Tim nasional sepakbola Indonesia tidak pernah kehabisan talenta pemain yang luar biasa. Dari segala lini permainan selalu ditemukan pemain-pemain yang memiliki skill luar biasa dan biasanya sudah ditunjukkan sejak berada di level usia junior.
Seperti Evan Dimas yang merupakan pemain tengah luar biasa di lini tengah timnas Indonesia saat ini dan dia sudah berhasil menunjukkan kapabilitas bermainnya sejak membela timnas U-19.
Sebenarnya ada banyak pemain junior yang bermain bagus saat membela timnas junior, khususnya U-19. Namun, biasanya pemain tersebut mulai menjadi pemain medioker atau kelas menengah setelah mencicipi level profesional di Indonesia.Â
Kegagalan bersaing dengan pemain-pemain berjam terbang tinggi dan kadangkala 'star syndrome' menghantui mentalitas bermainnya yang menjadi tidak stabil dan cenderung kehilangan visi bermain secara tim.
Inilah yang kemudian sangat dikhawatirkan bagi publik penikmat sepakbola nasional. Pendukung timnas pastinya ingin melihat permainan dari para pemain timnas untuk selalu dapat menjaga konsistensi dan menambah kematangan visi maupun kedewasaan dalam mengelola emosional.Â
Selain kualitas bermain sepakbola, faktor non teknis seperti emosionalitas perlu dikelola dengan baik. Karena keduanya saling berkaitan. Ketika emosionalnya positif, maka, visi bermainnya akan bagus. Sehingga akan melahirkan permainan yang bagus juga.
Beda cerita, jika emosional tidak mampu diatur. Maka, si pemain akan meledak-ledak dan permainan juga akan naik turun-turun. Sehingga, hal ini dapat dimanfaatkan oleh lawan. Inilah yang kemudian kita dapat menggambarkan bagaimana para pemain muda Indonesia seringkali memiliki temperamen yang tidak dikelola dengan baik.Â
Menahan atau menghilangkan temperamen dalam diri pemain memang bukan hal yang mudah. Karena itu berkaitan dengan kepribadian pemain tersebut. Satu-satunya cara adalah memberikan pendidikan yang tepat baik secara teknis maupun non teknis selama training camp timnas.
Beberapa pemain timnas Indonesia yang biasanya memiliki emosionalitas meluap-luap itu biasanya berasal dari Sulawesi (Makassar), Sumatra (Medan), Maluku dan Papua. Bukan tanpa sebab dan juga bukan suatu kesalahan bagi mereka yang memang memiliki emosional tinggi tersebut.Â
Karena, biasanya pemain-pemain yang memiliki emosional tinggi itu adalah pemain yang memiliki energi besar dan jiwa bertarung yang kuat. Sehingga tidak heran jika pemain-pemain ini selalu dianugerahi kualitas bermain yang luar biasa dan selalu menjadi pilihan pelatih untuk membela timnas.
Timnas Indonesia sangat membutuhkan pemain-pemain yang berenergi dan memiliki jiwa bertarung seperti itu. Maka tak mengherankan bahwa, timnas sangat bergantung pada pemain-pemain dari daerah tersebut. Sebut saja di timnas senior, kita masih sangat membutuhkan dan merindukan sosok Boas Solossa, Ferdinand Sinaga, ataupun Patrick Wanggai, Titus Bonai, dan Alfin Tuassalamony.
Di level muda, kita juga memiliki pemain seperti Abduh Lestaluhu, Rifad Marasabessy, Asnawi Mangkualam, Rezaldi Hehanusa (kini sudah di senior), Rivaldo Todd Ferre, Osvaldo Haay, hingga ada pemain depan berperawakan garang seperti Marinus Wanewar.
Marinus Wanewar termasuk jebolan U-19 yang mulai merangkak naik ke level selanjutnya, yaitu U-22/U-23. Kini, kita bisa melihat perkembangan talentanya yang saat di U-19 belum 100% terlihat, menjadi kian terlihat. Di skuad AFF U-22, Marinus terlihat telah menjadi tumpuan utama di timnas.
Dirinya tidak lagi 'terganggu' oleh pemain-pemain lainnya yang seringkali timbul-tenggelam menunjukkan kompetensinya di lini depan timnas. Sedangkan, Marinus sudah terlihat tahu bagaimana perannya.
Sekilas, kita seperti melihat sosok Patrick Wanggai saat si pemain pernah membela timnas di level U-23. Saat itu, Patrick Wanggai menjadi striker utama yang kemudian ditunjang oleh Titus Bonai.
Uniknya, kerja sama antara keduanya berjalan sangat baik sehingga mampu memberikan hasil positif bagi timnas. Terlepas dari tidak adanya gelar yang diberikan keduanya, namun, secara permainan, mereka berdua memberikan sumbangsih signifikan kala itu.
Sama seperti Marinus saat ini di U-22, Patrick Wanggai kala itu jika dibandingkan Titus Bonai, publik akan lebih menyukai permainan Tibo yang memang mewakili permainan sepakbola masa kini yang sangat mengandalkan pemain flank cepat dan berkualitas individu mumpuni.Â
Namun, Patrick Wanggai saat itu muncul sebagai penawaran lain terhadap bentuk striker yang juga memiliki mobilitas tinggi termasuk ditunjang dengan eksekusinya yang bagus. Sehingga, dirinya pada akhirnya dapat menjadi tumpuan di lini depan timnas junior.
Melihat tubuh skuad timnas saat ini, kita akan mengharap banyak kepada Osvaldo Haay, atau Witan Sulaiman, dan Marinus Wanewar. Memang, jika dibandingkan jam terbang dan statistik bermain antara Marinus dengan Osvaldo Haay, maka, kita sudah pasti tahu bahwa nama Osvaldo lebih difavoritkan untuk menjadi tumpuan dalam penyerangan dan mencetak gol.Â
Namun, Marinus juga ingin memberikan pembuktian bahwa kualitasnya yang tersendat-sendat di level U-19, akan dapat dimaksimalkan di level ini. Terbukti, dengan gelontoran gol Marinus di dua laga terakhir fase penyisihan grup B, timnas Indonesia berhasil memastikan tiket ke semifinal.
Marinus kali ini bakal menjadi the real number 9, walau nomor punggungnya saat ini adalah 3. Melihat jarangnya timnas untuk memiliki pemain yang 'komplit garangnya' seperti Marinus Wanewar, tentu perlu untuk 'dirawat' keberadaan pemain seperti ini.Â
Dia perlu dididik bagaimana menyinkronkan antara emosional dengan energi bermainnya. Sehingga, ini akan menjadi nilai bagus yang tak hanya dapat dinikmati oleh Marinus namun juga timnas dan publik Indonesia.
Semoga, kompetensi Marinus tetap terjaga dan lebih baik lagi untuk dapat menjadi striker masa depan timnas senior. Kita juga patut menantikan kiprahnya di level klub yang tepat.
Artinya, klub yang memiliki pemain Papua ini haruslah mampu melatihkan sepakbola yang kompleks. Tidak hanya soal teknis, namun juga non teknis. Itu perlu.
Kita ambil contoh ke pemain yang kini sudah menjadi pemain senior. Yaitu, Titus Bonai. Mengapa pemain seperti Titus Bonai masih lebih baik dibandingkan Osvaldo Haay saat di level timnas yang sama?
Karena, Tibo sudah merasakan masa-masa berlatih bersama pelatih-pelatih berkarakter tinggi dan salah satunya seperti Jacksen F. Thiago di Persipura. Penting juga untuk dilihat bagaimana karakter pelatih asing saat melatih dengan pelatih lokal. Bukan soal kualitas melatih teknisnya.Â
Kalau soal ini, sudah tentu variatif. Bahkan pelatih-pelatih lokal Indonesia juga sangat mumpuni, seperti Rahmad Darmawan, Nil Maizar (saat ini sudah menjadi politikus), ataupun Jajang Nurjaman.
Namun, ini soal nonteknis. Bagaimana ketika seorang pelatih menanggapi kesalahan bermain dari pemainnya. Apalagi jika itu disebabkan karena kesalahan diri dalam mengelola emosionalnya. Sehingga perlu adanya tindakan dari pelatih untuk upaya memperbaiki permainan dari pemain tersebut.
Tidak hanya dari teknisnya namun dari non-teknisnya. Inilah yang sepertinya kurang dilakukan oleh pelatih lokal pada umumnya.
Bersama dengan budaya baik dan pemaaf, maka, kesalahan seperti itu kurang diperhatikan. Sehingga pemain akan merasa bahwa itu bukan sesuatu yang penting.
Padahal, mengelola emosi itu penting. Semakin bagus pengelolaan emosi, maka, fokus dan pengembangan permainan akan berjalan sesuai target.
Bukan soal hasilnya harus menang, namun, berapa kartu kuning yang diterima tim. Ini perlu juga untuk diperhatikan. Agar komposisi pemain tidak terganjal karena akumulasi kartu ataupun hukuman larangan bermain. Hal ini yang kemudian membutuhkan seorang pelatih yang tidak hanya mengejar kemenangan dan skor besar.
Tapi, kompleksitas tubuh timnya. Artinya, pemainnya harus bermain dengan baik---meminimalisir kesalahan. Ketika terdapat kesalahan, maka kejar itu. Berikan arahan. Sehingga, si pemain tahu harus bagaimana.
Hal seperti ini memang seringkali diabaikan, baik oleh pelatih maupun pemainnya. Sehingga yang terjadi adalah ketika melihat pemain tersebut berada di level timnas. Akan sangat terlihat bagaimana karakter hasil tempaan antara pelatih-pelatih berkarakter kuat dengan pelatih yang hanya menginginkan trofi juara, saat di level klubnya masing-masing.
Inilah yang kemudian membuat kita dapat melihat dan menilai bagaimana pemain dengan jam terbang sebagus Osvaldo Haay, masih belum bisa mengelola visinya dengan baik. Karena, di level klub dia belum berjumpa dengan pelatih seperti Jacksen F. Thiago atau misalnya Widodo C. Putro.
Jika sudah bertemu dengan pelatih-pelatih yang menyukai keseimbangan antara teknis dan non teknis, maka, bisa dipastikan bahwa Osvaldo Haay tidak lagi bertumpu pada keyakinan pada dirinya sendiri (kemampuannya) namun juga bertumpu pada bagaimana mengelola emosionalnya.
Emosional itu tidak harus terlihat dengan adu argumen dengan lawan atau melakukan tackling keras. Namun, bisa dilihat dengan bagaimana si pemain salah membuat keputusan saat menguasai bola.
Jika pemain seperti Osvaldo dapat bermain bagus baik secara individu dan tim, maka, dia bisa menjadi partner yang bagus bagi Marinus Wanewar. Sehingga, duet Patrick Wanggai dan Tibo di timnas U-23 dapat terulang lagi, dan semoga kualitas tersebut bisa bertahan sampai di level timnas senior.
Tentunya akan menjadi hal yang luar biasa, jika pemain-pemain penuh semangat seperti Osvaldo Haay, Rivaldo Todd Ferre, dan Marinus, bertemu dengan pemain kreatif seperti Evan Dimas Darmono. Maka, timnas Indonesia akan semakin kuat dan tajam.
***
Malang, 23 Februari 2019
Deddy Husein S.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H