Mohon tunggu...
Deddy Husein Suryanto
Deddy Husein Suryanto Mohon Tunggu... Penulis - Content Writer

Penyuka Sepak Bola. Segala tulisan selalu tak luput dari kesalahan. Jika mencari tempe, silakan kunjungi: https://deddyhuseins15.blogspot.com

Selanjutnya

Tutup

Hobby Pilihan

Menjaga Semangat Menulis Artikel Olahraga di Masa Pilpres 2019

11 April 2019   10:50 Diperbarui: 11 April 2019   11:04 37
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi menulis. (Harian.analisadaily.com)

Siapa yang tidak membaca artikel/berita seputar politik dan kabar terbaru tentang kepemerintahan Indonesia? Pasti nyaris semua orang membacanya. Minimal membaca judul ataupun sekilas beritanya yang dapat dilihat secara cepat tanpa kehilangan banyak waktu. Itu kalau bagi yang kurang suka membaca info tentang politik atau pemerintahan. 

Namun, bagi yang menyukai tulisan-tulisan tentang politik ataupun pemerintahan, akan sangat bergembira ketika matanya dapat menemukan banyak sekali artikel yang mengulas tentang situasi terbaru tentang jagad politik dan pemerintahan dalam negeri.

Lalu, bagaimana dengan pembaca yang kurang menyukai artikel politik?
Bagaimana pula bagi penulis yang kurang cakap dalam menulis artikel politik?

Nasib keduanya sama, karena, baik itu penulis atau pembaca sama-sama memiliki kesamaan selera. Selain itu, peran penulis juga sama seperti pembaca. Penulis artikel/berita juga merupakan pembaca artikel/berita. Begitu pula jika mereka adalah pembaca, walau belum tentu para pembaca tersebut juga merupakan penulis. Biasanya, mereka lebih konsen pada hobi membaca saja, untuk memperkaya pengetahuan, bukan untuk mencoba menulis. Kalaupun ingin menulis, biasanya, mereka tidak akan menulis sesuai bidang yang ia baca.

Misalnya, pembaca berita politik, adalah guru PKn yang di sisi lain memiliki hobi menulis puisi roman bercerita tentang politisasi cinta. Sehingga, hobi membacanya lebih ke arah memenuhi kebutuhan untuk mencari ide. Untuk itulah si guru itu memilih menyukai membaca berita, walau dirinya adalah penulis puisi. Ini hanya contoh sederhananya saja. Jika ternyata membingungkan, mohon dimaklumi saja.

Sebenarnya, sudah dapat dimaklumi, jika berita ataupun artikel yang bersliweran di media sosial maupun koran-koran online dewasa ini seringkali berpatokan pada yang sedang gencar-gencarnya dibahas. Biasanya, isi-isi berita/artikel itu mengikuti peristiwa yang sedang terjadi dan mempengaruhi situasi secara umum, baik skala daerah, negara, maupun internasional.

Namun, pengaruh yang lebih besar adalah ketika peristiwa tersebut mencakup ranah nasional. Artinya, situasi tersebut telah berhasil 'menyelimuti kasur' di negara tersebut. Hal seperti ini wajar, dan pasti terjadi di setiap negara, termasuk Indonesia. Ketika Indonesia sedang menggelar event olahraga, maka, setiap hari semua media online akan mengeluarkan segala bentuk tulisan yang menggambarkan aspirasi penduduk Indonesia tentang event tersebut. 

Begitu pula ketika, Indonesia sedang menggelar event demokrasi dengan pengadaan pemilu, maka, publik akan membicarakan semua calon yang ada di proses pemilu tersebut. Sama halnya dengan saat ini, tahun 2019 adalah tahun 'pesta demokrasi' dengan pengadaan Pilpres dan pemilu serentak dengan pencoblosan kepala negara dan anggota badan legislatif negara.

Maka, tak mengherankan jika setiap hari kita dihadapkan pada artikel-artikel yang berseliweran dan membahas tentang paslon capres-cawapres dan caleg-caleg di setiap daerahnya.

Melihat situasi semacam ini, tidak menutup kemungkinan bagi siapa saja untuk berlomba-lomba---walau tidak merasa ikut lomba---menulis segala macam bentuk tulisan yang membahas tentang situasi politik dan pemerintahan saat ini. Bagi yang pro dengan Jokowi-Ma'ruf, mereka akan menulis segala sesuatu tentang paslon nomor 1 itu. Begitu pula jika, mereka yang pro terhadap Prabowo-Sandi, maka setiap saat akan muncul tulisan-tulisan yang dapat menunjukkan eksistensi paslon nomor 2 ini.

Tentu saja hal ini menarik perhatian para pembaca (maupun penulis). Karena, bagi siapapun yang sebelumnya berkata, "Saya tidak suka politik!" pada akhirnya akan membaca juga. Apalagi, bagi mereka yang sudah memiliki hak suara/hak pilih, pasti mau tidak mau, perlu membaca artikel/berita yang menggambarkan kedua paslon tersebut. 

Hal ini perlu dilakukan supaya, nanti ketika mau nyoblos tidak sampai dicoblos dua-duanya, hanya karena tidak berhasil memutuskan untuk memilih siapa. Memang hal ini tidak mungkin dilakukan---jika waras, tapi, zamannya sekarang sudah 'unik'. Jadi, siapa tahu ada yang ingin melakukan hal-hal yang nyeleneh supaya viral. Termasuk nyoblos dua paslon. Hehehe...

Melihat kenyataan yang seperti ini pada akhirnya juga akan membuat para penulis tergoda untuk menulis pula sesuatu yang menyangkut-paut tentang pilpres, politik, pemerintahan, dan khususnya rekam jejak dua paslon capres-cawapres di 2019 ini. Namun, bagaimana jika kualitas menulisnya tidak bagus? 

Bagaimana jika tulisannya tidak benar dan baik? Jika secara kualitas menulis di artikel maupun berita masih belepotan, bukankah lebih baik menulis di kolom media sosial saja? Karena, toh sama-sama dapat menunjukkan bukti kepeduliannya terhadap situasi terkini di negeri tercintanya.

Dilematis terhadap 'trending topic' yang melanda setiap media online ini pada akhirnya juga membuat para penulis artikel/berita mulai kewalahan. Mereka yang sudah terlanjur memiliki bidang tersendiri dalam berkarya akan berusaha keras untuk tetap dapat menarik minat pembaca walaupun bidang yang ditawarkan berbeda dari yang sedang 'hits'. Termasuk berusaha mengkolaborasikan konten yang sedang terkenal dengan konten bidangnya yang mungkin sedang tenggelam/sedang kurang diperhatikan.

Dilematis di sini akhirnya bukan lagi berbicara soal selera pembaca, namun, sudah melangkah ke selera masyarakat secara luas. Artinya, banyak penulis, khususnya penulis artikel yang akhirnya harus seperti penjual buah musiman. Mengapa demikian?

Karena, yang dijual bukan lagi buah yang paling menyehatkan tubuh, melainkan buah yang sedang musim panen. Misalnya, buah yang paling menyehatkan adalah pisang dan jeruk. 

Namun, ketika durian dan rambutan sedang musim panen, maka, yang dijual adalah durian dan rambutan, bukan pisang dan jeruk. Kenapa? Karena, permintaan konsumen di pasar adalah durian dan rambutan, bukan lagi pisang dan jeruk.

Sama halnya dengan artikel di media online saat ini, yang rata-rata setiap hari, bahkan setiap jamnya akan muncul judul "Jokowi blablabla", "Prabowo blablabla", "PSI blablabla", "Hoax di paslon blablabla", dan lain-lain yang rerata dominan mengedepankan isu-isu pilpres. Memang, hal ini wajar dan sangat wajar terjadi. Namun, alangkah baiknya, jika artikel yang membahas tentang pilpres itu diisi dengan tulisan-tulisan yang tidak hanya condong ke satu pihak, namun, dapat memberikan pengakuan ke dua pihak dengan porsi yang sewajar-wajarnya, alias sesuai fakta ataupun yang sudah dapat dilihat oleh masyarakat.

Mengapa demikian? Karena, jika menuliskan tentang aspirasi saja, bukankah di media sosial seperti Facebook, Twitter, dan Instagram dapat memfasilitasi kebutuhan tersebut? Inilah yang kemudian membuat penulis artikel lain kian kesulitan memperoleh minat dari pembaca, khususnya artikel tentang olahraga.

Ambil contoh saja, artikel yang menulis tentang Piala Asia yang tuntas awal bulan Februari, apakah peristiwa tersebut tersorot dengan baik? Apakah banyak yang menulis artikel tentang Piala Asia? Mungkin ada beberapa, namun, tidak semasif Piala AFF akhir tahun lalu, yang uniknya juga terkesan cepat 'mati', seiring dengan kegagalan timnas Indonesia lolos dari penyisihan grup.

Artinya, minat penulisan di forum-forum online dewasa ini mulai diisi oleh orang-orang yang tidak sepenuhnya mendedikasikan dirinya untuk menulis sesuatu yang spesifik, namun, lebih ke perlombaan dalam menyampaikan pendapatnya tentang suatu peristiwa yang sedang hangat dalam menyita publik. Bagus, namun, ada yang kurang.

Apalagi jika kemudian upaya menulis itu juga untuk mengejar profit. Mengejar materi. Maka, akan semakin konyol ketika sebuah artikel/berita menjadi patokan berdialektika di kemudian hari. Karena, seiring berjalannya waktu, artikel/berita itu akan hanya seperti pengganti kebiasaan menulis di kolom media sosial yang mungkin terbatas 'kuotanya', sehingga memilih beralih ke media blog publik yang dapat menampung tulisan panjang, dapat menjangkau semua orang, dan ada 'bonusnya' pula.

Jadi, inilah yang terjadi saat ini. Lalu, apakah ini buruk?
Tidak juga. Di satu sisi, ini adalah tantangan bagi orang-orang yang 100% mendedikasikan hidupnya untuk menulis dan mengembangkan kualitas tulisannya dengan mencoba tak hanya bertahan namun juga ikut arus. Artinya, orang-orang yang memang ingin menjadi penulis berkualitas mumpuni, tidak akan hanya berdiam di zona nyaman. Namun juga mencoba keluar dari zona nyaman. Di situ ada upaya untuk menantang 'dunia'. Kira-kira, apakah 'yang lain' bisa trending dengan tulisan carut-marut itu bisa ditandingi dengan tulisan 'berelektabilitas' tinggi?

Di sisi lainnya, ini adalah seleksi alam. Sama seperti fenomena-fenomena 'kembang api'. Hanya ramai sekejap saja, dan akan perlahan padam, lalu tenggelam lagi ke dasar. Untuk itulah, bukan suatu hal yang benar-benar buruk bagi penulis yang terlanjur jatuh cinta dengan suatu hal dan kemudian diterpa segala hal yang lebih menarik. 

Toh, di 'dunia lainnya', hal seperti ini juga terjadi. Jika tidak demikian, tidak mungkin muncul pepatah, "rumput tetangga lebih subur" atau "semut di seberang pulau tampak, gajah di pelupuk mata tak tampak". Jika diartikan secara bebas, manusia pada hakikatnya terus haus untuk bersaing. Saling berupaya menjadi yang terbaik, dan itu juga berlaku bagi penulis.

Memang, tidak dipungkiri bahwa tujuan utama penulis adalah tulisannya dapat dibaca orang lain---tak perlu banyak. Namun, pada akhirnya target itu akan terus meningkat---jumlah yang membaca. Seiring juga dengan itu, kualitas juga akan meningkat. Sampai pada tataran tertentu, penulis akhirnya dihadang dengan sebuah rintangan yang selalu terjadi. Yaitu, menghadapi fenomena ataupun peristiwa yang terus datang silih berganti.

Lalu, bisakah kita terus menulis sesuai bidang?
Bisakah penulis olahraga tetap 'hidup' di kala pemilu semakin hangat dan dekat (baca: PANAS)?

Malang, 11 April 2019
Deddy Husein S.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hobby Selengkapnya
Lihat Hobby Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun