Mohon tunggu...
Deddy Husein Suryanto
Deddy Husein Suryanto Mohon Tunggu... Penulis - Content Writer

Penyuka Sepak Bola. Segala tulisan selalu tak luput dari kesalahan. Jika mencari tempe, silakan kunjungi: https://deddyhuseins15.blogspot.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Bagian 1 | Audrey dan Perundungan yang Tetap Hidup di Bumi

12 April 2019   14:35 Diperbarui: 12 April 2019   14:43 65
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Pembelaan massal untuk Audrey. (Suara.com)

Seperti yang sering penulis sebutkan di artikel maupun di pembicaraan bebas, bahwa, manusia itu bernaluri untuk bersaing. Faktor utamanya adalah tidak adanya kepuasan dalam menyukupi keinginan. Karena, seiring berjalannya waktu, keinginan akan menjadi kebutuhan, dan kebutuhan menjadi kebiasaan. Kebiasaan itu yang kemudian bisa menjadi budaya.

Namun, di sini penulis tidak menyebutkan tentang perundungan adalah budaya, ataupun korupsi adalah budaya. Melainkan kebiasaan yang kemudian ditiru secara masif. Karena, budaya itu seharusnya sesuatu yang dapat dilakukan berdasarkan nilai positifnya, bukan negatifnya. Tetapi, kebudayaan negatif itu sebenarnya ada, hanya kemudian diseret ke ranah perspektif. Maksudnya adalah atas sudut pandang, apa, siapa, dan mana, kebudayaan itu dinilai negatif?

Begitu pula dengan perundungan. Perundungan bisa menjadi biasa saja, jika hal ini terjadi karena ada pemicunya. Artinya, tidak akan ada asap, jika tidak ada api. Entah apinya kecil, maupun besar. Begitu pula di dalam kasus Audrey yang menjadi korban perundungan dan penyiksaan/pelecehan. Bisa jadi, ada penyebab yang terjadi dan melibatkan Audrey, sehingga membuat Audrey menjadi sasaran amuk para gadis penuh semangat (baca: gairah) itu. Hehehe...

Berbicara soal perundungan, kasus Audrey bukanlah yang pertama, bahkan bisa jadi akan ada kasus-kasus lainnya yang serupa. Kenapa?
Karena, manusia itu penuh persaingan. Titik.

Itulah yang menjadi pokok dari segala hal permasalahan yang terjadi saat ini. Tidak hanya di Indonesia, namun juga di semua negara dan segala penjuru dunia.

Perundungan hanya salah satu dari bentuk-bentuk lainnya dalam upaya manusia saling mengalahkan/menyingkirkan. Lalu, apakah itu kemudian dapat dihilangkan? Tidak.

Dicegahpun sulit. Karena, keinginan setiap orang untuk melebihi kualitas orang lain itu pasti ada. Bahkan, keinginan untuk melebihi kualitas diri sendiri di tahun kemarin, dua tahun kemarin, bahkan 10 tahun yang lalu pun ada. Jadi, apakah perundungan akan bisa ditumpas seperti misi KPK menumpas korupsi di Indonesia?

Sebenarnya, perundungan yang terjadi pada Audrey itu bisa disebut suatu hal kelumrahan, walau itu tidak manusiawi. Karena, perundungan itu selalu dilakukan oleh manusia. Jadi, apakah manusia itu sudah tidak manusiawi?

Satu hal yang paling menarik di kasus Audrey ini adalah bagaimana respon masyarakat Indonesia terhadap Audrey. Publik terlihat sangat peduli dan diwujudkan dengan pembuatan dan penandatanganan petisi. Pentingkah? Cukup penting. Karena, dengan keberadaan petisi, artinya ada sentilan kepada badan hukum untuk berupaya tegas tanpa pandang bulu dalam menghukum yang memang terbukti bersalah, dan itu harus. Wajib.

Selain itu, keberadaan petisi dan begitu pedulinya masyarakat Indonesia terhadap Audrey bisa memberikan tekanan kepada pelaku dan orang lain yang mungkin juga memiliki kebiasaan merundung temannya di sekolah, kampus, maupun di lingkungan kerja. Bahkan, di lingkungan masyarakat RT-RW pun hal ini bisa terjadi. Namun, kebetulan kasus Audrey ini dapat diviralkan. Sehingga, sangat menyedot perhatian masyarakat. Akan tetapi, jika ditarik ke realitas sosial, apakah hanya Audrey yang mengalaminya dan perlu dibela?

Banyak!
Banyak anak dan orang dewasa yang bahkan sampai detik ini mungkin masih mengalami hal itu---menjadi korban perundungan dan pelecehan. Jadi, perundungan tetaplah harus ditindak tegas. Kapanpun, di manapun, dan siapapun. Karena, jika sudah merangsek ke ranah pelecehan dan perlakuan yang dapat merugikan seseorang secara fisik dan mental, itu sudah merupakan tindakan kekerasan atau kriminalitas. Sehingga, hukum harus ditegakkan.

Namun, satu hal yang patut dicermati di kasus ini adalah jangan sampai menjadikan peristiwa Audrey ini sebagai kebiasaan masyarakat Indonesia untuk menyelesaikan suatu kasus. Biasakanlah untuk menyelesaikan kasus dengan cara yang manusiawi-hukum. Artinya, cukup diselesaikan oleh orang-orang yang bersangkutan saja dan secara hukum. Bukan oleh semua orang, apalagi jika hanya melalui partisipasi online. Karena, ketika nanti bertemu dengan si pelaku perundungan, kita juga tidak akan melakukan apa-apa. Toh, negara kita adalah negara hukum. Maka, mari kita percayakan pada hukum untuk menindaknya secara tegas. Jika memang tidak tegas, baru perlu 'diserang'. Hehehe...

Selain itu, viralnya kasus Audrey ini bisa menjadi dua mata pisau. Satu pisau digunakan untuk melumpuhkan pelaku, satu pisau untuk merobek pakaian kita sendiri. Artinya, kita bisa membuat efek jera kepada pelaku perundungan dan pelecehan, tapi bisa juga untuk mempermalukan diri kita di dunia internasional. Bahwa, kasus yang viral ternyata hanya berurusan tentang hubungan percintaan. Padahal, sebenarnya masih banyak kasus penting lainnya yang seharusnya menjadi perhatian kita. Bukan seperti kasus pengeroyokan yang hanya bermotif perebutan pacar.

"Hari gini, masih rebutan pacar? Dan hari gini pula, ingin menjadikan negeri Indonesia berkhilafah, sedangkan pacaran saja masih rebutan. Hehehe..."

Inilah yang seharusnya kita perhatikan bersama. Kedewasaan dalam menentukan pilihan terhadap upaya peduli. Memang, kasus Audrey perlu kita pedulikan. Namun, bukankah sebelum Audrey, kita juga sudah familiar dengan kasus perundungan? Bahkan, juga ada kasus pembunuhan atas dasar cinta. Ada pula kasus bunuh diri karena perundungan. Bahkan bunuh diri juga bisa disebabkan karena putus cinta.

Jadi, jika ingin mengharapkan kehidupan kita tanpa ada masalah. Sulit! Apalagi perundungan.

Selama manusia masih berhasrat untuk mencari tantangan, menggali kehebatan, saling mengekspos kehebatan (seperti sekarang dengan adanya media sosial), dan kebiasaan membanding-bandingkan kualitas anak maupun diri sendiri. Maka, segala kasus pasti akan muncul ke permukaan, dan Indonesia akan semakin penuh dengan petisi-petisi dan demonstrasi online. Sedangkan kasus hukum pada akhirnya menjadi kian melemah. Hal ini bisa terjadi karena, kekuatan sanksi sosial ternyata masih lebih besar daripada sanksi penjara (apalagi denda). Lalu, buat apa ada hukum?

#stopperundungan
#stopviralviralan
#tegakkanhukumsebelumdiviralkan

Malang, 12 April 2019
Deddy Husein S.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun