Mohon tunggu...
Deddy Husein Suryanto
Deddy Husein Suryanto Mohon Tunggu... Penulis - Content Writer

Penyuka Sepak Bola. Segala tulisan selalu tak luput dari kesalahan. Jika mencari tempe, silakan kunjungi: https://deddyhuseins15.blogspot.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

NH. Dini dan Srikandi Aksara Indonesia

18 Januari 2019   17:39 Diperbarui: 18 Januari 2019   21:44 686
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Memang, secara pribadi, penulis belum terlalu mengenal sosok yang dikenal dengan nama NH. Dini, nama aslinya adalah Nurhayati Sri Hardini Siti Nukatin. Maklum, wawasan membaca penulis masih sangat kurang dan tergolong terlambat untuk menekuni bidang baca-membaca. 

Sehingga, masih banyak penulis-penulis hebat dari negeri ini yang belum terjamah butir-butir karyanya secara pribadi bagi penulis. Termasuk NH. Dini. Salah seorang penulis perempuan Indonesia yang namanya sangat disegani di bidang tulis-menulis ini bahkan sampai akhir hayatnya.

Di sini, penulis merasa terlambat sekali mengenal sosok beliau dan jasa-jasanya dalam bidang kepenulisan. Namun, di sisi lain, penulis masih merasa bangga karena sempat mengenali karya beliau di saat beliau masih hidup, walau memang bukan dengan karya tulis sastranya langsung, melainkan dengan karya terjemahannya dari karya sastra milik sastrawan besar dunia bernama Albert Camus.

Ya, penulis cenderung mengetahui terlebih dahulu Albert Camus dibandingkan NH Dini. Karena, penulis mengetahui nama Albert Camus saat masih aktif di teater mahasiswa. Bersama teater, penulis mulai mengetahui dan ingin mengenal sosok Camus beserta karya-karyanya yang luar biasa.

Memang belum banyak buku Albert Camus maupun buku tentangnya yang banyak penulis baca sampai sejauh ini. Namun, dalam perjalanan mengenali Camus, penulis menemukan sisi menarik dari yang penulis cari-cari sejauh ini, yaitu, ketika penulis menemukan salah satu buku yang disebut-sebut sebagai salah satu karya terbaiknya, SAMPAR. Melalui SAMPAR Camus inilah, penulis mengetahui nama NH Dini yang ternyata terpampang di sampulnya sebagai pengalih bahasa (penerjemah).

Walau berupa terjemahan, penulis merasa beruntung dapat 'bertemu' dengan dua orang hebat sekaligus, dan tidak hanya dengan Camus sebagai penulis laki-laki, namun ada penulis perempuan yang rupanya dapat berperan besar membukakan pintu bagi siapapun di Indonesia ini untuk dapat mengetahui dan mengenali karya Camus melalui SAMPAR yang sudah diterjemahkan oleh perempuan tersebut. NH Dini.

NH Dini memang telah tiada, namun karya-karyanya tentu masih dapat membekas di beberapa pembaca tekun sedari masa lampau sampai saat ini, dan semoga sampai nanti. 

Bersama buku SAMPAR ini pula, NH Dini berhasil mengeksistensi dirinya sebagai srikandi aksara milik Indonesia yang berharga dari masa lalu. Dirinya tak hanya berhasil menjadi pujangga dengan karya sastranya, namun, juga turut berperan membantu para putra-putri bangsa untuk mengenal dunia luar dengan karya terjemahannya---salah satunya SAMPAR.

SAMPAR memang bukan buku cerita baru. Bahkan, SAMPAR sudah hadir di dunia pada tahun 1947 bersama GALLIMARD (sebagai pemilik hak cipta pertama) dan berjudul asli "La Peste". Sedangkan di dalam versi terjemahan Bahasa Indonesia dengan NH Dini sebagai penerjemahnya, buku ini hadir kembali menyapa pembaca cerita/novel pada tahun 2013 (cetakan ketiga) dan 2014 (cetakan keempat). 

Artinya, karya sastra Prancis ini (walau Camus lahir di Aljazair) masih sangat diminati oleh penikmat sastra baik yang secara khusus mempelajari karya sastra Prancis, maupun yang menginginkan adanya pengalaman membaca karya yang luar biasa di masa lalu dan masih tetap mampu memberikan pemikiran-pemikiran yang menarik bagi pembacanya sampai saat ini. 

Apalagi jika berbicara tentang Albert Camus, yang notabene seringkali dikenal sebagai sastrawan dan seniman yang beraliran absurditas. Sehingga, setiap karyanya seringkali dicap sebagai candu untuk dapat dikenali lebih dalam tentang pemaknaan-pemaknaan di dalam ceritanya.

Kembali lagi pada sosok NH Dini yang di sini penulis sebut sebagai salah seorang srikandi aksara yang artinya menjadi bukti nyata, bahwa, perempuan-perempuan Indonesia juga mampu melahirkan karya-karya tulis yang tak kalah memabukkan selayaknya tulisan-tulisan milik para pujangga arjuna.

Walau ada realitas yang kurang menyenangkan bagi penikmat karya tulis dari penulis perempuan, karena, sampai detik ini, jika menguak rangkuman atau kompilasi penulis sastra terbaik milik Indonesia, selalu nama-nama 'barista' peracik kopi, senja, hujan, dan bunga mawar, didominasi oleh kaum pejantan. 

Ternyata, mereka yang tampil tangguh secara perasaan, justru mampu mengaduk-ngaduk perasaan dan imajinasi para pembacanya. Mereka juga mampu menyuguhkan 'minuman' yang cukup berimbang antara pahit, asam, manis, dan asin. Sehingga, nama-nama Sutardji Chalzoum Bachri, Chairil Anwar, Taufik Ismail, bahkan nama Pramoedya Ananta Toer sangat membekas di pikiran masyarakat dibandingkan nama S. Rukiah, Marga Tjoa, hingga NH. Dini.

Jangankan ketiga nama yang sudah menjadi legenda tersebut, nama-nama seperti Laksmi Pamuntjak, Leila S. Chudori, Linda Christanty, Oka Rusmini, dan Dorothea Rosa Herliany saja masih cukup sulit untuk dikenal publik Indonesia sebagai bagian dari skrikandi aksara yang dapat melahirkan karya yang patut diperhitungkan.

Berbicara soal eksistensi penulis perempuan, sebenarnya memang tidaklah sedikit. Namun, tak banyak yang mampu menggelegarkan penikmat sastra di Indonesia secara konstan. 

Nama-nama yang masih bersliweran di bayangan pembaca dan masih bisa disebut dengan fasih namanya, hanyalah ada pada sosok Dewi 'Dee' Lestari, Ayu Utami, dan Djenar Maesa Ayu. Ketiganya mampu 'mengguncangkan' publik sastra Indonesia karena keberhasilan mereka melahirkan karya yang dapat disebut tidak begitu feminim, namun, juga tidak bakal bisa ditulis oleh kaum adam.

Hal ini merujuk pada stereotip penulis perempuan yang cenderung melankolis, penuh dengan romansa, drama yang dikemas monoton, dan terlalu 'curhat'. Artinya, ada kecenderungan menilai karya milik penulis perempuan hanya akan dominan pada perasaan dan akan hanya berputar-putar pada kehidupan kesehariannya yang tidak ke mana-mana.

Namun, fakta yang ada justru sebenarnya tidak sepenuhnya demikian. Jika merujuk pada ketiga penulis tersebut yang masih sangat dikenal oleh penikmat sastra saat ini, pasti kita dapat mengetahui bahwa kaum perempuan sebenarnya juga mampu melahirkan karya yang dapat melalang-buana, dan 'mengendus-endus' setiap sendi kehidupan. Bahkan, sentuhan-sentuhan mereka dalam membangun cerita seringkali mampu membuat kita merenung sangat dalam demi mengetahui makna yang sebenarnya.

Mereka, para srikandi aksara ini juga tak kalah hebatnya dengan para arjuna dalam hal membidik setiap anak panahnya ke sasaran---pembacanya. Memang susah untuk menjauhkan karya tulis perempuan dengan stereotip-stereotip yang sedemikian rupa. 

Namun, teori relativitas selalu berbicara banyak dan membantu kita dalam dunia penilaian. Termasuk menilai karya sastra. Sebenarnya, tidak hanya penulis perempuan yang suka mendayu-dayu dalam tulisannya. Penulis laki-laki juga ada yang seperti itu.

Bahkan, tidak hanya penulis perempuan yang suka menulis syair dan cerita yang bernuansa curahan hati. Para penulis laki-laki juga tak sedikit yang sedemikian rupa karyanya, yang kemudian dikenal juga dengan stereotip sebagai penulis roman picisan yang pada akhirnya hanya digandrungi oleh kaum remaja atau muda-mudi yang sedang segar-segarnya dalam mengenal tentang asmara atau kisah percintaan.

Artinya, siapapun penulisnya, tidak harus terpisahkan atau dikotak-kotakkan dengan jenis kelamin dan gender. Karena, laki-laki dan perempuan sama-sama mampu menulis, menyusun ide/imajinasi yang luar biasa, dan yang paling utama, keduanya sama-sama punya hak untuk dikenal dan terkenal karena kualitas karyanya. 

Walau tak bisa memungkiri, bahwa rentang usia produktif dan kehidupan pribadi seringkali membuat perbedaan yang cukup signifikan antara sang pujangga arjuna menjadi lebih dikenal dibandingkan sang pujangga srikandi yang terlihat cepat habis goresan tintanya.

Betul, perempuan, cenderung cepat habis dalam rentang waktu berkaryanya---walau tidak semuanya. Hal ini bisa terjadi ketika secara pribadi tidak bisa menghalau kehilangan minat terhadap menulis yang seharusnya tetap dilakukan sampai batas yang tak bisa diprediksi. 

Hal ini yang sedikit berbeda dengan laki-laki, yang justru semakin matang di usia 40-an ke atas sebagai 'penenun aksara'. Mereka, kaum berkumis, berjenggot, sampai botak, dan beruban itu justru semakin hebat dan karya-karyanya juga semakin menggelegar, ketika usianya semakin sepuh.

Dari sinilah yang membuat pujangga-pujangga arjuna tetap berdiri di depan, dan namanya masih mudah diingat, dibandingkan para srikandi yang pelan-pelan mundur dari gelanggang dan memilih lebih berbesar hati untuk mengabdi di dapur serta mendidik anak-anaknya demi mencetak generasi yang terbaik---sama seperti dirinya. 

Ya, srikandi-srikandi hebat ini sebenarnya tetap eksis menjadi perakit aksara yang magis ketika kita dapat melihat keberhasilan anaknya ataupun pembacanya (khususnya perempuan) untuk mengikuti jejaknya. 

Yaitu, menjadi srikandi aksara Indonesia yang namanya akan tetap abadi di setiap sampul-sampul buku yang dapat memberikan kecerahan dalam berpikir bagi generasi muda Merah-Putih tanpa tergerus oleh waktu.

Terimakasih NH Dini, terimakasih para srikandi aksara Indonesia yang masih mampu membukakan mata kami tentang kehebatan perempuan dalam menulis.

Malang,
18 Januari 2019
Deddy Husein S.

Tambahan:
Beberapa penulis perempuan yang masih eksis menelurkan karya-karya tulis luar biasanya sampai saat ini: Ika Natassa, Asma Nadia,  Mira W, Sitta Karina, Winna Efendi, Windry Ramadhina, Nina Ardianti, Orizuka, Okky Madasari, Esti Kinasih,  Ninit Yunita.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun