Lalu, bagaimana dengan kasus bunuh diri?
Murnikah semua kasus bunuh diri tersebut hanya terjadi karena 'kesalahan' orang tersebut dalam menjalani kehidupannya?
Benarkah tidak ada faktor lain---dan eksternal---yang memungkinkan dapat mendorong tindakan tersebut?
Ini hanya segelintir contoh yang kemudian mengarah pada bagaimana kita seolah-olah bisa tidak maklum terhadap kasus tipikor yang sangat terang-terangan menyimpan uang kepentingan sosial, tapi seolah-olah maklum ketika ada (semacam) 'budaya' memberi parcel yang kemudian dibuntuti oleh syarat-syarat tertentu nan terselubung setelah adanya ketersediaan untuk serah-terima parcel tersebut.
Bukan sebuah keburukan atau upaya melarang terhadap orang-orang yang memiliki niat baik dalam memberi bingkisan atau apapun itu yang serupa. Namun, tentang alasan dan tujuan yang seperti apa saat ada bentuk 'transaksi' semacam itu. Inilah yang kemudian mengakar dalam pola pikir kita. Bahwa, kita akan menjadi segan kepada orang lain, ketika orang tersebut telah berhasil mengambil perhatian kita. Begitu pula sebaliknya.
Jadi, apakah kemudian para pembelajar bidang hukum mampu mengupas habis segala ayat, pasal, dan poin-poin peraturan, serta perundang-undangan milik negara? Bagaimana, jika negara tersebut juga (sebenarnya) memiliki akar budaya yang awalnya terlihat baik, namun, di sisi lain sepertinya mulai sering disalahgunakan? Apakah inilah yang kemudian harus mendorong para praktisi hukum dan kawan-kawannya untuk mulai bergerak nyata dan merangkul masyarakat?
Salah satu harapan, ketika mulai adanya upaya positif dari pihak pemerintah dan segala jajarannya untuk beraksi menumpas kejahatan---di masyarakat dan di sendi-sendi pemerintahan---adalah perlu adanya dukungan yang nyata pula dari masyarakat untuk mulai tak hanya menaati peraturan yang ada, namun juga menelaah sebisanya tentang apa itu peraturannya dan bagaimana cara menjalankannya dengan keseimbangan tindakan dan pikiran yang dimiliki. Di sinilah peran mahasiswa dan para penyandang gelar sarjana atau magister hukum dapat mengambil jatahnya---karena sangat diperlukan.
Hal ini diharapkan dapat terjadi, agar masyarakat sipilnya tak hanya 'terus menunggu pancingan', sedangkan di sisi lain, pemerintah juga terkesan hanya 'menunggu ikan yang terpancing'. Jika selalu seperti itu, rasanya, sampai kapanpun di antara kedua elemen penting sebuah negara ini---masyarakat dan pemerintah---akan terus terjadi simpang siur dan terus bergumul dalam lingkaran setan (baca: perdebatan).
Ya, sepertinya begitu.
Malang,
21-12-2018
Deddy Husein S.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H