Mohon tunggu...
Deddy Husein Suryanto
Deddy Husein Suryanto Mohon Tunggu... Penulis - Content Writer

Penyuka Sepak Bola. Segala tulisan selalu tak luput dari kesalahan. Jika mencari tempe, silakan kunjungi: https://deddyhuseins15.blogspot.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Kartu Kuning dan Kartu Merah untuk Kebebasan Berpendapat

9 April 2019   18:33 Diperbarui: 10 April 2019   10:41 242
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi wasit berikan kartu merah. (Pixabay.com)

Bagi para penikmat olah raga, apalagi sepakbola, pasti sudah tidak asing lagi dengan keberadaan kartu kuning dan kartu merah. Benar. Ganjaran yang diberikan oleh wasit kepada pemain maupun pelatih yang melakukan pelanggaran berlebihan dan layak untuk diberikan sanksi berupa kartu kuning ataupun kartu merah. 

Sebenarnya mereka yang melakukan pelanggaran, juga tidak langsung mendapatkan kartu. Terkadang masih diberikan peringatan sekali. Namun, ketika pelanggaran yang dilakukan sudah keras dan lebih dari sekali, maka, kartu kuning bisa tercabut dari saku wasit. Bahkan, ada pelanggaran-pelanggaran tertentu yang bisa membuat kartu merah langsung terangkat ke udara.

Biasanya, kartu merah muncul ketika pelanggaran itu sudah tidak bisa ditolerir oleh wasit. Sehingga si pemain ataupun bahkan pelatih bisa pergi dari lapangan. Itu terjadi bukan karena semata-mata karena pemain atau pelatihnya ingin melakukan pelanggaran tersebut. Khususnya bagi pelatih. Biasanya pelatih yang terkena kartu merah adalah pelatih-pelatih yang beraksi berlebihan dalam memprotes keputusan wasit, ataupun ketika pelatih tersebut dinilai membuat provokasi yang dapat merugikan lawan secara tidak fair-play.

Hal inilah yang saat ini sedang disorot. Yaitu protes.
Protes adalah suatu hal yang kadangkala harus dilakukan oleh semua orang. Tidak hanya bagi figur-figur di dunia olah raga, namun juga orang-orang sipil atau masyarakat. Di masa demokrasi yang semakin membesar seperti saat ini, maka, tidak asing lagi bagi kita untuk melihat banyak orang berupaya menyuarakan pendapatnya atau aspirasinya. Dari yang awalnya masih melalui koridor yang baik (birokrasi dan negosiasi), sampai ke hal yang tak lagi dapat dikontrol. Yaitu protes (demonstrasi).

Protes dapat terjadi ketika kekecewaan terhadap suatu hal yang dapat membuat pihak-pihak tertentu merasa dirugikan. Sama halnya dengan pemain sepakbola yang memprotes wasit. Bisa saja hal itu terjadi karena bagi si pemain, keputusan itu sangat merugikan timnya. Namun, selayaknya yang sudah kita ketahui, bahwa sesuatu yang dilakukan secara berlebihan juga tidak baik, bahkan bisa sangat merugikan. 

Khususnya bagi tim, bagi orang lain, bagi orang-orang yang masih sangat membutuhkan orang tersebut. Sama seperti di sebuah tim sepakbola. Kehilangan satu pemain di dalam lapangan, bisa membuat pengaruh yang signifikan terhadap permainan tim. Komposisi pasti berubah, dan kebutuhan ataupun kepentingan timnya menjadi berubah pula.

Kita ambil satu contoh saja dari sekian banyak aksi protes ataupun kartu merah yang terjadi di dunia sepakbola. Yaitu, saat laga sarat emosional yang terjadi di Camp Nou beberapa saat lalu. Di laga besar yang mempertemukan si tuan rumah, Barcelona dengan tim asal Madrid lainnya, Atletico Madrid. 

Melalui pertandingan yang berjalan cukup alot, Barcelona akhirnya dapat keluar sebagai pemenang. Skor 2-0 sudah cukup untuk mengandaskan perlawanan Atletico dan membuat posisi El Barca di puncak klasemen La Liga Spanyol cukup solid.

Di antara beberapa momen yang terjadi di laga tersebut, ada momen di mana Diego Costa diusir wasit. Ya, kartu merah yang datang di saat tim masih sangat membutuhkan keberadaannya untuk dapat memberikan teror kepada duet Pique-Lenglet di jantung pertahanan Barcelona. 

Terbukti, pasca diusirnya Costa, lini serang Atletico mulai kurang agresif dalam menekan pertahanan. Meski ada Alvaro Morata, namun, karakter penyerang Spanyol lainnya itu tidaklah sama dengan Costa yang tak hanya mampu bertarung secara teknis namun juga secara non-teknis. Artinya, kartu merah Costa sangat merugikan bagi Atletico di laga itu. Terlepas dari dua gol lawan, tetap saja Atletico akan punya cukup asa, jika mereka masih bermain dengan 11 pemain.

Inilah yang menjadi sorotan bagi kita semua sebagai masyarakat umum. Bahwa, apa yang dilakukan Costa bisa saja kita lakukan. Hanya, perbedaannya pada bidang aksi kita yang mungkin berbeda dengan bidang Costa. Namun, sebenarnya, di manapun kita berada, kartu kuning dan kartu merah pasti ada. Artinya, pelanggaran itu juga pasti ada. Baik itu yang bersifat fisik maupun yang non-fisik. Salah satunya adalah pelanggaran verbal.

Dewasa ini, sudah tidak begitu mengagetkan bagi kita untuk dapat melihat banyak orang dapat mengungkapkan kata-kata seenak selera perut dan lebar jidatnya. Hal ini bisa terjadi karena kurang adanya kontrol. 

Embel-embel demokratis dan kebebasan berpendapat biasanya menjadi tameng bagi mereka yang sebenarnya tidak mampu membedakan mana suara yang tepat untuk mengudara, dan mana yang belum tepat untuk sampai ke telinga maupun mata kita (di media sosial). Termasuk pikiran kita.

Perkembangan teknologi komunikasi dan informasi membuat banyak orang cukup kesulitan untuk dapat menangkap komunikasi dari lawan bicara, begitu pula dalam hal informasi. 

Terkadang kita masih kesulitan menerima validitas dari informasi tersebut. Itulah hasil dari adanya kebebasan bersuara yang semakin terwadahi. Namun, kebebasan itu juga pada akhirnya menjadi bumerang bagi kita juga. Artinya, kebebasan mengeluarkan suara juga pada akhirnya perlu aturan, dan aturan itu bukanlah suatu kekangan.

 Itu adalah kontrol dan penyaring, dan manusia masih sangat perlu itu. Jika tidak demikian, bagaimana nasib para pesepakbola yang akan mengeluarkan kata-kata buruk dan kemudian ini terdengar ke suporter apalagi di sana pasti terdapat pendukung tim yang masih di bawah umur---dan biasanya ada upaya imitasi bagi mereka untuk terlihat keren.

Maka, untuk meminimalisir adanya kelestarian tindakan yang negatif, tentu perlu adanya kontrol. Jika di sepakbola, melalui adanya kartu kuning dan kartu merah. Maka, di kehidupan kita, ada nilai-norma dan hukum. 

Kita perlu memahami keberadaan itu sebagai suatu hal yang positif, agar tindak-tanduk kita juga dapat terkontrol seperti para pesepakbola itu. Bahkan, bagi masyarakat umum yang cakupannya justru lebih luas dan fleksibel, tentu perlu adanya kontrol yang tepat---tidak hanya kuat.

Karena, dengan adanya kontrol, maka kita dapat disebut sebagai manusia yang manusiawi. Bukan manusia yang hanya bisa berteriak bahwa negaranya belum merdeka karena segala macam suaranya dicekal.

Mari, kita cross-check ke dalam suara kita masing-masing, apakah sudah 100% tepat (untuk menilai suatu hal) atau masih bersifat provokatif dan mengundang kebencian. Jika, sudah tepat, pencekalan pasti tidak akan terjadi. Namun, jika memang pendapat dan kritikannya hanya dipenuhi unsur kebencian, maka, tidak mengherankan jika kartu merah melayang ke arah kita.

Memang terkadang kita melihat peraturan yang dibuat terlalu berlebihan dan membatasi ruang eksplorasi kita sebagai manusia yang cerdas. Namun, terkadang eksplorasi itu juga bisa mengarah ke hal yang negatif. Apalagi jika hal itu diboncengi dengan emosional (kemarahan). Sama seperti mereka yang menjadi pesepakbola. 

Mereka akan melakukan pelanggaran dan emosi saat dihukum oleh wasit. Namun, jika si pemain menyadari bahwa hukuman itu tepat, maka, si pemain akan menerimanya dengan lapang dada. Lalu, bagaimana jika melihat keputusan wasit memang salah?

Protes.
Protes itu memang perlu, tapi seyogyanya tidak dibarengi oleh emosi dan ungkapan kata-kata kasar. Sama seperti yang dilakukan oleh masyarakat-net zaman now. Kadangkala kita dapat melihat adanya aksi mengkritiki kebijakan dan lain sebagainya di media sosial. Namun, mereka yang mengkritik itu ternyata hanya sekadar menghujat, tanpa mampu memberikan ide maupun saran terhadap kekurangan yang dikritiki tersebut. Lalu, untuk apa bersuara jika tidak ada 'bobot' dari suara tersebut?

Sama halnya ketika melihat pesepakbola memprotes keras keputusan wasit. Jika, apa yang dikatakannya sudah tidak lagi menghargai keputusan wasit---walau keputusannya kurang tepat---maka, tidak mengherankan jika kartu merah bisa keluar dari saku wasit. Begitu pula pada kita. Jika, kita ingin dihargai sebagai masyarakat yang boleh bersuara, maka, sertai suara kita dengan sikap yang baik. 

Kritik (boleh) sepedas-pedasnya, namun, berikan juga tawaran solusi. Melalui cara itu, orang lain pasti akan segan dan (mau tidak mau) menerima suara kita (mempertimbangkannya) tanpa harus mengeluarkan kartu kuning ataupun kartu merah.

Lagi pula, siapa yang mau terkena kartu merah?

Malang, 9 April 2019
Deddy Husein S.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun