Tepat 17 Maret 2019, debat cawapres akan dihelat. Ini merupakan rangkaian lanjutan peserta pilpres 2019 untuk menjalani agenda penting dalam meyakinkan penduduk Indonesia 'nyoblos' salah satu di antaranya sebagai pasangan pemimpin negara 5 tahun ke depan. Jika sebelumnya, debat pilpres sudah mempertemukan kedua paslon (di debat pertama) maupun mempertemukan calon presiden di debat kedua. Kini, debat ketiga adalah panggung untuk cawapres 'unjuk kebolehannya' dalam mendampingi capresnya masing-masing.
Ma'ruf Amin mendampingi capres petahana Joko Widodo. Sedangkan Sandiaga Uno, mendampingi capres nomor pilih (nopil) 02, Prabowo Subianto. Keduanya memiliki latar belakang yang berbeda. Sama halnya seperti Jokowi yang memiliki latar belakang murni sebagai pengusaha yang kemudian pernah menjabat sebagai Walikota Solo dan Gubernur DKI Jakarta. Sedangkan, Prabowo Subianto adalah orang militer yang kemudian menjadi pengusaha dan kemudian mendirikan partai politik bernama Gerindra.
Jika dibandingkan Prabowo, Jokowi tergolong orang baru di kancah politik nasional. Sedangkan Prabowo pasca tak lagi aktif di militer nasional, memilih 'nyambi' jadi politikus selain menjadi pengusaha. Namun, soal rekam jejak memerintah sebuah wilayah, Jokowi tergolong memiliki pengalaman yang tinggi. Apalagi ketika kemudian terpilih menjadi Presiden RI 2014-2019, alias presiden ke-7 Indonesia.
Lalu, bagaimana dengan cawapresnya?
Di nopil 01, terdapat Ma'ruf Amin yang merupakan Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI). Sebagai ketua MUI tentunya bukan sebuah jabatan biasa melainkan sangat krusial. Karena, MUI tidak hanya merupakan wadah nasional ulama, namun juga memiliki cakupan peran yang besar. Termasuk dalam bidang produksi dan konsumsi masyarakat Indonesia.
Indonesia yang merupakan negara yang mayoritas penduduknya muslim---beragama Islam, membuat peran MUI tidak hanya menyokong bidang keagamaan saja melainkan juga mengkoordinir dan memantau sistem kelayakan produksi dan konsumsi. Khususnya di bidang pangan.
Di bidang inilah, kita sebagai masyarakat yang bahkan bukan non-muslim juga akan begitu kenal MUI. Yaitu melalui bungkus makanan yang beredar di Indonesia. Setiap beli makanan merk apapun dan dalam bentuk kemasan yang standar nasional, pasti akan kita temukan label halal yang berdasarkan pernyataan resmi dari MUI.
Melalui label itu, selera konsumsi pangan dari masyarakat akan aman. Apalagi juga terdapat izin edar dari BPOM. Namun, apakah MUI dengan kedekatannya dengan masyarakat melalui label halalnya itu menjamin kinerja mereka 100% tanpa masalah?
Justru dengan kedekatan itu, membuat MUI memperoleh komplain, kritikan, maupun saran terhadap kinerja MUI. Walau berbasis agama Islam, namun, dengan contoh kerja sebagai salah satu pihak yang bertanggungjawab dalam bidang pangan tersebut, membuat khalayak umum memiliki hak untuk mengkritisi dan 'memiliki' MUI.
Sama halnya dengan berbagai badan atau lembaga pada umumnya, baik yang skala daerah maupun yang skala nasional. MUI juga tidak 100% bersih dari permasalahan. Apalagi di bidang pangan yang krusial tersebut. Maka, MUI juga acapkali disangsikan kinerjanya dengan kabar-kabar yang tidak mengenakan. Seperti beredarnya es krim berbahan zilatin babi dan makanan/minuman basi/aspal (asli tapi palsu/tiruan).
Memang, seharusnya permasalahan ini dititikberatkan pada BPOM. Karena, pihak yang memiliki wewenang dalam menguji pangan yang beredar di Indonesia adalah BPOM. Melalui sistem pengujian di laboratorium dan kemudian pemberian izin edar---termasuk biaya administrasi yang harus dikeluarkan oleh perusahaan makanan/minuman tersebut yang juga kepada BPOM.