnya, yaitu rentang aktivitas menulisnya yang tidak panjang.
---
Kita mulai langsung dari faktor kualitas tulisan.
Ada stereotip terhadap kualitas tulisan perempuan yang dinilai terlalu mendayu-dayu dan cenderung banyak mengungkap tentang perasaan. Sehingga karya tulis perempuan cenderung eksklusif. Yaitu, hanya menjadi bacaan bagi sesama perempuan. Sehingga cakupan tulisan dari penulis perempuan terkadang tidak mampu menjangkau secara global (luas) dan general (umum).
Berbeda dengan tulisan laki-laki yang lebih variatif. Mereka berani menyajikan tulisan 'cengeng' maupun tulisan 'macho'. Selain itu, laki-laki tidak segan untuk melakukan riset terhadap suatu objek untuk menjadi bahan tulisannya. Hal ini bisa terjadi karena, laki-laki seringkali menjadikan kegiatan tulis-menulis sebagai bagian dari karirnya. Walaupun ada yang menempatkan karya tulis sebagai bagian dari kegemarannya saja, namun kegemaran itu digarap dengan profesionalitas yang tinggi. Dari sini kita dapat menemukan letak perbedaan antara penulis perempuan dan laki-laki.
Yaitu, laki-laki mampu menjangkau globalitas dan generalitas (eksternal), sedangkan perempuan menjadikan dunia tulis-menulis untuk menjangkau sisi dalam dari kehidupan (internal).
Hal ini tidak mengherankan, karena laki-laki seringkali dicap sebagai makhluk rasional (logika berpikir). Sedangkan perempuan adalah makhluk emosional (pengungkapan perasaan). Dari perbedaan seperti itu, kita bisa cukup memaklumi bahwa karya tulis dari penulis laki-laki lebih banyak (jumlah dan variasinya) dan mudah ditemukan daripada karya tulis dari penulis perempuan---walau tidak sulit juga untuk ditemukan.