Mohon tunggu...
Deddy Husein Suryanto
Deddy Husein Suryanto Mohon Tunggu... Penulis - Content Writer

Penyuka Sepak Bola. Segala tulisan selalu tak luput dari kesalahan. Jika mencari tempe, silakan kunjungi: https://deddyhuseins15.blogspot.com

Selanjutnya

Tutup

Nature Pilihan

Pentingkah Memperingati Hari Sampah Nasional?

23 Februari 2019   19:40 Diperbarui: 23 Februari 2019   20:17 86
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sudah banyak hari yang dijadikan sebagai pengingat atau perayaan. Seolah-olah manusia mengedepankan soal testimoni dan pamrih. Apa yang sudah dilakukan, harus diperingati, ditandai, diingat, dan alih-alih dijadikan sebagai tanda peninggalan yang harus dirawat, dijaga, dan dilakukan.

Bukan masalah besar jika memang kita harus menandai hari ataupun merayakan hari tertentu. Baik itu secara regional, nasional, ataupun internasional. Namun, yang menjadi persoalan adalah bagaimanakah sinkronisasi dari peringatan tersebut dengan praktiknya---secara berkelanjutan? Apakah penting kita memperingati suatu hari, misalnya hari kasih sayang. Pada hari itu, kita bersayang-sayangan, namun, hari selanjutnya apakah kita akan terus bersayang-sayangan?

Sama halnya ketika kita memperingati Hari Buruh. Kita dapat bersimpati terhadap nasib buruh dalam hitungan 24 jam. Namun, selebihnya kita tidak peduli lagi dengan nasib mereka. Misalnya, nasib buruh proyek gedung kampus yang mangkrak. 

Di luar hari buruh tersebut, pikiran kita akan lebih menuntut untuk melihat gedung itu segera jadi, tanpa tahu-menahu bahwa buruhnya sedang ada permasalahan ataupun karena dana proyekan sedang tersendat. Artinya, kita kini semakin dihadapkan pada bentuk manusia yang sering suka menikmati sejarah (apa yang sudah dilakukan orang terdahulu), bukan lagi usaha nyata.

Inilah yang kemudian melahirkan generasi yang kritis namun tidak solutif. Seolah-olah nyinyir itu keren, karena dianggap peduli sekitar. Padahal, ketika dihadapkan pada kasus secara nyata, belum tentu mampu diselesaikan dengan baik. Sama halnya dengan menghadapi fenomena sampah plastik dan pencemaran laut.

Bukan rahasia lagi jika laut kita tercemar dengan sampah-sampah yang mengalir dari sungai sampai ke laut. Hingga muncullah himbauan untuk membuang sampah pada tempatnya, tidak membuang di sungai apalagi got/selokan. Karena, membuang sampah di selokan ataupun juga di sungai, akan menyebabkan banjir. Banjir merupakan bencana dan permasalahan bagi manusia. Akhirnya, hal ini perlu digalakkan ke masyarakat. Bahkan, sebenarnya hal ini sudah diupayakan untuk ditanamkan ke anak-anak sejak di sekolah dasar.

Teori berkata demikian, namun, faktanya adalah masih banyak orang yang melakukan hal itu, "membuang sampah ke sungai". Hal ini membuat dilematis, di pikiran anak-anak. Mau bilang, "Hei! Jangan buang sampah sembarangan!" tapi yang diingatkan adalah bapak-bapak atau ibu-ibu. Maka, secara logika anak, tindakan itu pasti akan menyeramkan, bukan?

Sehingga, ujung-ujungnya adalah anak-anak itu juga meniru apa yang dilakukan oleh orang-orang yang lebih tua dari mereka. Sehingga, apa yang terjadi? Kesalahan menjadi lumrah dan itu dilakukan dengan berkaca pada orang lain. Bukan berarti, hal ini akan menyalahkan generasi tua. Namun, pada kenyataannya memang begitu.

Berangkat dari dilematis tersebut, akhirnya, satu-satunya cara yang dilakukan oleh anak-anak yang kemudian tumbuh menjadi orang dewasa (dan menjadi bagian dari masyarakat tersebut) akan lebih mempraktekkan apa yang dilihat daripada apa yang dipelajari. Kenapa? Karena, apa yang dilihat adalah fakta yang sulit dilawan, sedangkan, apa yang dipelajari adalah mimpi yang sulit untuk diterapkan.

Jadi, jika ingin memperingati hari sampah nasional, bukan dengan menyematkan tagline "Hari Sampah Nasional" di setiap status media sosialnya, melainkan melakukan apa yang sudah dipelajari sejak SD itu. "Buanglah Sampah Pada Tempatnya!"

Jika sudah melakukannya, jangan berhenti dalam hitungan sehari, dua hari, melainkan setiap hari. Lakukan tindakan membuang sampah pada tempatnya sejak kita sadar (cepat/lambat) bahwa membuang sampah ke tempatnya itu wajib. Apapun dasar ilmunya (agama, sosial, ataupun alam).

Setelah melakukan tindakan buang sampah pada tempatnya secara berkelanjutan dan sudah menjadi kepribadian/prinsip dasar hidup. Maka, bolehlah untuk memperingati Hari Sampah Nasional. Walau, secara subjektif, hari peringatan ini tidak terlalu penting. Karena, sebenarnya ini sudah bagian dari kodrat hidup era manusia cerdas. Jadi, untuk apa diperingati?

Namun, sebagai bagian dari upaya peduli lingkungan, hal ini perlu. Agar kita masih ingat bahwa kesadaran dalam membuang sampah pada tempatnya itu sangat penting dan perlu diwariskan menjadi budaya* ke generasi muda. *Ilmu budaya akan cukup kuat untuk mempengaruhi pola hidup masyarakat.

Sebagai manusia yang berbudaya dan berakal, sebenarnya melihat hari sampah nasional seperti memperolok diri sendiri. Karena, manusia itu hidup dengan masuk dan keluar. Artinya, secara prinsip ekonomi (ada harga=ada barang) manusia itu hidup dengan ada barang=ada sampah. Sehingga, poin pertama adalah manusia pasti mengonsumsi (tidak hanya berpatok pada kebutuhan makan). Di antaranya adalah mengonsumsi (baca: membeli) pakaian, kendaraan, bangunan (bangunan privat/publik), teknologi, hingga yang pasti adalah makanan.

Artinya, kita pasti mengeluarkan sampah. Sehingga, ketika kita ingin hidup tanpa sampah, itu tidak mungkin. Karena, tanpa mengeluarkan sampah, kita secara halus dilarang untuk hidup. Sama halnya dengan hidup tanpa sampah plastik. Itu sangat susah. Apalagi mahasiswa atau pekerja kelas menengah ke bawah yang harus makan secara praktis (cepat habis=hemat waktu). Sehingga, makan makanan yang berbungkus pasti merupakan pilihan yang tidak bisa ditolak. Apalagi berbungkus plastik.

Sehingga, untuk meminimalisir plastik di zaman yang seperti ini sudah susah. Mau mencari makanan berbungkus daun pisang? Apakah sekarang masih banyak pohon pisang yang ditanam di dekat area pemukiman? Kalaupun ada dan banyak, apakah itu dapat dijadikan komoditas yang dapat disalurkan ke semua daerah (bagi daerah yang sulit ditanami pohon pisang)? Secara mudahnya kita sebut bahwa, apakah jumlah pohon pisang yang menghasilkan daun bahan bungkus makanan tersebut dapat memenuhi kebutuhan makan setiap orang---dengan pertumbuhan jumlah penduduk yang meningkat ini?

Dari poin pertama tersebut, kita dapat menyambungkannya ke poin kedua. Yaitu tentang konsep hidup ideal. Kita sangat boleh memiliki ide, mimpi, dan teori terhadap upaya penyelamatan Bumi dari sampah. 

Namun, itu hanya akan meminimalisir kerusakan ekosistem, bukan sebagai penyelesaian yang pasti terhadap permasalahan banyaknya sampah. Karena, dengan melihat kondisi saat ini; pertumbuhan penduduk yang tak terbendung, dan pendidikan yang tidak dipraktikkan dengan baik---ketika sudah menjadi dewasa, adalah faktor penyebab mengapa kita semakin sulit untuk menjaga Bumi---minimal Indonesia---dari bahaya sampah dan sampah plastik.

Sehingga, apa begitu penting kita memperingati Hari Sampah Nasional tanpa adanya praktik yang nyata dari diri sendiri?

Malang, 22-2-2019
Deddy Husein S.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun