Mohon tunggu...
Deddy Husein Suryanto
Deddy Husein Suryanto Mohon Tunggu... Penulis - Content Writer

Penyuka Sepak Bola. Segala tulisan selalu tak luput dari kesalahan. Jika mencari tempe, silakan kunjungi: https://deddyhuseins15.blogspot.com

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Ketika Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jauh Lebih Populer daripada Kasus Suap

21 Desember 2018   13:43 Diperbarui: 21 Desember 2018   14:29 202
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi korupsi dan suap. (Merdeka.com)

"Kajian hukum dan perundang-undangan yang perlu ditingkatkan demi kestabilan bangsa"

Setiap universitas dengan fakultas hukumnya setiap tahun pasti melahirkan ratusan sampai ribuan mahasiswa yang bergelar Sarjana Hukum (SH)---termasuk Magisternya (MH). Namun, apakah semua lulusan tersebut telah dapat melahirkan sebuah kajian-kajian yang kontekstual terhadap apa yang sedang terjadi di masyarakat saat ini?

Bukan soal penerapan masyarakat terhadap peraturan yang kadangkala ada kesalahan. Namun, pengkajian dari pihak penegak perundang-undangan dan peraturan atau hukum yang berlaku juga kadangkala belum maksimal.

Bisa dibayangkan, jika pemilik pengetahuan tentang undang-undang dan implementasinya terhadap pola tindak masyarakat sehari-hari saja kurang mampu mengkaji dan menerapkannya, bagaimana dengan masyarakat sipilnya? Mampukah mereka berperilaku sesuai undang-undang dengan segala pasal dan ayatnya tersebut?

Lalu, sudahkah semua ayat dan pasal yang ada di undang-undang dan segala peraturan yang sudah disahkan tersebut telah dikaji (disosialisasikan) dan diterapkan?

Apakah semua peraturan dan penegakan hukum hanya mengikuti dosa apa yang paling sering dilakukan oleh masyarakat---termasuk oknum pemerintah dan lembaga penting lainnya?

Kriteria yang seperti apa yang dapat membuat sebuah langkah penegakan hukum harus benar-benar dilakukan?

Masihkah ada kompromi di sana?

Apakah benar, jika atas dasar pertemanan, kita akhirnya saling memaafkan segala dosa-dosanya?

Bagaimana jika sebuah kasus itu melibatkan jaringan pertemanan di segala tempat dan kemudian dapat merugikan banyak orang?

Mungkin, ini bukan berbicara soal untung-diuntungkan dalam penyelewengan undang-undang dan segala macam peraturan yang ada di negara ini.
Namun, soal segan dan penyeganan yang kadangkala membuat semua orang bisa melakukan apa saja, termasuk melukai orang lain---dan banyak, lalu dimaklumi. Karena kita tahu dia siapa dan bagaimana dia pernah memberikan kebaikan kepada kita sebelumnya.

Lalu, perlukah harus selalu ada pelaku yang menghunus pisau kepada korban yang telah ditemukan bersimbah darah?
Jika terlihat demikian, maka kasus tersebut baru dinyatakan valid dan dapat masuk dalam kategori kriminal serta wajib ditindak pidana.

Lalu, bagaimana dengan kasus bunuh diri?
Murnikah semua kasus bunuh diri tersebut hanya terjadi karena 'kesalahan' orang tersebut dalam menjalani kehidupannya?
Benarkah tidak ada faktor lain---dan eksternal---yang memungkinkan dapat mendorong tindakan tersebut?

Ini hanya segelintir contoh yang kemudian mengarah pada bagaimana kita seolah-olah bisa tidak maklum terhadap kasus tipikor yang sangat terang-terangan menyimpan uang kepentingan sosial, tapi seolah-olah maklum ketika ada (semacam) 'budaya' memberi parcel yang kemudian dibuntuti oleh syarat-syarat tertentu nan terselubung setelah adanya ketersediaan untuk serah-terima parcel tersebut.

Bukan sebuah keburukan atau upaya melarang terhadap orang-orang yang memiliki niat baik dalam memberi bingkisan atau apapun itu yang serupa. Namun, tentang alasan dan tujuan yang seperti apa saat ada bentuk 'transaksi' semacam itu. Inilah yang kemudian mengakar dalam pola pikir kita. Bahwa, kita akan menjadi segan kepada orang lain, ketika orang tersebut telah berhasil mengambil perhatian kita. Begitu pula sebaliknya.

Jadi, apakah kemudian para pembelajar bidang hukum mampu mengupas habis segala ayat, pasal, dan poin-poin peraturan, serta perundang-undangan milik negara? Bagaimana, jika negara tersebut juga (sebenarnya) memiliki akar budaya yang awalnya terlihat baik, namun, di sisi lain sepertinya mulai sering disalahgunakan? Apakah inilah yang kemudian harus mendorong para praktisi hukum dan kawan-kawannya untuk mulai bergerak nyata dan merangkul masyarakat?

Salah satu harapan, ketika mulai adanya upaya positif dari pihak pemerintah dan segala jajarannya untuk beraksi menumpas kejahatan---di masyarakat dan di sendi-sendi pemerintahan---adalah perlu adanya dukungan yang nyata pula dari masyarakat untuk mulai tak hanya menaati peraturan yang ada, namun juga menelaah sebisanya tentang apa itu peraturannya dan bagaimana cara menjalankannya dengan keseimbangan tindakan dan pikiran yang dimiliki. Di sinilah peran mahasiswa dan para penyandang gelar sarjana atau magister hukum dapat mengambil jatahnya---karena sangat diperlukan.

Hal ini diharapkan dapat terjadi, agar masyarakat sipilnya tak hanya 'terus menunggu pancingan', sedangkan di sisi lain, pemerintah juga terkesan hanya 'menunggu ikan yang terpancing'. Jika selalu seperti itu, rasanya, sampai kapanpun di antara kedua elemen penting sebuah negara ini---masyarakat dan pemerintah---akan terus terjadi simpang siur dan terus bergumul dalam lingkaran setan (baca: perdebatan).


Ya, sepertinya begitu.

Malang,
21-12-2018
Deddy Husein S.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun