Sepakbola Jatim.
Itulah yang sekilas terpikirkan ketika kedua tim bertemu di partai puncak Piala Presiden 2019. Keduanya hadir di final dengan beberapa kesamaan dan perbedaan. Namun, sebelum mengarah ke sana, kita bisa sedikit bernostalgia dengan perkembangan sepakbola Indonesia khususnya di wilayah Jawa Timur (Jatim).
Ketika ditarik mundur ke belakang, kita bisa melihat kekuatan sepakbola Jawa Timur sangat kompetitif saat itu. Mereka hadir di sepakbola nasional dengan komposisi yang ideal.Â
Animo masyarakat besar, kekuatan finasial cukup (saat itu masih ada dana dari APBD), skuad pemainnya kelas atas, dan pelatihnya berkualitas.Â
Mari kita sebut tim-tim Jatim yang berlaga di tahun 2000-an sampai 2010-an; Persebaya Surabaya, Persik Kediri, Arema FC (dulu Arema Malang/Arema Indonesia/Arema Cronus), Persegres Gresik (sekarang Gresik United), Deltras Sidoarjo, dan bahkan kita bisa mengenal tim-tim kuat yang berlaga di divisi kedua; seperti Persekabpas Pasuruan, PSBI dan PSBK Blitar, dan klub-klub lainnya.
Di level tertinggi, kita sangat akrab dengan dua kekuatan besar dari Jatim, yaitu Persebaya dan Arema FC. Namun, sebelumnya, kita bisa melihat Persik Kediri yang juga memiliki taji saat itu. Bersama duo Uruguay, Cristian Gonzales dan Ronald Fagundes, Persik selalu menjadi klub jagoan untuk memenangkan laga dan turnamen.Â
Namun, berhubung format kompetisi di tahun 2000-an medio awal formatnya belum sistem kompetisi penuh, maka, keberadaan Persik Kediri masih disebut sebagai tim kuat level 4 besar berdasarkan zona. Seandainya formatnya seperti saat ini, mungkin posisi Persik adalah tim terbaik saat itu.
Ketika Persik pelan-pelan mulai tenggelam. Muncullah Arema dengan potensi besar sebagai penantang perebutan titel juara. Uniknya, beberapa pemainnya merupakan pemain yang hijrah dari Persik Kediri.Â
Salah satunya adalah Cristian Gonzales. Gonzales hijrah setelah dirinya pernah memperkuat Persib Bandung. Kembalinya si pemain naturalisasi Indonesia ke tanah Jatim, membuat peta kekuatan Arema masih bisa disebut stabil.Â
Namun, prestasi Arema tidaklah saat ada Gonzales. Melainkan saat Arema memiliki pemain-pemain beken dari Singapura dan Eropa Timur. Seperti duet Noh Alamsyah-Mohammad Ridhuan dan Roman Chmelo. Berprestasinya Arema bahkan tak hanya di liga, namun juga di Piala Indonesia. Atau saat itu dikenal dengan Copa Dji Sam Soe.
Di saat Arema berjaya, Persebaya masih berada di zona papan tengah. Bahkan di beberapa musim, Persebaya hanya berkutat di kompetisi level kedua. Namun, seiring berjalannya waktu, Persebaya mulai bangkit. Termasuk ketika konflik dualisme berhasil dipecahkan. Maka, Persebaya mulai fokus untuk menggapai asa. Bertahan di kompetisi teratas dan membangun pondasi untuk juara.
Untuk menjadi juara, Persebaya sangat memperhitungkan banyak hal. Salah satunya adalah stadion. Stadion baru rupanya menjadi investasi jangka panjang yang absolut guna mengantisipasi animo masyarakat dan pendukung 'The Green Force' yang melonjak. Selain itu, ada hal penting yang menjadi kekuatan Persebaya dalam masa kebangkitannya. Yaitu, pemain muda.
Regenerasi menjadi kekuatan penting dan itulah yang membuat Persebaya mampu menunjukkan kapasitasnya seperti saat ini. Kepercayaan terhadap pemain muda, memang membuat klub terlihat labil. Kadang dapat bermain bagus sekali, kadang juga 'flop'. Namun, keberadaan pemain muda akan memberikan suntikan semangat yang membara, dan itulah yang diinginkan oleh Persebaya. Mereka harus bangkit dengan semangat membara.
Inilah yang kemudian menjadi kesamaan dari dua klub jagoan Jatim ini ketika bertemu di final Piala Presiden 2019. Mereka memiliki semangat dan kepercayaan terhadap pemain-pemain muda yang potensial. Selain itu, mereka tidak ragu untuk mendekatkan diri dengan suporter ketika sedang berada dalam keterpurukan. Uniknya, kedua tim ini juga merupakan tim yang pernah tersandung dualisme atau terbentuknya klub kloningan.
Berikut ini adalah kesamaan Persebaya dan Arema FC saat ini.
Pertama, kedua tim memiliki skuad yang diisi pemain muda dan berusia matang sekitar 50%. Persebaya memiliki Miswar Saputra, Hansamu Yama, Rachmat Irianto, Osvaldo Haay, Irfan Jaya, dan lainnya.Â
Sedangkan Arema FC mempercayakan starting line-up ke Utam Rusdiana dan Kartika Ajie yang bergantian mengisi pos penjaga gawang. Selain itu ada Muhammad Rafli, Ahmad Nur Hardianto, Dedik Setiawan, dan pemain yang sedang beken di skuad Arema Jayus Hariono.
Kedua, kedua tim ini mengakui kualitas pemain dari Indonesia wilayah timur, seperti Osvaldo Haay dan Ruben Sanadi yang menjadi langganan starting line-up Persebaya. Sedangkan di Arema FC ada Alfin Tuassalamony, Ricky Akbar Ohorella, Ridwan Tawainella, dan penyerang yang sedang 'hitz' Ricky Kayame. Uniknya, Ricky Kayame pernah memperkuat Persebaya di musim sebelumnya.
Ketiga, kedua tim pernah tersandung kasus dualisme yang membuat kedua tim seolah-olah memiliki klub kloningan. Ini terjadi karena di PSSI terjadi dualisme dan membentuk dua liga papan atas; Indonesia Super League (ISL) dan Indonesia Premier League (IPL).Â
Namun, kedua tim kini justru bisa bangkit dan kembali menunjukkan keseriusan mereka dalam berkompetisi di kancah sepakbola tertinggi nasional.Â
Sekaligus mengembalikan gelora tim-tim klasik yang seharusnya tidak kalah tenar dengan tim-tim kemarin sore. Artinya, untuk menjadi seperti saat ini, kedua tim perlu melalui banyak rintangan.Â
Namun, salah satu elemen penting dari usaha kedua tim ini adalah semangat. Semangat yang dimiliki oleh pihak manajemen, pelatih, pemain, dan suporternya. Dari situlah, kedekatan asa untuk menggapai prestasi bisa tercapai.
Disamping adanya persamaan dari kedua klub tersebut, tentunya mereka juga memiliki perbedaan. Namun, perbedaan itu tidak akan melunturkan semangat warga Jatim untuk berpesta tahun ini. Ya, tim manapun yang juara Piala Presiden nanti, warga Jatim pasti akan tetap bangga. Karena, melihat sepakbola Jatim masih berada di zona yang cukup stabil---walau jatuh sampai terluka juga pernah dirasakan.
Namun, bukan soal jatuhnya yang diperhatikan, melainkan tentang usaha untuk bangkit. Itu yang terpenting, dan itulah yang membuat sepakbola Jatim masih sangat diperhitungkan di kancah sepakbola nasional dari dulu hingga detik ini. Yaitu, semangat untuk bangkit---bangun dari tidur---untuk berusaha dan mencapai asa untuk juara.
Selamat berpesta, wong Jatim!
Malang, 10 April 2019
Deddy Husein S.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H