Pagi-pagi, membuka Twitter dan membaca beberapa cuitan-cuitan menarik---tidak perlu disebutkan. 'Jalan-jalan pagi' itu akhirnya sampai pada unggahan dari Goal.com yang 'menantang' followers-nya (salah satunya adalah penulis) untuk memilih 11 pemain dari 16 klub (masing-masing klub hanya boleh diambil 1 pemain saja) yang berhasil lolos dari fase grup.Â
Klub-klub itu adalah Ajax Amsterdam, Atletico Madrid, Barcelona, Bayern Munchen, Borussia Dortmund, Juventus, Liverpool, Olympique Lyon, Manchester City, Manchester United, Paris Saint Germain (PSG), Porto, Real Madrid, AS Roma, Schalke 04, Tottenham Hotspur.
Dari 16 klub Eropa itu ada 3 klub Spanyol, 3 klub Jerman, 4 klub Inggris, 2 klub masing-masing dari Italia dan Prancis, serta 1 klub masing-masing dari Belanda dan Portugal. Ke-16 klub ini tentu meraih tempat di fase gugur ini dengan segala upaya dan keberhasilannya dalam menyingkirkan para kompetitornya di fase grup.Â
Biasanya, hal ini ditunjang dengan kematangan strategi dari pelatih dan kemampuan para pemainnya untuk dapat bermain maksimal dan mengantarkan klubnya untuk lolos sebagai juara grup maupun runner-up.
Nah, dari ke-16 klub ini, yang bisa disebut sebagai ke-16 klub Eropa terbaik musim ini---karena berada di kompetisi teratas Eropa---tentunya dapat ditemukan pemain-pemain berkualitas untuk dapat dimasukkan ke dalam 'the dream team' bagi penonton atau publik penikmat bola.Â
Namun, jika biasanya tim impian tersebut berisi 11 pemain utama (starting line-up) dan 3-5 pemain sebagai pemain cadangan. Maka, kali ini tim terbaik versi masing-masing penikmat bola hanyalah fokus pada 11 pemain yang bermain sejak menit pertama dan dipasang ke dalam formasi ideal yang lagi-lagi versi kita (baca: suka-suka kita).
Berikut ini adalah 11 pemain pilihan versi penulis beserta formasi yang digunakan.
Formasi: 4-1-3-2
GK (Goalkeeper/penjaga gawang): David De Gea (MU/Spanyol)
CB (Center Back/bek tengah): Kostas Manolas (AS Roma/Yunani) dan Virgil van Dijk (Liverpool/Belanda)
WB/SB (Wing Back/Side Back/Full Back/bek sayap): Kyle Walker (Man. City/Inggris) di kanan dan Alex Telles (FC Porto/Brazil) di kiri
DMF (Defensif Midfielder/Gelandang Bertahan): Emre Can (Juventus/Jerman)
SMF (Side Midfielder/Gelandang Sisi): Son Heung Min (Tottenham/Korea Selatan) di kanan dan Lucas Vasquez (Real Madrid/Spanyol) di kiri.
AMF (Attacking Midfielder/Gelandang Serang): Marco Verratti (PSG/Italia)
SF (Second Forward/Penyerang Bayangan): Lionel Messi (Barcelona/Argentina)
CF (Center Forward/Penyerang Utama): Robert Lewandowski (Bayern Munchen/Polandia)
WOW!!!
Pemilihan 11 pemain ini tentu tidak mudah. Bukan karena budget tim idaman yang dikeluarkan akan membengkak hingga akan meledak. Namun, lebih pada kedilemaan terhadap pemain yang sebenarnya sama-sama sangat baik di posisi-posisi tersebut.
Sebelum mengarah ke alasan mengapa memilih pemain-pemain di atas sebagai pengisi the dream team, penulis akan menyajikan alasan dari penggunaan formasi 4-1-3-2.
Formasi ini cukup jarang digunakan, bahkan cenderung klasik, dan merupakan pengembangan dari formasi sederhana namun kompleks, yaitu 4-4-2. Penulis menyebut 4-4-2 sebagai formasi sederhana namun kompleks karena formasi ini biasanya menjadi pilihan pertama ketika tim berisi pemain-pemain berkualitas di lini tengah dan depan. Namun, di sisi lain, formasi ini cenderung menguasai bola dan sedikit mementingkan pola kerapatan pemain baik saat bertahan maupun menyerang.
Formasi 4-4-2 ini juga kurang mengandalkan lini tengah untuk mengelola serangan melainkan menjaga situasi bola agar tetap berada dalam lingkaran dua gelandang tengah yang terapit masing-masing flank (pemain sayap) dan duet penyerang yang mobile ataupun bertukar posisi.Â
Formasi ini juga sering mengandalkan lini sayap untuk memecah pertahanan lawan yang akan menumpuk di tengah untuk meladeni adanya 4 pemain (2 gelandang dan 2 penyerang) yang bersiap untuk mengeksekusi bola silang maupun bola liar/bola pantul.
Formasi ini bagi penulis agak kurang cocok dengan permainan saat ini yang cenderung harus atraktif di lini depan, dan kreatif di lini tengah. Untuk itulah, penulis memilih formasi 4-1-3-2 yang tak hanya agresif dalam menyerang, namun juga cukup kuat dalam menanggulangi serangan balik maupun dalam kondisi didominasi oleh lawan.
Keberadaan satu gelandang bertahan yang statis dan selalu siap menjadi stopper maupun harus membentuk trisula di lini belakang saat mendapat serangan balik, perlu diterapkan. Apalagi, jika berada dalam kompetisi yang selevel Liga Champions, yang mana tim-tim yang bertanding sama-sama tak mau kalah dengan mudah. Sehingga, perlu adanya kewaspadaan dalam mengantisipasi transisi permainan lawan dalam menanggapi permainan kita.
Selain itu, keberadaan 3 pemain tengah yang membentuk trisula, juga akan memudahkan alur perpindahan bola yang opsional. Artinya, bola dapat dikuasai atau diatur oleh seorang playmaker, juga dapat dialihkan fokus serangannya ke pemain sayap yang dapat mengandalkan kecepatan dan kejelian dalam mengambil keputusan---mau mengoper bola ke dalam kotak penalti lawan atau mengeksekusinya sendiri.
Di dalam proses menyerang, formasi ini akan menarik ketika diisi oleh dua penyerang yang salah satunya adalah pemain yang memiliki tingkat mobilitas yang tinggi. Sehingga, pemain ini dapat bahu-membahu dengan playmaker tim.Â
Hal ini dapat dilakukan dengan menjadi perantara antara playmaker ke penyerang sayap (kanan/kiri), maupun menjadi pemecah konsentrasi lawan. Biasanya dapat diwujudkan dengan aksi individu yang sesekali dapat dikeluarkan demi membuat penyerang lainnya memperoleh ruang lebih bagus untuk mengeksekusi peluang.Â
Sehingga, ketika menyerang, pola lini serang tim akan membentuk diamond yang mana ini tanpa ada keterlibatan gelandang bertahan maupun full-back.
Formasi ini sangat menarik untuk diterapkan jika, pilihan pemainnya cukup tepat dan memiliki beberapa kriteria. Pertama, memiliki skill individu yang mumpuni. Kedua, kecepatan bagus. Ketiga, dapat menjalin kerja sama dengan baik, baik ketika menyerang maupun bertahan.
Jika menyerang, formasi ini sudah dijelaskan seperti di paragraf sebelumnya. Maka, Â di sini akan dibahas situasi ketika bertahan. Di formasi ini akan memiliki 5 pemain yang secara penuh memainkan cara zona marking, dengan 4 pemain belakang yang berdiri sejajar, ditambah seorang gelandang bertahan yang terus bergerak mengisi ruang-ruang kosong di antara dua bek tengah, maupun antara bek tengah dengan bek sayap.
Sedangkan gelandang serang, ketika bertahan cenderung menjadi pemain yang dapat menjalankan strategi man-to-man marking dengan didukung oleh pemain-pemain sayap---sesuai di mana bola itu berada.
Ketika bola itu dapat direbut atau dipotong alurnya, maka, bola dapat dialirkan ke salah satu pemain depan yang berdiri bebas. Jika, bola dapat dialirkan ke pemain yang dapat menerobos  jalur tengah, maka, pola serangan akan tajam dan sangat mengandalkan kombinasi kecepatan dan akselerasi.Â
Namun, jika aliran bola pertama di kuasai di sisi lapangan, maka, pola serangan akan sangat mengandalkan kombinasi bola pantul dan kecepatan pemain sayap untuk 'menyisir' sisi pertahanan lawan.
Sisi negatifnya dari formasi ini adalah ketika ada pergantian pemain di babak kedua, maka formasi ini harus diganti. Artinya, formasi ini tidak dapat dimainkan penuh untuk 90 menit melainkan sebagai strategi awal sampai pertengahan awal babak kedua.Â
Sedangkan di 20 menit sisa pertandingan akan cenderung dirubah menjadi 4-4-2 (4-4-1-1) atau 4-1-2-3, sesuai dengan situasi pertandingan---apakah sedang tertinggal atau sudah unggul dengan jarak minimal 2 gol.
Alasan dari ketidakberlangsungan strategi ini untuk digunakan secara penuh adalah stamina pemain. Untuk menjalankan strategi dengan formasi ini sangat diperlukan stamina yang besar. Khususnya bagi pemain yang berposisi sebagai AMF dan SF.Â
Sehingga, perlu modifikasi ketika sudah berada di pertengahan babak kedua ataupun jika sedang tertinggal sejak babak pertama. Maka, tim perlu melakukan perubahan. Salah satunya adalah formasi.
Lalu, dengan formasi demikian rupa, mengapa harus menggunakan pemain-pemain tersebut di dalam starting line-up?
Ada beberapa faktor yang mendasari untuk memilih 11 pemain tersebut. Pertama, kualitas pemain. Konsistensi performa. Ketiga, pemahaman taktik. Menurut penulis, kesebelas pemain tersebut adalah pemain-pemain yang sangat memahami taktik dengan baik dan memiliki kualitas yang mampu dijaga secara konsisten.
Pemilihan David De Gea di posisi penjaga gawang didasari oleh kualitas dan mentalitas yang cukup baik dalam mengawal gawang MU. Bahkan, beberapa musim terakhir, penampilan apik MU di dalam pertandingannya banyak terbantu oleh penampilan heroik kiper Spanyol ini.Â
Usia yang masih muda dalam ukuran penjaga gawang juga menentukan pilihan ini. Seandainya, boleh memilih satu penjaga gawang lain/lagi, pilihan penulis juga jatuh pada Alisson Becker. Penjaga gawang asal Liverpool ini sangat diperhitungkan sebagai penjaga gawang yang berkualitas, tenang, dan sigap.
Di posisi duet bek tengah, penulis memilih duet gahar Kostas Manolas dan pemain yang sedang matang dan konsisten, yaitu Virgil van Dijk. Van Dijk saat ini merupakan salah seorang bek tangguh yang amat diperhitungkan untuk dapat mengisi tim impian di semua klub maupun di tim fantasi penikmat sepakbola dunia.Â
Kombinasi keduanya dapat diyakini akan menjadi duet palang pintu yang sangat tangguh. Karena, keduanya memiliki tipikal bertahan yang sama-sama tanpa kompromi dan sigap. Namun, berkat pengalamannya bermain di Liga Inggris, van Dijk lebih dapat dijadikan pengatur irama bertahan di tim.
Dua pemain bek sayap juga diisi oleh dua tipe yang menarik. Karena, keduanya berasal dari filosofi sepakbola yang berbeda namun gaya bertahan dan kemampuan membantu penyerangan di antara keduanya terbukti sama-sama baik di masing-masing sisi. Inilah alasan penulis menjatuhkan pilihan pada Walker dan Alex Telles.
Di lini tengah, the dream team ini diisi Emre Can sebagai gelandang bertahan. Mengapa? Bukankah masih banyak pemain gelandang bertahan yang berkualitas di antara 16 tim tersebut selain mantan pemain Liverpool itu? Sebut saja Wijnaldum (Liverpool), Fabinho (Liverpool), Fernandinho (City), Sergio Busquets (Barcelona), Steven N'Zonzi (AS Roma), atau mungkin destroyer ulung seperti Nemanja Matic (MU).
Pemilihan Can adalah berdasarkan pengalamannya berkompetisi di banyak liga. Jerman, Inggris, dan kini Italia adalah tiga wadah bermainnya dan di tiga liga tersebut, Can dapat bermain dengan cukup baik. Di Inggris, bersama Liverpool, Can dapat bermain sebagai gelandang bertahan, bek tengah, bek sayap, dan bahkan memiliki kemampuan untuk mendukung serangan tim.Â
Sehingga, Can dapat dinilai mampu mengisi lini tengah tim ini dengan modal pengalaman, gaya bermainnya yang tangguh, dan mampu memahami instruksi pelatih dengan baik.
Setelah Can, pilihan pemain tengah lainnya adalah Son Heung Min dan Lucas Vasquez di posisi sayap. Pemilihan ini lebih ke kualitas individu, kerja keras dan kemampuan mencari keputusan penting di saat harus dilakukan.Â
Misalnya, melakukan akselerasi individu dan menendang bola jarak jauh ke gawang lawan. Hal ini, dapat menjadi alternatif, ketika dua pemain di depan atau pemain lainnya gagal mendapatkan ruang bebas untuk mengeksekusi peluang. Selain itu, Son Heung Min saat ini sangat diandalkan oleh Spurs ketika Harry Kane absen karena cedera.Â
Pemain Korsel ini pun tak menyia-nyiakan kepercayaan Mauricio Pocchettino untuk mengisi starting line-up. Walau, ketika di Spurs, Son kadang kala lebih cocok disebut penyerang sayap daripada pemain tengah yang mengapit playmaker. Sedangkan, bagi Lucas Vasquez, posisi bukanlah permasalahan utama, karena pemain ini cukup dikenal dapat bermain di flank, dan berani berduel untuk menyerang maupun bertahan.
Di posisi gelandang serang atau dapat disebut juga sebagai playmaker, pilihan jatuh ke Marco Verratti. Pemain Italia yang merantau Prancis ini, masih dapat diperhitungkan sebagai salah satu pemain tengah yang kreatif dalam membantu penyerangan. Tanpanya, kinerja Neymar maupun Mbappe di PSG pasti akan cukup sulit. Karena, mereka akan benar-benar harus menjemput bola dari bawah.
Pemain yang sering dikait-kaitkan dengan Barcelona ini tentu sudah tak akan kagok untuk bermain dengan cara mendominasi lini tengah dan mampu menjalin kerja sama antar pemain dengan cepat dan akurat. Selain itu, pemain ini sudah pasti tak akan kesulitan untuk menjalin kerja sama dengan pemain kreatif lainnya, yaitu Lionel Messi.
Â
Betul. Lionel Messi ada di tim ini dan dipilih untuk mengisi lini depan berduet dengan penyerang tinggi besar, Robert Lewandowski. Mengapa pilihannya jatuh pada mereka berdua?
Memilih Messi sebagai bagian dari tim impian, jelas tidak bisa dihindarkan. Mengingatkan pemain yang kini menjadi kapten utama Barcelona adalah andalan utama di permainantim Catalan tersebut. Sehingga, di tim ini, penulis (yang sedang menjadi pelatih fantasi) juga menyertakan nama Messi untuk mengisi lini depan dan diduetkan dengan pemain depan yang tak kalah produktifnya di level klub, Lewandowski.
Pilihan terhadap Lewandowski adalah keharusan. Meski bertubuh jangkung, penyerang timnas Polandia juga memiliki skill individu dan akselerasi yang bagus untuk dapat melindungi bola.Â
Pemain ini juga tidak 100% seperti penyerang klasik yang hanya menunggu bola, namun, juga tak segan untuk bergerak aktif dan memancing perhatian pemain belakang lawan untuk terus mengikutinya. Hal ini, akan dapat dimanfaatkan oleh Messi dengan akselerasinya yang mumpuni, maupun pemain lini kedua, seperti Son dan Vasquez.
Selain itu, kehadiran Lewandowski juga akan memberikan pilihan menarik ketika strategi bola bawah gagal menembus pertahanan lawan, maka, tim dapat menggunakan pola bola direct pass, dan operan menyilang-lambung untuk mencari kepala Lewy yang siap menanduk bola ke gawang lawan.
Begitulah tim yang dibentuk dengan 11 pemain yang 'dicomot' dari 16 tim. Bagaimana dengan 11 pemain pilihan Anda, gibolers?
Malang, 8-2-2019
Deddy Husein S
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H