Kita di sini dapat melihat bahwa KPU dan segala pihak yang terkait, pasti mempunyai perhitungannya tersendiri dan ini mau tidak mau harus tetap didukung---keputusannya. Mungkin mereka memiliki beberapa alasan yang logis. Tinggal bagaimana masyarakat tetap bergerak secara gentle untuk bersuara melalui aksi pencoblosan 17 April 2019 nanti.
Kedua, seperti yang sudah disampaikan di paragraf sebelumnya, bahwa, dengan melihat keputusan KPU ini bukan berarti kita mulai menggalang aksi golput. Justru kita harus berani bergerak ke TPS untuk benar-benar melakukan aksi pencoblosan. Kita sebagai masyarakat punya hak dan kewajiban yang sama untuk merawat negara ini dengan aksi nyata. Bukan sekedar berkicau kritis namun golput.
Golput memang bukanlah aksi yang salah 100%, namun, jika kita golput itu akan mengurangi kesempatan kita untuk memerangi kengeyelan para caleg eks-koruptor. Toh, dicoblos atau tidak, mereka tetap ada di lembar kertas pemilu dan nantinya pasti ada yang menang, walaupun kita tidak nyoblos orang itu.
Sebenarnya, mengapa kita tetap harus menyoblos caleg? Karena, tanpa kita menyoblos, mereka yang mencalonkan diri tetap akan mendapatkan suara (dari orang lain). Karena, kesempatan terpilih di antara mereka (eks-kor dan non-kor) pasti sama-sama 50-50. Tidak ada yang jelas dominan. Beda dengan pemilihan paslon capres-cawapres yang lebih mudah dilihat perbedaannya. Sedangkan di kursi legislatif, peluang mereka sama. Mereka juga sama-sama merupakan calon abdi negara. Hanya dibedakan dengan label eks-koruptor dan tidak/belum korupsi saja.
Selanjutnya (ketiga), ketika kita sudah berani berniat memutuskan untuk memilih satu di antara mereka, maka langkah sebelumnya adalah melakukan persiapan. Apa persiapannya?
Yaitu mencari tahu caleg yang harus dipilih. Di website KPU juga sudah ada profil mereka, walau bisa diyakini bahwa informasi tersebut belum tentu lengkap dan transparan dalam memperkenalkan rekam jejak mereka termasuk skandalnya. Untuk itulah, kita tetap harus mencari tahu. Toh, informasi sekarang mudah diakses melalui internet. Namun, hati-hati dengan hoaks.
Lalu bagaimana jika dalam satu daerah semua calegnya memiliki label eks-koruptor?
Pilihlah dengan dua perhitungan yang berbeda. Pertama adalah memilih yang paling sedikit 'dosanya'. Kedua, pilihlah yang sudah punya pengalaman besar di bidang legislatif, termasuk besaran hasil korupsinya. Jika yang pertama, itu adalah pilihan paling logis.
Artinya, orang itu belum ahli korupsi, jadi, mungkin kalau mau korupsi lagi akan mudah tertangkap. Lagipula yang masih sedikit nominal korupsinya bisa memiliki kemungkinan untuk segera bertaubat. Lalu, bagaimana dengan pilihan kedua?
Semakin banyak dia pernah menggelapkan uang negara ataupun uang proyek, maka, peluang dia dipilih cukup bagus. Mengapa?
Melalui pengalaman caleg tersebut sebagai eks-koruptor, maka, akan sangat mudah untuk diendus segala tindakannya ketika sudah terpilih. KPK pun diyakini akan cukup mudah untuk mengawasi gelagatnya apakah sudah tobat atau malah makin menjadi-jadi, dan kemungkinan terbesarnya adalah kembali dibui. Jadi, secara tidak langsung, ketika memilih seorang eks-koruptor, sama dengan kita sedang menguji orang tersebut.